Menyoal ‘Dihilangkannya’ Partisipasi Publik dalam Pembentukan RUU TPKS
Setelah disahkan sebagai Rancangan Undang-Undang Inisiatif DPR RI dalam Sidang Paripurna DPR pada 18 Januari 2022, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) hingga hari belum ada lagi kabarnya. Menurut informasi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), pemerintah telah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) kepada DPR pekan lalu.
Sebelumnya, pemerintah (Kantor Staf Kepresidenan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) beberapa kali mengundang masyarakat sipil untuk konsultasi publik. Anehnya, dalam pembahasan RUU TPKS, masyarakat sipil tidak melihat DIM dibuka untuk ditelaah dan didiskusikan bersama.
Baca Juga: Jaringan Perempuan Keluhkan Sikap Pemerintah ‘Rahasiakan’ DIM RUU TPKS
Ninik Rahayu, Direktur Jalastoria.id, sebagai salah satu perwakilan masyarakat sipil yang diundang pemerintah dalam konsultasi publik mengungkapkan, dalam pertemuan pemerintah hanya menyampaikan telah mengakomodasi masukan masyarakat sipil. Namun tidak menunjukkan apa saja masukan yang telah diakomodasi dan apa saja masukan yang tidak diakomodasi.
“Pemerintah tidak terbuka dengan DIM pembahasan. Apa yang disampaikan hanya cerita, ini dan itu, bahwa masukan masyarakat sipil sudah diakomodasi 95%. Mana yang diakomodasi, mana yang tidak dan mengapa tidak diakomodasi tidak ada penjelasannya dan tidak ditunjukkan materi DIM-nya,” ujar Ninik dalam konferensi pers secara virtual yang diselenggarakan Jaringan Pembela Perempuan Korban Kekerasan Seksual, Kamis (17/2).
Baca Juga: Dinamika Penyusunan, Pembahasan, dan Pengesahan RUU TPKS 2015-2022
Menurut Ninik, sikap pemerintah yang memiliki semangat untuk segera mengesahkan RUU TPKS menjadi undang-undang patut diapresiasi. Namun, yang perlu digarisbawahi dalam proses pembentukan sebuah perundang-undangan seharusnya pemerintah lebih mementingkan substansi RUU.
“Bukan sekadar cepat, tetapi yang paling penting RUU ini bisa diimplementasikan, mengakomodasi kebutuhan masyarakat, terutama perempuan, anak, dan disabilitas korban kekerasan seksual,” kata mantan Ombudsman RI ini menambahkan.
Pentingnya melibatkan masyarakat sipil dalam pembentukan perundang-undangan, khususnya pembentukan RUU TPKS, juga disampaikan Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti. Kepada jurnalis yang hadir Bivitri menekankan pentingnya DPR dan pemerintah berpegang pada pinsip “partisipasi bermakna’, yaitu melibatkan masyarakat terdampak dan yang punya concern, bukan hanya ahli.
Partisipasi bermakna, sesuai yang dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan UU Cipta Kerja, yaitu partisipasi yang mengedepankan hak untuk didengarkan pendapatnya, hak dipertimbangkan pendapatnya dan hak mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat tersebut.
“Untuk bisa memenuhinya, DPR dan Pemerintah harus benar-benar transparan dan memberikan bahan, termasuk DIM, terlebih dahulu sebelum rapat dalam waktu yang cukup, agar masyarakat sipil bisa memberikan masukan yang substansif. Apabila ada masukan yang tidak diterima, hak untuk mendapat penjelasan juga harus diterapkan,” ujar Bivitri.
Baca Juga:Jalan Terjal RUU P-KS Menjadi RUU TPKS
Keuntungan dari partisipasi, Pemerintah dan DPR bisa mendapatkan masukan dari masyarakat sipil, khususnya kelompok yang terdampak, pendamping, dan kelompok masyarakat yang fokus terhadap isu kekerasan seksual. Selain partisipasi, pemerintah dan DPR perlu menekankan pentinganya transparansi yakni dengan memberikan akses kepada masyarakat sipil untuk mengikuti pembahasan yang dilakukan secara terbuka.
Sebaliknya, sikap ‘menutup’ DIM, justru berpotensi menjadikan RUU TPKS tidak implemetatif. Karena secara substansi RUU tidak mengakomodasi kebutuhan masyarakat sipil, korban, juga pendamping korban Kekerasan Seksual.
“Lagipula kalau tertutup itu kan potensi dimanfaatkan’pihak-pihak’ tertentu yang berkepentingan menjadikan RUU ini tidak implementatif sangat mungkin terjadi. Jadi, tidak ada alasan bagi pemerintah tidak memberikan, membuka DIM RUU TPKS kepada publik,” ujar salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) ini menambahkan.
Kustiah