Pemidanaan Korporasi sebagai Pelaku Kekerasan Seksual, Bisakah?

 Pemidanaan Korporasi sebagai Pelaku Kekerasan Seksual, Bisakah?

Ilustrasi (SumberL Tawatchai07/Freepik.com_

Oleh: Lusia Palulungan

Selama ini, pemidanaan secara umum dipahami hanya berlaku kepada “orang” sebagai individu. Meskipun definisi “orang” secara hukum sebagai subyek hukum bukan hanya sebagai individu tetapi juga badan hukum.

Disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual semakin meneguhkan bahwa Korporasi dapat dipidana sebagai pelaku kekerasan seksual. Hal ini ditegaskan  dalam ketentuan umum yang mencantumkan definisi “Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi”. Selain itu, “Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.”

Pemidanaan Korporasi sebenarnya telah diatur  dalam beberapa peraturan khusus dan peraturan pelaksanaan lainnya. Tulisan ini akan mengulas mengenai hal tersebut dan secara khusus mengenai pemidanaan Korporasi di dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

 Baca Juga: 12 Tahun Silam Banyak Orang yang Belum Mengetahui: Apa Itu Kekerasan Seksual?

Tindak Pidana Korporasi  dalam UU Khusus

 Tindak Pidana terkait Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) dan Kekerasan terhadap Anak (KtA) yang dilakukan Korporasi, salah satunya diatur  dalam UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan UU Nomor 23 Tahun 2002 yang telah diubah menjadi UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Dalam UU Perlindungan Anak, Korporasi sebagai pelaku tindak pidana KtA, dapat disangkakan dan dijerat dengan seluruh bentuk KtA di dalam UU tersebut. Ketentuan umum Pasal 1 mendefinisikan “Setiap Orang adalah perseorangan atau Korporasi”. Penjeratan Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, diatur  dalam pasal-pasal yang menyebutkan subyek atau pelaku kekerasan adalah “Setiap Orang”. Dengan demikian, seluruh bentuk KtA yang tercantum dalam UU ini, juga berlaku terhadap Korporasi.

Dalam Pasal 90 UU Nomor 23 Tahun 2002, mengatur:

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh Korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus dan/atau Korporasinya.

(2) Pidana yang dijatuhkan kepada Korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing sebagaimana dimaksud dalam ayat.

Baca Juga: Kerangka Hukum Perlindungan Anak di Indonesia

Ketentuan  dalam ayat (1) tersebut mengatur bahwa pidana penjara diterapkan kepada pengurus dan pada ayat (2) pidana yang diterapkan kepada Korporasi adalah pidana dengan yang ditambah 1/3 dari pidana denda yang dijatuhkan, sehingga tindak pidana denda untuk Korporasi terdapat pemberatan 1/3.

Sedangkan  dalam UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTPPO, mengatur lebih detail mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi, sebagaimana diatur berikut ini:

Pasal 13

(1) Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh Korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama Korporasi atau untuk kepentingan Korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan Korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

(2) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap Korporasi dan/atau pengurusnya.

Pasal 14

Dalam hal panggilan terhadap Korporasi, maka pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat Korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus.

Pasal 15

(1) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu Korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:

     a. pencabutan izin usaha;

     b. perampasan kekayaan hasil tindak pidana;

     c. pencabutan status badan hukum;

     d. pemecatan pengurus; dan/atau

     e. pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan Korporasi dalam bidang usaha yang sama.

Baca Juga: Percobaan TPPO? Tetap Dipidana

Ketentuan pemidanaan terhadap Korporasi  dalam UU PTPPO ini, lebih luas cakupan pengaturannya daripada UU Perlindungan Anak, yang mencakup:

  • Setiap Orang adalah orang perseorangan atau Korporasi sehingga seluruh tindak pidana di dalam UU ini dapat menjerat keduanya.
  • Pemanggilan terhadap pengurus Korporasi dapat dilakukan bukan hanya melalui kantor atau tempat domisili Korporasi tapi diperluas melalui alamat pengurus.
  • Pidana penjara dan denda dijatuhkan kepada pengurus Korporasi.
  • Pidana denda dijatuhkan kepada Korporasi dan pemberatan 3 kali dari pidana denda. Pemberatan ini diberlakukan 3 kali lipat dari denda yang dijatuhkan.
  • Pidana tambahan juga dijatuhkan kepada Korporasi selain pidana denda.

