Merespons Pemberitaan Tidak Responsif Gender, JalaStoria bersama Dewan Pers dan KemenPPPA Gelar Workshop

 Merespons Pemberitaan Tidak Responsif Gender, JalaStoria bersama Dewan Pers dan KemenPPPA Gelar Workshop

Workshop Peningkatan Kompetensi Wartawan dalam Pemberitaan, Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pers di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Rabu, 6 November 2024.

Merespons permberitaan yang tidak responsif gender, JalaStoria bersama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) dan Dewan Pers mengadakan workshop Peningkatan Kompetensi Wartawan dalam Pemberitaan, Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pers di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Rabu, 6 November 2024.

Ninik Rahayu, ketua Dewan pers, mengatakan workshop ini adalah upaya untuk membangun pengetahuan dan pemahaman bagi insan pers, sesuai dengan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) No 32 Tahun 2022.

Hal senada disampaikan juga oleh Maria Mudalini, Analis Kebijakan Ahli Muda Perumusan Kebijakan mewakili Asisten Deputi (Asdep) Perumusan Kebijakan Perlindungan Perempuan dan Anak KemenPPA, menyatakan bahwa kekerasan seksual menjadi persoalan yang krusial. Persoalan ini tidak bisa diatasi sendiri, butuh peran dari pihak lain. Media menjadi salah satu bagian yang berperan penting namun sering kali tidak memerhatikan hak-hak korban.

Permasalahan tersebut dibahas lebih dalam oleh Yefri Ariani, yang mewakili Ninik Rahayu Direktur JalaStoria, dalam materinya yang berjudul “Etika Jurnalistik Pemberitaan Kekerasan Seksual di Media dalam Pendekatan Perlindungan Korban dan Responsif Gender”.

 

Baca Juga : Perkumpulan JalaStoria Gelar Workshop Mengajak Wartawan Lebih Peka Memberitakan Korban Kekerasan Seksual

 

Yeni menjabarkan bahwa masih ditemukannya “kata kunci” dalam pemberitaan yang belum mencerminkan perlindungan korban dan tidak responsif gender. Ia membagi temuannya dalam dua bagian.

Pertama, pemberitaan yang tidak responsif gender mengandung sterotyping (pelabelan) dengan kata kunci janda, gampangan, seksi; diskriminasi dengan kata kunci digilir, jual perempuan, kawin paksa; marginalisasi dengan kata kunci penebar aib keluarga; merusak nama baik, diusir warga; victim blaming (menyalahkan korban) dengan kata kunci baju ketat, rok mini, tidak menyenangkan suami.

Kedua, pemberitaan yang belum memberi perlindungan bagi korban adalah dengan mengungkap identitas seperti nama korban, alamat rumah dan tempat kerja/sekolah; detail kejadian seperti kronologis vulgar dan repetisi narasi kekerasan; penghakiman korban seperti pelakor, penggoda, pulang malam; penghukuman seperti berbuat zina, layak diceraikan dan dinikahkan dengan pelaku.

Lebih lanjut, Yefri juga memberikan rekomendasi untuk mencegah munculnya pemberitaan yang tidak responsif gender. Pertama, redaktur, wartawan atau kontributor harus menyaring judul, diksi, maupun narasi yang responsif gender dan memberikan perlindungan atas identitas korban dalam pemberitaan kekerasan seksual.

Kedua, pimpinan redaksi maupun pemilik media semestinya dapat memberikan atensi dan dukungan perlindungan korban kekerasan seksual dengan melakukan kontrol yang lebih ketat atas pemberitaan kekerasan seksual.

Ketiga, organisasi wartawan dapat memberikan pelatihan maupun sertifikat jurnalistik berspektif perlindungan korban dan responsif gender khususnya dalam pemberitaan kekerasan seksual.

 

Baca Juga : Mengenal Arti dan Makna Relasi Kuasa

 

Keempat, Dewan Pers dapat melakukan penyusunan pedoman pemberitaan ramah terhadap korban kekerasan seksual sebagai bagian dari standar maupun etika jurnalistik, serta merumuskan pedoman pendidikan bagi wartawan tentang metode dan pendekatan pemberitaan kekerasan seksual berspektif perlindungan korban dan responsif gender.

Setelah menyampaikan rekomendasi mencegah pemberitaan tidak responsif gender, workshop diakhiri dengan diskusi kelompok untuk mengidentifikasi pemberitaan kekerasan seksual.

Kegiatan ini merupakan uji coba modul pelatihan yang digagas JalaStoria di 3 wilayah Indonesia yakni Kalimantan Selatan, Yogyakarta dan di Kupang, NTT. Workshop ini turut dihadiri oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTT, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) NTT, berbagai lembaga perlindungan Perempuan dan anak, Lembaga Bantuan Hukum serta wartawan atau jurnalis hingga Perusahaan pers.

 

Uswatun Hasanah, Perempuan yang akrab disapa Uung

Digiqole ad