Pekerja Rumahan, Ini 7 Situasinya

 Pekerja Rumahan, Ini 7 Situasinya

Ilustrasi (Sumber: Viarami/Pixabay.com)

JAKARTA, JALASTORIA.ID – Sejak pandemi Covid-19 merebak, istilah bekerja dari rumah (work from home) menjadi hal yang tidak lagi asing. Namun demikian, mereka yang bekerja dari rumah bukan berarti dapat disebut sebagai Pekerja Rumahan, ya!

Selain itu, Pekerja Rumahan juga berbeda dengan Pekerja Rumah Tangga. Walaupun kata “rumah” melekat kepada jenis pekerja ini, ada perbedaan di antara keduanya.

Nah, apa saja perbedaannya dan bagaimana fakta Pekerja Rumahan di Indonesia? Berikut ini tujuh situasi tentang Pekerja Rumahan yang JalaStoria rangkum dari Dialog Sersan melalui Live Instagram Ibu Ninik Rahayu, Tenaga Profesional Lemhannas RI bersama Ibu Ina Hunga, Dosen Universitas Kristen Satya Wacana pada 17 Oktober 2021.

 

  1. Perbedaan dengan Pekerja Rumah Tangga

Menurut Ina, Pekerja Rumahan adalah orang yang bekerja atau menerima pekerjaan dari seseorang atau sekelompok orang atau industri. Mereka mengerjakan pekerjaan itu di rumah sendiri atau di tempat yang dipilih sendiri. Pada umumnya Pekerja Rumahan tidak memiliki kontrak formal dengan pemberi kerja. Pembayaran upah biasanya berdasarkan satuan. Misalnya satuan barang yang dihasilkan, per-lusin, kilo, meter, atau hitungan lainnya.

Adapun Pekerja Rumah Tangga adalah orang yang bekerja melakukan pekerjaan domestik di rumah pemberi kerja atau majikan. Dari sisi pemberian upah, Pekerja Rumah Tangga umumnya dibayar berdasarkan waktu, misalnya setiap bulan.  Namun sebagaimana Pekerja Rumahan, Pekerja Rumah Tangga pada umumnya juga tidak memiliki kontrak formal dengan pemberi kerja.

Berdasarkan Konvensi International Labour Organization (ILO), definisi Pekerja Rumahan merujuk pada Konvensi ILO 177, sementara definisi Pekerja Rumah Tangga merujuk pada Konvensi ILO 189.

Keberadaan profesi Pekerja Rumahan tidak terlepas dari perubahan ekonomi di tingkat global. Menurut Ina, saat modernisasi mengemuka pada tahun 70-80an, industri mulai membuka pabrik dan mempekerjakan tenaga kerja untuk bekerja di pabrik.

Baca Juga: Kerja dari Rumah, Bagaimana dengan PRT?

 “Tapi setelah ada perubahan ekonomi global, industri mulai mengubah pola produksi, yang semula di pabrik, sekarang di rumah,” tutur Ina. Hal ini kemudian menyebabkan rumah berubah fungsi karena harus berbagi dengan industri.  Sementara itu, rumah adalah simbol domestik sehingga di dalamnya juga melekat pekerjaan domestik.

 

  1. Stereotype Low Skill

Pekerja Rumahan bekerja dalam rentang keterampilan yang sangat lebar . “Mereka mengerjakan pekerjaan yang sangat butuh skill sampai pekerjaan yang tidak butuh skill,” jelas Ina.

Secara umum, ada 2 kategori Pekerja Rumahan. Pertama, fully skilled seperti penerjemah, programmer, dan lain-lain. Menurut Ina, dalam kategori ini sebagian Pekerja Rumahan bekerja berbasis Informasi Teknologi (IT) dan wifi di rumah. Kategori ini bergantung pada keterampilan terkait software.

Sementara dalam kategori kedua, dianggap pekerjaan yang low skill, dimana pengkategorian ini sangat terkait dengan stereotype dalam penentuan suatu pekerjaan.  Jenis pekerjaan dalam kategori ini dianggap pekerjaan perempuan, tidak penting, dan tidak berketerampilan, di mana stereotype ini membentuk konstruksi untuk membayar murah pekerja. “Maka istilah low skill perlu dikritik,” tegas Ina.

Misalnya, untuk membuat ornamen batik yang disebut isen-isen sesungguhnya dibutuhkan keterampilan yang sangat tinggi. Namun, jenis pekerjaan ini dikonstruksi sebagai pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan sehingga dibayar murah.

Padahal, berdasarkan penelitian di Jawa Timur terhadap 10 komoditi, Ina membuktikan bahwa Pekerja Rumahan itu ada di rantai produksi yang sangat penting. “Justru mereka masuk di rantai yang penting di produk unggulan Indonesia,” tegas Ina.

 

  1. Keragaman Pekerja Rumahan

Ditinjau dari sektor produksi, Pekerja Rumahan dapat ditemui mulai dari sektor manufaktur dan produksi barang hingga jasa. Dalam sektor produksi barang, tutur Ina, jenis pekerjaan dalam kategori ini juga beragam. Misalnya, mewarnai batik, mendesain, membuat sumbu kompor, menjahit, membuat ukir-ukiran, membuat boneka, membuat sepatu, membuat sandal, dan lain-lain.

Keragaman jenis pekerjaan itu membuat kelompok Pekerja Rumahan nyaris tidak dikenali, termasuk adanya pengaburan nama untuk pekerjaan ini. Ina menyebutkan, di industri batik saja ada sejumlah nama untuk menyebut Pekerja Rumahan. “Ada yang disebut borongan, pengrajin, songgo, resi, mancal, maklon, dan lain-lain.”