 

Dalam UU Perlindungan Anak (UU PA) dan PTPPO, sanksi terhadap Korporasi diberikan dalam bentuk:

  1. Sanksi pidana penjara kepada Pengurus (UU PA dan PTPPO)
  2. Sanksi pidana denda kepada Korporasi (UU PA dan PTPPO)
  3. Sanksi pidana denda kepada Korporasi dengan penambahan 1/3 (UU PA)
  4. Sanksi pidana denda kepada Korporasi dengan pemberatan 3 kali (UU PTPPO)
  5. Sanksi pidana tambahan kepada Korporasi (UU PTPPO)

 

Pemidanaan Korporasi dalam UU TPKS

Pemidanaan Korporasi di dalam UU TPKS, diatur  dalam Pasal 9 sebagai berikut:

(1) Korporasi yang melakukan Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.0000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

(2) Dalam hal Tindak Pidana Kekerasan Seksual dilakukan oleh Korporasi, pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus, pemberi perintah, pemegang kendali, pemilik manfaat Korporasi, dan/ atau Korporasi.

(3) Selain pidana denda, hakim juga menetapkan besarnya Restitusi pelaku Korporasi.

(4) Terhadap Korporasi dapat juga dijatuhi pidana tambahan berupa:

     a. perampasan keuntungan dan/ atau harta kekayaan yang diperoleh dari Tindak Pidana Kekerasan Seksual; 
     b. pencabutan izin tertentu; 
     c. pengumuman putusan pengadilan; 
     d. pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu; 
     e. pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan Korporasi; 
     f. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha Korporasi; dan/ atau 
     g. pembubaran Korporasi.

 

Dengan demikian, sanksi kepada Korporasi dapat dijatuhkan kepada pengurus, pemberi perintah pemegang kendali, pemiliki manfaat dan/atau Korporasi itu sendiri. Pidananya berupa:

  1. Denda minimal (lima miliar) dan maksimal (lima belas miliar)
  2. Penetapan Restitusi (sebagai hak korban atas ganti kerugian)
  3. Pidana tambahan

 

Kesimpulan

Berdasarkan pengalaman penanganan kasus-kasus kekerasan seksual yang telah ditangani lembaga layanan dan UPT PPA selama ini menunjukkan fakta bahwa Korporasi juga terlibat sebagai pelaku dan masih sangat sulit menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana.

Dalam RUU TPKS Inisiatif DPR RI, pemidanaan Korporasi sebagai pelaku kekerasan seksual hanya pada salah satu bentuk kekerasan seksual yaitu Eksploitasi Seksual. Oleh karena itu, pengaturan Korporasi sebagai pelaku tindak pidana kekerasan seksual dalam seluruh bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam UU TPKS ini merupakan kemajuan signifikan.

Pengaturan mengenai tindak pidana di dalam UU TPKS ini sudah sangat memadai, telah mengatur sanksi terhadap Korporasi. Berdasarkan ketentuan di UU tersebut, proses pemeriksaan Korporasi sebagai pelaku tindak pidana sudah sangat komprehensif. Pengurus Korporasi juga memiliki tanggung jawab hukum jika Korporasi melakukan kekerasan seksual dan lebih awal melakukan upaya untuk mencegah Korporasinya menjadi pelaku tindak pidana karena pengaturannya sudah memadai.

Dengan pengaturan ini maka Korporasi diharapkan dapat memberikan perhatian khusus terhadap pencegahan yang membuka peluang terjadinya kekerasan seksual baik dalam lingkup Korporasi maupun Korporasi sebagai pelaku kekerasan seksual. Pengaturan ini diharapkan membawa angin segar dan kondisi yang kondusif bagi berbagai pihak yang terlibat dan berinteraksi dengan Korporasi. []

Direktur Yayasan Rumah Mama, Sulawesi Selatan

Digiqole ad