Pembakaran Mira: Manusia di Bawah Meja
Oleh: Soka Handinah Katjasungkana
Di sela-sela berita tentang pandemi Corona, minggu lalu rasa kemanusiaan kita tercabik-cabik dengan kasus pembakaran Mira.
Mira adalah nama seorang transgender, selama ini masyarakat menyebutnya waria, yang dianiaya dan dibakar sampai mati oleh beberapa pria di Jakarta minggu lalu.
Mira mewakili mereka yang kehidupannya tak masuk dalam hitungan statistik, maka dia juga tak “tampak” oleh kelas menengah apalagi elit pengambil kebijakan.
Tidak banyak media massa yang memberitakan kematian Mira yang tragis itu. Selain berita-berita tentang pandemi Corona, media massa lebih memilih untuk memberitakan liga Inggris yang ditunda, gaji pemain-pemain Premiere League yang dipotong, atau Ronaldo yang bercukur rambut di rumah karena stay at home.
Karena dianggap tidak normal, maka Mira-Mira ini seringkali tidak diakui keluarganya, disiksa, disembunyikan, dibuang. Oleh masyarakat dihina, dilecehkan, dibully, dan dianggap liyan atau “orang lain” (excluded). Mereka adalah manusia “di bawah meja”. Ada (exist), berguna/bermanfaat, tapi tidak pantas untuk ditampilkan dan dapat dibuang begitu saja bila sudah dianggap tidak berguna.
Karena tidak diterima di dunia kerja, maka sebagian besar Mira-Mira ini terjun ke dunia prostitusi. Mereka mendapatkan nafkah dari para laki-laki yang menjadi kliennya. Kita tidak tahu (atau merasa tidak perlu tahu) apakah pendapatan Mira-Mira ini terdampak dengan situasi pandemi belakangan. Padahal mereka perlu uang juga buat makan, bayar kontrakan, atau kirim uang ke keluarga di kampung.
Mereka punya banyak pelanggan, laki-laki muda, dewasa, atau yang sudah usia lanjut. Saya pernah nongkrong di jalanan Yogya di waktu malam. Si Mira Yogya sedang kedatangan klien tetapnya, seorang laki-laki berambut putih mengendarai mobil bagus. Usai memberikan layanan, Mira Yogya cerita, si Bapak suka gaya-gaya tertentu.
Biasanya bapak-bapak ini memiliki kehidupan di atas meja, sebagai laki-laki “normal” yang mempunyai isteri dan anak-anak, pekerjaan, atau jabatan yang cukup terhormat atau bahkan bergengsi.
Sebetulnya cerita-cerita seperti itu tidaklah sulit kita jumpai. Banyak sekali. Tapi adanya di bawah meja.
Ketika si klien terhormat kehilangan barang atau uang, maka mudah sekali menuduh manusia di bawah meja itu, semudah pula menghukumnya, bahkan melenyapkannya….
Banyak uang negara hilang trilyunan, jelas pula pencurinya, tapi sangat tidak mudah menghukum pencurinya. Karena mereka manusia di atas meja.
Semarang, 9 April 2020[]
Penulis adalah Direktur LBH APIK Semarang 2009-2016