Sementara berdasarkan komoditi produksi, Pekerja Rumahan tersebar di berbagai produksi komoditi. Antara lain, “Garmen, batik, tenun, monel, perak, kulit, bambu, rotan, makanan, emping. Juga pembuatan bulu tangkis dan jilid buku,” ungkap Ina.

 

  1. Bukan Home Industry

Komoditi yang dikerjakan oleh Pekerja Rumahan tak sedikit di antaranya merupakan industri besar dan berskala ekspor. “Ada industri yang disebar-sebar menjadi industri kecil dan dipecah ke rumah-rumah.” Misalnya dalam industri batik, ada yang membuat desain, mencanting, mewarnai, dan lainnya. “Kita sering terkelabui bahwa ini industri kecil, padahal tidak,” ungkap Ina.

Oleh karena itu, jenis pekerjaan yang dilakukan Pekerja Rumahan tidak tepat jika dikategorikan sebagai home industry (industri rumahan). “Karena Pekerja Rumahan bukan pengusaha dan tidak independen.”

Menurut Ina, jika seseorang punya daya tawar dan memiliki akses untuk menjual produk yang dihasilkan, maka dapat disebut sebagai pelaku UMKM. Sementara Pekerja Rumahan tidak mempunyai akses untuk menjual ataupun menambah dan membeli barang.

 

  1. Ketiadaan Jaminan Perlindungan

Selain tidak memiliki kontrak kerja, Pekerja Rumahan juga rentan mengalami pengurangan upah. Misalnya ketika hasil pekerjaan dianggap tidak memenuhi kriteria. Ina mencontohkan, hasil pengerjaan satu batik dihargai 100 ribu, namun pemberi kerja bisa membayar hanya 50ribu dengan alasan kurang a atau b tanpa negosiasi apapun.

Pengurangan upah juga terjadi ketika target pekerjaan tidak tercapai. Misalnya, Pekerja Rumahan di sektor garmen ditargetkan menyelesaikan 1 kodi jahitan. “Jika kurang dari 1 kodi, maka upahnya juga dikurangi,” tutur Ina menceritakan pengalaman di masa kecilnya menyaksikan ibunda melakoni pekerjaan Pekerja Rumahan usai mengajar.

Selain itu, kesehatan reproduksi Pekerja Rumahan juga tidak dijamin. “Kerja tidak mengenal jam dan tidak ada cuti,” tutur Ina. Jika Pekerja Rumahan di sektor garmen sedang full bekerja, bisa sampai membuat mereka tidak sempat memasak. “Mulai jam 4 pagi sudah jahit. Anak hanya dikasih makan dari penjual yang lewat.”

Ketiadaan perlindungan itu dinilai Ina memprihatikan karena Pekerja Rumahan justru mensubsidi industri dari sisi ekonomi, sosial, polusi, dan biaya kesehatan.

Baca Juga: 6 Kekeliruan Melarang Perempuan Bekerja

Ketiadaan perlindungan itu terkait dengan posisi Indonesia yang belum meratifikasi Konvensi ILO 177 tentang Pekerja Rumahan. Selain itu, belum ada regulasi di dalam negeri yang melindungi Pekerja Rumahan. Padahal, Ina mengingatkan, situasi ini sekaligus berpotensi merugikan negara karena tidak dapat menarik pajak dari industri yang mempekerjakan Pekerja Rumahan.

 

  1. Diskriminasi Upah

Dalam rantai industri yang dilakukan Pekerja Rumahan teridentifikasi jenis pekerjaan yang sangat maskulin, demikian juga sebaliknya. Misalnya, jenis pekerjaan ukir sepenuhnya dikerjakan oleh laki-laki. Demikian pula dengan printing dan pewarnaan batik. Sementara perempuan di industri batik hanya mengerjakan canting.

Namun, upah laki-laki yang mengerjakan pewarnaan berkali lipat lebih besar dari perempuan yang melakukan canting. Padahal, untuk menyelesaikan canting butuh waktu sampai 16 hari. “Inilah hirarki gender dalam struktur produksi,” ungkap Ina.

Sekalipun perempuan juga mampu melakukan pewarnaan batik, upah yang diterima tetap tidak sama dengan laki-laki yang juga mewarnai batik. Alasannya, karena laki-laki adalah kepala rumah tangga, lebih banyak berpikir, dan lain-lain.

Baca Juga: Diskriminasi terhadap Perempuan di Ruang Kerja

  1. Tidak Diuntungkan Situasi Pandemi

Sekalipun Pekerja Rumahan bekerja di rumah, namun situasi pandemi yang mewajibkan work from home tidaklah menguntungkan mereka. “Pasokan pekerjaan turun. Kalau tidak ada pekerjaan, otomatis tidak ada penghasilan,” jelas Ina. Sementara itu, mereka juga terkendala tidak punya uang ketika berkeinginan membuka usaha sendiri.

Pekerja Rumahan juga tidak dapat mengakses bantuan yang disalurkan pemerintah untuk subsidi pekerja selama pandemi. Ini karena mereka tidak terdata sebagai pekerja. Oleh karena itu, Ninik Rahayu mengingatkan, pengakuan profesi Pekerja Rumahan sebagai pekerja penting dilakukan agar mereka mendapatkan perlindungan dari negara.

***

Nah, berdasarkan tujuh situasi itu, menjadi terlihat ya perbedaan antara pekerja yang bekerja dari rumah, Pekerja Rumahan, Pekerja Rumah Tangga, dan pelaku UMKM atau home industry. Selain itu, mengingat situasi Pekerja Rumahan masih belum mendapatkan perlindungan dari negara, kepedulian banyak pihak terhadap situasi mereka sangatlah diperlukan. [MUK]

 

Digiqole ad