Merefleksikan Semangat Hari Ibu di Tengah Pandemi

 Merefleksikan Semangat Hari Ibu di Tengah Pandemi

Ilustrasi (JalaStoria.id)

 

Di Indonesia, Hari Ibu diperingati setiap 22 Desember. Perayaan hari ibu merupakan cerminan dari perjuangan cita-cita pemenuhan hak-hak perempuan yang didasarkan pada Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Jogjakarta.

Hari Ibu tidak terlepas dari suasana menguatnya semangat kebangsaan pasca sumpah pemuda yang berlangsung dua bulan sebelumnya. Keprihatinan terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan juga mengemuka dalam pertemuan ratusan perempuan dari berbagai daerah di Indonesia kala itu. Antara lain, perkawinan usia anak, poligami, serta kekerasan dalam rumah tangga.

Sayangnya, spirit itu nampaknya tidak lagi dihayati atau bahkan diketahui oleh sebagian masyarakat Indonesia saat ini. Dengan mudah terlihat bagaimana sebagian masyarakat menyamakan Hari Ibu sebagai mother’s day yang dirayakan oleh negara-negara lain di dunia. Antara lain, melalui berbagai ungkapan yang sebatas menyanjung peran domestik perempuan sebagai ibu.

Meluruskan Makna

Oleh karena itu, tidak sedikit organisasi perempuan yang kemudian bergerak untuk meluruskan kembali makna Hari Ibu dengan mereflleksikan capaian dan tantangan perempuan setelah Kongres Perempuan Indonesia 92 tahun yang lalu. Antara lain, Kongres Wanita Indonesia (Kowani), yang secara khusus menyelenggarakan webinar bertajuk Dialog 3 Generasi terkait Pemaknaan Hari Ibu. Dalam kegiatan yang digelar secara daring pada 18 Desember 2020 itu, Ketua Umum Kowani, Giwo Rubianto menegaskan perlunya meluruskan kembali kekeliruan pemaknaan Hari Ibu yang selama ini muncul di masyarakat. Demikian pula dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dalam acara puncak peringatan 92 tahun Hari Ibu pada 22 Desember 2020 melalui kanal Youtube KPPPA, secara substantif menyampaikan pesan esensi sesungguhnya makna Hari Ibu yang sangat berbeda dengan glorifikasi peran domestik perempuan.

Refleksi Gerakan Perempuan

Selain itu, pemaknaan Hari Ibu juga dilakukan dengan merefleksikan perjuangan gerakan perempuan pasca 1928 sampai dengan sekarang. Misalnya, pernyataan dari Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI). Organisasi yang merupakan wadah berhimpun perempuan anggota legislatif ini mengingatkan capaian langkah maju bagi perjuangan perempuan yang dirintis sejak Kongres Perempuan Indonesia I. Berbagai upaya untuk mencegah perkawinan anak, kesetaraan akses perempuan terhadap pendidikan dan kesehatan, perjuangan hak atas pekerjaan dan upah layak, serta berbagai upaya lain yang bertujuan untuk mewujudkan perlindungan dari kekerasan telah dapat dirasakan, meski belum dapat dikatakan sempurna.

Secara khusus, KPP-RI menyoroti perjuangan perempuan pada tahun 2020 menghadapi tantangan tidak mudah. Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia telah berdampak besar bagi perempuan sebagai salah satu kelompok yang paling rentan. Diskriminasi serta ketimpangan yang dirasakan perempuan meningkat selama masa pandemi baik dari sisi ekonomi, akses terhadap layanan kesehatan, hingga meningkatnya potensi dan risiko kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Dampak Pandemi

Mengutip pernyataan tertulis dari KPP-RI, berdasarkan data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KPPA-RI), selama masa pandemi, telah terjadi 3.087 kasus kekerasan terhadap anak, di antaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual. Sedangkan pengaduan melalui Layanan Psikologi Sehat Jiwa (SEJIWA) hingga Juni 2020 telah masuk 8.842 aduan ke layanan ini. Umumnya aduan disampaikan para perempuan yang memerlukan layanan pendampingan anak dan atau perempuan korban kekerasan.  Tingginya kasus kekerasan di masa pandemi menunjukkan bahwa perempuan dan anak benar-benar berada di zona bahaya kekerasan di setiap waktu.

