Pemaksaan Aborsi hingga Femisida, Minimnya Ruang Aman Bagi Perempuan

 Pemaksaan Aborsi hingga Femisida, Minimnya Ruang Aman Bagi Perempuan

Oleh : Mifta Sonia

Kekerasan terhadap perempuan terus terjadi, mulai dari kekerasan fisik hingga kekerasan seksual. Mulai dari child grooming, pemerkosaan, pemaksaan aborsi, hingga femisida. Bahkan ada kasus femisida yang dilakukan di hadapan publik oleh pelaku. Kekerasan terhadap perempuan menjadi semakin terlihat dengan meningkatnya angka femisida di Indonesia.

Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA) https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan  hingga 21 September 2024 tercatat ada 15.804 korban kekerasan terhadap perempuan dari total 18.203 kasus kekerasan yang dilaporkan. Anak-anak dan perempuan adalah kelompok yang paling rentan menjadi korban kekerasan seksual, di mana pelaku mayoritas adalah orang terdekat korban.

Kekerasan seksual pada anak tercatat ada 7.623 kasus pada 2024, diikuti oleh kekerasan fisik dengan 3.039 kasus, kekerasan psikis sebanyak 3.019 kasus, dan penelantaran sebanyak 911 kasus. Selain itu kasus eksploitasi mencapai 169 kasus, dan trafficking sebanyak 91 kasus. Angka tersebut menjadi bukti bahwa kekerasan terhadap anak menjadi ancaman serius yang perlu segera ditangani oleh semua pihak.

 

Anak Rentan Jadi Korban KBGO

Pada era teknologi yang berkembang semakin pesat, perempuan dan anak Perempuan rentan menjadi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengawasan dan minimnya pengetahuan tentang batasan penggunaan media social.

KBGO merupakan kekerasan berbasis gender online, seperti cyber grooming, peretasan, ancaman pemerkosaan, dan mengirim gambar atau merekam alat kelamin serta tindakan seks secara online tanpa persetujuan. Ada pula tindakan menguntit, meniru identitas, dan penyebaran konten intim tanpa persetujuan.

Pada tahun 2024 banyak kasus di mana anak-anak menjadi korban cyber grooming, penyebaran konten intim tanpa persetujuan, dan menerima gambar atau video alat kelamin secara online. Seperti yang dialami seorang anak perempuan 14 tahun di Padangsidempuan, Sumatera Utara. Ia menjadi korban pelecehan seksual oleh pacarnya yang sama-sama berusia anak. Korban menerima tiga video yang berisi pacarnya sedang melakukan aktivitas sosial melalui WhatsApp dengan mode sekali lihat. Namun korban justru dikriminalisasi oleh orang tua pacarnya. https://www.detik.com/sumut/hukum-dan-kriminal/d-7635919/fakta-terkini-remaja-di-sidimpuan-tersangka-usai-sebar-video-asusila-pacar

Mengirim konten bermuatan seksual secara online tanpa persetujuan merupakan kekerasan seksual berbasis gender online. Walaupun dilakukan secara online, KBGO juga menimbulkan dampak yang sama dengan kekerasan seksual di dunia nyata. Korban juga rentan mengalami kekerasan seksual di dunia nyata jika pelaku tidak ditindak secara hukum.

 

Pemaksaan Aborsi Merupakan Kekerasan Seksual

Pada tahun 2024 juga diwarnai dengan berita tentang kasus pemaksaan aborsi hingga menyebabkan kematian korban. Kasus pemaksaan aborsi terjadi di sejumlah daerah, mayoritas pelaku merupakan kekasih korban. Korban merupakan perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD) dan menjadi korban pemaksaan aborsi oleh kekasihnya. Pemaksaan aborsi merupakan bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan.

Perempuan dipaksa melakukan hal yang membahayakan nyawa dan mungkin tidak sesuai dengan keputusan pribadinya. Meningkatnya kasus pemaksaan aborsi yang merupakan tindakan aborsi tidak aman, memperjelas bagaimana sulitnya akses kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia. Aborsi tidak aman menjadi masalah serius yang perlu diperhatikan, karena aborsi menjadi salah satu penyebab kematian perempuan dalam masa suburnya.

