Mimpi Perempuan Kembali Bekerja
Oleh: Johana Purba
Dalam sebuah lowongan pekerjaan, tertulis demikian, “Perusahaan/Lembaga Adil Sejahtera membuka kesempatan yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, ras, etnis/suku, agama/kepercayaan, dan disabilitas. Mempromosikan keadilan gender dan mendorong perempuan untuk melamar.”
Membaca iklan lowongan seperti ini, perasaan saya membuncah. Saya sebagai seorang perempuan sekaligus ibu dua anak yang pernah punya karir, merasa sedikit lega. Ternyata tidak semua pintu perusahaan/lembaga tertutup. Namun entah kenapa, satu hingga empat lowongan seperti ini yang saya lamar, dengan kualifikasi yang tentunya sesuai, belum ada respons apalagi panggilan kerja.
Satu kelemahan yang saya amati bahwa mantan perempuan bekerja yang kini jadi ibu adalah pengalaman yang out of date (usang). Ini memang tidak bisa dipungkiri. Lihat saja, dalam lima sampai sepuluh tahun terakhir ini teknologi berkembang cepat, dunia yang saya tekuni juga semakin kekinian. Sementara dunia kerja yang saya minati, lembaga non profit salah satunya, sepertinya justru lebih saklek lagi entah kepada mereka yang punya pengalaman atau anak baru sekalipun. Meskipun saya sudah dewasa dan punya pengalaman, tapi tetap saja belum cukup untuk mereka.
Baca Juga: 6 Kekeliruan Melarang Perempuan Bekerja
Beberapa perusahaan media maupun lembaga non profit yang menghubungi saya, sekedar memberi kesempatan pada tahapan wawancara dan ekspektasi gaji. Belum sampai goal. Kemudian saya mengerti sendiri. Dengan usia dan pengalaman saya sepertinya akan sulit bila digaji ala mereka yang baru lulus. Sementara pilihan saya untuk jeda dari dunia kerja membuat saya tidak mempelajari dunia kerja baru.
Tetapi bukankah untuk menguasai sesuatu, paling tidak kita bisa mulai dulu? Bagaimana mereka tidak bisa mempercayai saya, mempercayai perempuan-perempuan yang senasib dengan saya untuk kembali masuk ke dunia kerja lagi? Memberi kesempatan kepada saya dan mereka bahwa kami mampu. Bahkan tulisan motivasi dalam surat lamaran seperti “Ingin terus belajar,” “Sanggup bekerja dalam team,” tidak menjadi menarik. Belum lagi banyak perusahaan atau lembaga yang entah hanya sekedar menguji pasar tenaga kerja atau tidak punya tata krama dalam melakukan rekrutmen.
Katakan mereka menerima 500 lamaran atau 60 lamaran atau bahkan hanya 6 lamaran. Tetap saja hanya 1 dari 10 perusahaan yang akan mengirimkan entah itu balasan otomatis, template maupun dengan spontan.
Dunia kerja sekarang memang beda. Apakah benar masih ada kesempatan untuk perempuan yang pernah bekerja untuk kembali bekerja? Atau iklan tersebut cuma sekedar basa basi? Atau perempuan yang memang tidak sanggup lagi berkompetisi dengan yang lain?
Baca Juga: Perempuan: Antara Cita-cita dan Diskriminasi Gender
Jika perempuan ingin kembali bekerja, pasti ada sejumlah alasan masuk akal. Pertama, faktor ekonomi yaitu perempuan atau ibu berdaya untuk keluarga mereka. Kedua, faktor psikologis yaitu perempuan yang pernah mencicipi dunia kerja sehingga dia tahu hal lain selain anak dan urusan domestik lain. Termasuk lantaran perempuan butuh eksis dan tetap mengasah otaknya. Ketiga, alasan politis. Ini tidak selalu ada. Namun, apapun alasannya, di era kesetaraan gender yang terus didengungkan, sebaiknya ini saatnya perusahaan/penyedia kerja membuktikan diri bahwa mereka inklusif. Bahwa mereka mau memberi kesempatan kepada perempuan untuk berdaya.
Saya pernah membantu penulisan untuk sebuah lembaga non profit. Lembaga ini memberdayakan ibu-ibu rumah tangga. Prinsipnya, jika kita memberi pekerjaan kepada seorang ibu, memberi mereka nafkah, uang, maka satu keluarga yang akan dia hidupi. Kalau pekerjaan itu diberikan kepada bapak, maka bisa saja dibelikan rokok dulu. Ada benar dan baiknya. Tapi apakah ini berita baik buat perempuan secara umum? Beda-beda ceritanya.
Ada satu pengalaman keluarga dekat saya soal perempuan kembali bekerja. Setelah 18 tahun meninggalkan dunia kerja, dia lantas menemukan pekerjaan baru. Memang dia mulai dari awal lagi. Namun sungguh besar hatinya, tulus niatnya, dia bekerja untuk dua faktor tadi, ekonomi dan psikologi. Dan saya melihat kini dia lebih bahagia, lebih berdaya, dan lebih cemerlang. Anak anaknya sudah beranjak besar dan dia menemukan dunia baru tetapi lama. []
Ibu dua anak, mantan wartawan, penulis lepas, instruktur yoga, hidup untuk bercerita