Menyingkap Mitos Perempuan Nusantara 

 Menyingkap Mitos Perempuan Nusantara 

Cover Buku (Sumber: Koleksi Pribadi)

Oleh: Chris Poerba

 

Judul Buku: Perempuan Dalam Mitos-mitos Nusantara Melalui Pemmikiran pos-Struktualis: Julia Kristeva

Penulis: Adriana Venny Aryani

Penerbit: Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2)

Tahun: Cetakan 1, Desember 2022

Tebal: 314 halaman

 

Alkisah, Bandung Bondowoso, Raja dari Pengging ingin menikahi Roro Jonggrang. Namun, perempuan itu enggan dan memberikan syarat yang sangat berat, agar dibangun 1000 candi dalam semalam. Ternyata jelang pagi, 1000 candi hampir selesai. Roro Jonggrang pun meminta penduduk agar segera bangun dan menumbuk lesung. Agar jin yang sedang bekerja menyangka hari sudah pagi. Setelah mengetahuinya, raja itu marah dan mengutuk Roro Jonggrang menjadi candi ke-1000. Itulah mitos yang sering kita dengar. Padahal, fakta sejarah telah menyebutkan Candi Prambanan dibangun oleh Wangsa Syailendra abad 17.

Namun, mitos tersebut terus direproduksi sampai saat ini. Menjadi mitos yang baru, yaitu: “Sebaiknya perempuan yang belum menikah jangan datang ke candi tersebut, nanti mendapat kutukan Bandung Bondowoso, menjadi perawan tua”. Mengapa demikian?

Inilah yang dinyatakan oleh Julia Kristeva sebagai “Reproduksi mitos, sehingga simbol tetap seperti simbol”. Menjadi hipersemiotika, yaitu Ilmu tentang tanda dan fungsinya dalam masyarakat yang secara khusus menyoroti sifat berlebihan atau ekses-ekses pada tanda, sistem tanda, dan proses pertandaan (hlm. 293).

Baca Juga: Ibu Sud: Laku Perempuan untuk Negeri

Adriana Venny melakukan analisis tersebut dalam bukunya ‘Perempuan dalam Mitos-Mitos Nusantara Melalui Pemikiran Feminis Pos-Strukturalis: Julia Kristeva‘ (Lembaga Partisipasi Perempuan, Desember 2022). Mitos mengenai Roro Jonggrang tersebut menjadi salah satu representasi mitos perempuan nusantara yang dianalisisnya.

Dewasa ini, hipersemiotika tentang anjuran perempuan lajang agar tidak datang ke Candi Prambanan sudah mulai sayup-sayup terdengar. Seiring dengan seringkali diadakan konser musik di Candi Prambanan, sebutlah paling rutin adalah Prambanan Jazz. Hanya Dream Theater (DT) yang batal konser pada tahun 2017, namun ini pun tidak ada kaitannya dengan mitos. Jelang H-3, pihak perizinan membatalkan konser, setelah ada pertimbangan dari Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI). Sepertinya, pihak perizinan mengira kalau DT juga memainkan musik Jazz, padahal progresif metal. Dikhawatirkan dentuman musiknya mengubah struktur bebatuan candi dan menyebabkan kerusakan. Setelah pandemi hampir tiga tahun, konser DT baru terlaksana di Solo, 2022. Tahun 2023, Westlife pun baru selesai konser di Candi Prambanan. Dari serangkaian konser yang pernah dilakukan, beberapa yang datang bahkan menemukan jodohnya di sana, dan langgeng. Namun, apakah dengan demikian maka mitos tersebut sudah lenyap selamanya?

Semenjak kecil kita selalu dikisahkan tentang legenda, folklore, dan cerita rakyat nusantara yang diturunkan secara lisan maupun tulisan. Kisah tentang asal muasal tempat dan penamaannya. Sebenarnya legenda, cerita rakyat, folklore tersebut juga mengajarkan nilai moralitas baik untuk menghindari keburukan. Namun ada juga yang membuatnya menjadi mitos yang menyebabkan diskriminasi dan misoginis terhadap perempuan.

Baca Juga: Saatnya Cinderella Menyelamatkan Dirinya Sendiri

Bagaimana dengan mitos-mitos perempuan nusantara di daerah kita masing-masing?

Menariknya, buku ini memuat metodologi agar kita dapat menggunakan kacamata baru untuk membaca sekumpulan teks lisan dan non lisan dari mitos-mitos perempuan nusantara yang telah ada selama ini. Mengapa mitos itu hadir? Mengapa tetap ada? Walaupun, bisa saja, nantinya mitos-mitos tersebut masih tetap ada, namun bagaimana cara kita menyikapi mitos-mitos tersebut menjadi lebih baik. Menjadi manusiawi.[]

 

Penulis Buku ‘Gender, Seksualitas, dan HAM Perempuan’ (Oktober, 2022) 

 

Digiqole ad