Dari segi ekonomi, pandemi Covid-19 memposisikan pekerja perempuan dalam kondisi marjinal. ILO dalam konteks global mengungkapkan bahwa Covid-19 berpengaruh secara proporsional bagi pekerja perempuan dan memperburuk kesetaraan gender di pasar tenaga kerja. Secara proporsional, pekerja perempuan banyak bekerja di sektor ekonomi yang terdampak besar oleh Covid dan berakibat pada PHK massal. Tekanan ekonomi yang lebih berat dialami oleh perempuan ditunjukkan dengan hilangnya pekerjaan bagi 60% pekerja perempuan di sektor informal. Hasil riset dampak sosial dari Badan Pusat Statistik selama PSBB juga menyebut adanya penurunan pendapatan pada 71 persen perempuan dari pendapatan rendah dan ini lebih sulit bagi perempuan yang merupakan kepala keluarga, lansia, dan disabilitas.

Selain itu, KPP-RI mengingatkan peran penting perempuan dalam upaya penanganan pandemi Covid-19. “Perempuan merupakan proporsi terbesar dari tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan dalam penanganan pandemi,” ungkap Diah Pitaloka, Ketua Presidium KPP-RI dalam pernyataan tertulis yang diterima redaksi (21/12). Dengan berani mereka menghadapi resiko penularan virus yang lebih tinggi. Meski demikian, perjuangan mereka belum mendapatkan apresiasi yang setimpal. Laporan WHO memaparkan bahwa meski 90% tenaga kesehatan di dunia didominasi oleh perempuan, namun mereka dibayar 28% lebih rendah dibanding laki-laki. Tenaga kesehatan perempuan juga lebih banyak menghadapi kesulitan untuk diangkat menjadi pegawai tetap pada sebuah organisasi.

Selain itu, menurut Luluk Nur Hamidah, Sekretaris Jenderal KPP-RI, juga terdapat jutaan perempuan tangguh yang bekerja dalam ruang senyap tanpa publikasi dan apresiasi. Mereka adalah para perempuan petani yang memastikan bahwa setiap orang tetap tersedia cukup pangan di masa yang sulit ini. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah perempuan petani di Indonesia pada tahun 2018 tercatat sebanyak 8.051.328 jiwa. Mereka tak pernah berhenti bekerja menyediakan pangan untuk kita semua. Sebagian dari mereka bahkan bekerja hingga malam larut di lahan pertanian agar produksi padi tidak terganggu oleh pandemi.

Namun dalam posisi itu, nasib dan keselamatan petani perempuan agaknya tak terpikirkan, padahal sekali lagi mereka berjuang untuk menjaga pasokan pangan nasional, khususnya dalam masa krisis pandemi seperti sekarang. Karena itu intervensi negara terhadap keselamatan kaum perempuan petani yang beraktifitas di ruang terbuka (lahan pertanian) terutama industri-industri pertanian, yang rentan terhadap Covid-19 menjadi sangat penting sebagai bentuk kepedulian negara pada mereka.

Selain itu, KPP-RI juga menaruh keprihatinan dan menyesalkan peningkatan perkawinan usia anak serta permintaan dispensasi kawin. Setidaknya sejak awal tahun 2020 ini, tercatat 34 ribu permohonan dispensasi kawin diajukan ke Pengadilan Agama. Lebih lanjut, data KPAI mencatat sekitar 109 perkawinan anak telah terjadi hanya dalam beberapa bulan sejak awal pandemi. Laporan KPAI juga mengungkap, dari pantauan terhadap 49 sekolah di 21 kabupaten/kota, angka kasus putus sekolah yang terjadi selama pandemi di antaranya disebabkan oleh perkawinan anak.

Galang Solidaritas

Permasalahan yang masih banyak menyisakan perkerjaan rumah tersebut, menurut Diah Pitaloka, membutuhkan upaya bersama untuk menggalang solidaritas, kerjasama dan solusi yang digerakkan dan dipimpin bersama-sama oleh perempuan. Hal ini, menurut Diah, menunjukkan bahwa jalan kepemimpinan perempuan merupakan jalan perjuangan yang belum selesai.

Merayakan hari ibu di masa pandemi kali ini, menurut Diah, agar tidak menyurutkan nafas perjuangan politik perempuan, “Sebab perjuangan perempuan merupakan semangat yang mewarnai kemerdekaan dan kebangsaan Indonesia.” Oleh karenanya, KPP-RI menyerukan agar masyarakat Indonesia menghadapi berbagai tantangan saat ini dengan kebersamaan serta mendorong kepemimpinan perempuan untuk menghasilkan kebijakan yang inklusif bagi kesetaraan perempuan. [EM]

 

Digiqole ad