Di banyak Negara berkembang seperti Indonesia, sangat sedikit perempuan yang mengetahui dan memiliki akses terhadap metode kontrasepsi. Hal tersebut yang kemudian banyak perempuan mengalami KTD dan dipaksa melakukan aborsi tidak aman.

Menurut laporan WHO, menunjukkan bahwa dalam satu tahun, terdapat sekitar 4,2 juta kasus aborsi di wilayah Asia Tenggara.   Di   Indonesia   sendiri,   jumlah   kasus   aborsi   berkisar   antara   750.000   hingga 1.500.000, yang hampir mencapai 50 persen dari total kasus dengan sekitar 2.500 kasus yang berujung  pada  kematian. https://www.who.int/news/item/28-09-2017-worldwide-an-estimated-25-million-unsafe-abortions-occur-each-year

 

Femisida Puncak Kekerasan Terhadap Perempuan

Tidak hanya KBGO dan pemaksaan aborsi yang meningkat, kasus femisida pada tahun 2024 juga meningkat. Bahkan September 2024 dijuluki sebagai September kelam karena banyaknya kasus femisida yang terjadi. seperti anak perempuan di bawah umur menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan. Lalu ada perempuan penjual gorengan yang juga mengalami hal serupa. https://news.detik.com/berita/d-7550784/pembunuh-pemerkosa-gadis-penjual-gorengan-diminta-juga-dijerat-uu-tpks

Pada awal November lalu, ada perempuan yang dibunuh saat sedang live di media sosial Facebook oleh suaminya sendiri https://www.bbc.com/indonesia/articles/c5y5p37w455o . Di Banyuwangi juga ada seorang anak perempuan berumur tujuh tahun yang menjadi korban pemerkosaan dan meninggal dunia. Meningkatnya kasus femisida seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah. Beda dari pembunuhan biasa, femisida merupakan pembunuhan terhadap perempuan karena berjenis kelamin Perempuan.

Berdasarkan laporan dari Jakarta Feminist, Sepanjang 2023 terjadi 180 kasus femisida tersebar di 38 provinsi di Indonesia. Kasus-kasus tersebut memakan 187 korban dengan melibatkan 197 pelaku. Mayoritas pelaku adalah laki-laki, yakni sebesar 94%. Adapun 6 korban femisida merupakan transpuan dan 12 korban lainnya merupakan anak perempuan. https://jakartafeminist.com/portfolio/laporan-femisida-2023-kekejaman-sistematis-memahami-brutalitas-femisida-dan-perlakuan-terhadap-jenazah/

Kurangnya sensivitas gender di tengah masyarakat dan aparat penegak hukum membuat kasus femisida tidak pernah berakhir bahkan meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan angka tersebut sudah seharusnya semua pihak terlibat untuk menuntaskan masalah kekerasan berbasis gender, utamanya pemerintah dan aparat penegak hukum.

Aparat penegak hukum perlu memiliki perspektif gender dalam menangani kasus femisida. Sehingga angka pembunuhan terhadap perempuan hanya karena jenis kelaminnya bisa ditekan. Penerapan undang-undang yang tepat dalam menangani kasus kekerasan seksual berbasis gender seperti KBGO, pemaksaan aborsi, hingga femisida juga sangat diperlukan. Selama ini kepolisian masih sering menangani kasus KBGO menggunakan UU ITE, padahal ada UU TPKS yang juga mengatur penanganan hingga pemulihan korban.

Begitu juga dengan kasus pemaksaan aborsi, akses informasi terkait kesehatan seksual dan reproduksi harusnya sudah merata, termasuk akses aborsi aman untuk KTD. Kebijakan pemerintah daerah hingga pemerintah pusat yang tidak berkeadilan gender harus segera dihapuskan agar tidak ada lagi kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Pemerintah seharusnya juga menyusun strategi untuk menangani dan mencegah kekerasan berbasis gender. Perempuan dan kelompok rentan berhak memiliki ruang aman di manapun mereka berada dan apapun yang mereka lakukan.

Mifta Sonia, perempuan yang tertarik untuk terus menyuarakan isu-isu gender dan kelompok marjinal. Saat ini sedang menggeluti dunia tulis menulis di media online.

 

 

 

Digiqole ad