Menyoal Pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Seksual

 Menyoal Pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Menjelang akhir tahun 2021 lalu publik dicengangkan laporan jurnalistik Project Multatuli (PM) yang berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan”. Tulisan PM menceritakan perjuangan seorang ibu di Luwu Timur yang melaporkan pemerkosaan yang diduga dilakukan mantan suaminya kepada ketiga anak perempunnya dengan disertai tagar ‘percuma lapor polisi’. Tagar tersebut bukan tanpa maksud, kasus yang dilaporkan ke polisi pada 2021 dengan serangkaian pemeriksaan panjang ditutup karena dianggap kurang alat bukti.

Tak lama setelah ramai-ramai media merepublikasi tulisan PM, publik kembali menyoroti kepolisian karena kasus seorang ibu di Bekasi yang disuruh menangkap sendiri pelaku perkosaan terhadap anaknya oleh polisi. Mendengar respon polisi yang dianggap tidak peka saat melaporkan kasus yang menimpa anaknya, Ibu tersebut bersama kerabatnya mencokok pelaku di stasiun, yang diduga pelaku berencana melarikan diri ke luar kota dengan naik kereta. Alasan polisi menyuruh Ibu menangkap sendiri pelaku menurut ibu korban juga mirip-mirip dengan kasus di Luwu Timur, karena tidak ada alat bukti untuk menangkap.

Baca Juga: Memahami Kembali Korban Kekerasan Seksual, Meneguhkan Etika Kemanusiaan

Kasus kekerasan seksual sebelum ada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebagian besar bernasib tragis. Masuk laci karena alasan kasus kurang alat bukti. Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram Joko Jumadi, aparat penegak hukum selalu mengedepankan aspek pembuktian kasus berdasarkan Visum et Repretum/VeR (surat keterangan dari ahli tentang hasil pemeriksaan terhadap sesuatu berdasarkan keahliannya- red). Lalu bagaimana sesungguhnya permasalahan terkait pembuktian kasus kekerasan seksual?

  1. Mengandalkan Alat Bukti Konvensional

Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram Joko Jumadi penanganan kasus kekerasan seksual sulit dimenangkan selama mengandalkan alat bukti konvensional. “Soal KS, saksi rata-rata ya korban itu sendiri. KS biasanya dilakukan di tempat yang tersembunyi. Jadi agak sulit (pembuktiannya),” ujar Joko dalam dialog interaktif yang diselenggarakan Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS) berkerjasama dengan Yayasan Sukma dan Pro RRI Semarang dengan tema “Alat Bukti Keterangan Psikolog Klinis dan Psikolog Forensik dan Hukum Acara Pembuktian UU TPKS”, Jumat (5/8/22).

Dengan adanya UU TPKS, kini pembuktian tidak lagi sulit. UU TPKS mengatur alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana kekerasan seksual. Alat bukti tak lagi merujuk pada pembuktian konvensional yang melulu selalu berupa visum. Pasal 24 UU TPKS ayat (1) menyatakan, “Alat bukti yang sah dalam pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana; b. alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan/atau benda atau barang yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.

 Kemajuan dalam pembuktian kasus kekerasan seksual juga diatur dalam Pasal 24 ayat (2), “Termasuk alat bukti keterangan saksi yaitu hasil pemeriksaan terhadap Saksi dan/atau Korban pada tahap penyidikan melalui perekaman elektronik.

  1. Ketakutan Korban untuk Melapor

Vitri Lazarini atau biasa disapa Lia, tenaga ahli Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) DKI Jakarta mengatakan hambatan terkadang datang dari korban. Hal ini lantaran kondisi psikologis korban yang takut melapor karena cemas laporannya ditolak.

Baca Juga:5 Tantangan Penyandang Disabilitas Korban Kekerasan Seksual

  1. Tidak Adanya Dukungan Keluarga

Dalam menangani kasus kekerasan seksual, pendamping memerlukan dukungan dari banyak pihak khususnya keluarga. Masih banyak keluarga korban yang justru menekan dan menyuruh korban melupakan peristiwa yang pernah dialami dan tidak memperpanjangnya. Untuk itu fokus pendampingan kasus tidak hanya kepada korban tetapi juga kepada keluarga korban.

“Karena korban lapor atau tidak biasanya tergantung dari ada atau tidaknya dukungan keluarga,” ujar Lia yang juga menjadi pembicara dalam acara yang sama.

***

UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual lahir menjawab permasalahan baik penanganan, pendampingan, pemulihan, maupun perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. UU TPKS juga hadir mengajak partisipasi masyarakat dalam hal pencegahan, pendampingan, pemulihan, dan pemantauan terhadap tindak pidana kekerasan seksual. [Kustiah]

 

Sumber:

Visum et Repertum – KlinikHukumonline

Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Laporke Polisi. Polisi MenghentikanPenyelidikan. – Project Multatuli

Ketika Warga Merasa Percuma Lapor Polisi… (kompas.com)

Digiqole ad