Nafkah Anak di Luar Perkawinan
Pertanyaan: Jika perempuan dan laki laki tidak menikah kemudian punya anak di luar perkawinan, namun laki-laki tidak memberi nafkah dan tidak memperhatikan, bisakah dimasukkan ke penelantaran?
R, Batam
Tanggapan:
Berdasarkan ketentuan dari Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa: “Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan Hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Berkaitan dengan kasus yang disampaikan tersebut, anak yang telah dihasilkan dari hubungan antara seorang perempuan dan laki-laki tersebut, di mana hubungan tersebut tidak dilakukan berdasarkan ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka Anak tersebut tergolong sebagai anak di luar perkawinan. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, anak di luar perkawinan memiliki hubungan hukum hanya kepada Ibunya serta keluarga ibunya.
Baca Juga: Anak Ibu dan Puan dengan Kehamilan yang Tidak Dikehendaki
Namun, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010, melalui Putusan Nomor: 46/PUU-VIII/2010, anak di luar perkawinan juga dapat memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya dan keluarga ayahnya. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konsitutusi tersebut, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dinyatakan konstitusional atau sesuai dengan UUD 1945 sepanjang dibaca sebagai berikut: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga Ibunya serta dengan ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Menurut Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, bahwa tidak adil ketika hukum menetapkan ada anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya. Hal ini tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang telah menghamili serta lari dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak.
Oleh karena itu, pemenuhan pembiayaan terhadap semua kebutuhan anak tersebut haruslah dari kedua belah pihak, yaitu ibu dan ayahnya.
Baca Juga: Dilema Korban Kekerasan Seksual dan Anak yang Dilahirkan
Adapun untuk proses hukumnya dapat ditempuh dengan menggunakan hukum perdata, yaitu melakukan proses mediasi dengan mengedepankan penyelesaian secara kekeluargaan. Hasil dari proses mediasi tersebut adalah dengan membuat atau menyusun sebuah kesepakatan secara tertulis tentang pemberian nafkah terhadap anak tersebut.
Hal seperti inilah yang mungkin dapat dilakukan terlebih dahulu. Tetapi jika dengan cara-cara pendekatan seperti ini tidak dapat dilakukan maka dapat diproses sebagai sebuah gugatan perdata di Pengadilan Negeri.
Adapun terkait pembuktian hubungan biologis antara anak dengan ayahnya, dapat dilakukan berdasarkan teknologi dan ilmu pengetahuan seperti tes DNA, tes DNA forensik, dan lain-lain.
Demikian yang dapat kami sampaikan,
Danielle Samsoeri, S.H., M.Si
Advokat