Mereka yang Bergerak Siap Ambil Risiko

 Mereka yang Bergerak Siap Ambil Risiko

Ilustrasi (Sumber:Free-vector/Freepik.com)

Oleh: Daniel Simatupang

Saat itu aku masih semester tiga ketika mendapat panggilan “kaum LGBTQIA+”. Sebutan itu tentu membuatku kesal. Bukan dalam artian memiliki orientasi yang sama dengan teman-teman LGBT, melainkan kata “kaum” yang digunakan memiliki konotasi negatif.

Di kampus aku mengambil jurusan psikologi. Aku ingin lebih jauh lagi dalam memanusiakan manusia. Mencoba menempatkan diri pada kelompok minoritas di Indonesia dan belajar bertahan hidup dalam belantara dunia. Alasan itulah yang kemudian mendorongku pada diskusi-diskusi dan kajian mengenai gender, kekerasan seksual, perempuan, dan LGBTQIA+. Aku termasuk aktif dalam kajian tersebut. Keterlibatanku sudah dimulai sejak awal semester dua. Hadir dalam kajian yang diselenggarakan pihak eksternal juga memperkaya literasi dengan membaca karya ilmiah, media massa, dan buku. Fokus kajianku menyasar pada isu gender, seksual, dan LGBT.

Tidak banyak mahasiswa yang berani masuk ke ranah tersebut. Terlebih kampus kami terkenal dengan kampus yang agamis. Sehingga banyak mahasiswa menghindari diskusi dan kajian LGBT. Pada akhirnya, sebagian dari mereka melakukan penghakiman kepadaku. Tak bisa dipungkiri aku pun merasa malu atas penghakiman itu. Namun, perasaan itu tidak bertahan lama. Aku berhasil membalik perspektif yang membelenggu itu.

Baca Juga: Membaca Ulang Konsep Gender dalam Pembangunan

Aku memang tak bisa mengontrol apa yang orang lain pikirkan tentangku. Aku pun tak bisa menahan apa yang ingin orang lain sematkan padaku. Aku hanya bisa mengontrol dan meregulasi diri sendiri. Mengubah perspektifku terhadap suatu fenomena. Hal itulah yang membuatku mampu melepas belenggu perspektif di atas. Selain itu, aku beranggapan barang siapa yang siap untuk bergerak, maka ia juga siap untuk mengambil risiko.

Mulai Percaya Diri

Perlahan namun pasti, aku mulai mengedukasi teman-teman yang tingkat kesadarannya terhadap perempuan dan kekerasan seksual masih rendah. Di sini aku menggunakan teori kebutuhan Abraham Maslow, seorang tokoh psikologi aliran humanistik. Teori kebutuhan dasar itu memiliki lima tingkatan. Pertama, kebutuhan fisioligis berupa makanan, minuman, tidur, seks, pakaian, dan lain sebagainya. Kedua, kebutuhan keamanan berupa rasa aman, keteraturan, stabilitas, dan lain-lain. Ketiga, kebutuhan sosial yaitu afeksi, relasi keluarga, kasih sayang, cinta, persahabatan, dan lain-lain. Keempat, kebutuhan penghargaan yaitu prestise, perasaan pencapai, pengakuan, status, tanggungjawab, dan lain-lain. Kelima, aktualisasi diri yaitu keinginan untuk menjadi yang terbaik, pengembangan diri, pemenuhan ideologi, dan lain-lain.

Aku menggunakan salah satu kebutuhan fisiologis manusia, yaitu seks. Laki-laki, yang aku tahu, kerap kali bercanda seksis. Dengan itu aku memancing mereka untuk menceritakan pengalaman seksualnya. Setelah menemukan hal-hal yang dirasa janggal dan keliru, aku mulai meluruskan hal-hal tersebut. Setelah berjalannya waktu, mereka mulai menikmati diskusi dan mendapatkan insight baru tentang fakta-fakta isu kekerasan seksual, gender, dan perempuan.

Baca Juga: ­Gender dan Permasalahan Citra Tubuh

Pendekatan yang aku gunakan kepada laki-laki tentu berbeda dengan mereka yang perempuan. Kebanyakan perempuan justru sebaliknya. Mereka sangat menghindari diskusi terkait seksualitas, namun sangat tertarik dengan isu kekerasan seksual serta kesehatan reproduksi. Dari pengalamanku, ini terbukti mampu mendorong teman-teman perempuan menyadari, jika mereka juga pernah menjadi korban kekerasan  seksual. Begitupun dengan teman laki-laki yang menyadari jika mereka sering menjadi pelaku kekerasan seksual.

Lalu semuanya berlanjut hingga aku memutuskan untuk menggunakan semua media sosialku untuk mengkampanyekan isu kekerasan seksual, gender, perempuan, dan LGBTQIA+. Kali ini, risiko yang aku hadapi jauh lebih besar. Penolakan dan pemblokiran konten seringkali aku alami jika membahas tentang LGBTQIA+. Tentu aku tidak marah. Penolakan itu meneguhkan yakinku jika semakin aku bergerak maka semakin banyak risiko yang akan aku ambil.[]

Penulis merupakan seorang pegiat psikologi yang fokus pada isu kekerasan berbasis gender dan seksual

Digiqole ad