MENGULIK PRINSIP INKLUSIVITAS DALAM LAYANAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DI INDONESIA

Oleh : Khoirun Ni’mah
Setiap peristiwa Kekerasan Berbasis Gender (KBG) merupakan tindakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia sebagai hak dasar yang dimiliki oleh setiap individu yang telah diatur dalam berbagai instrumen hukum baik nasional maupun internasional. Pada banyak kasus, Kekerasan Berbasis Gender seringkali menyebabkan kompleksitas pada penderitaan fisik, psikologis, seksual, sosial, serta ekonomi pada korban. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya penanganan dan perlindungan yang menyeluruh bagi korban agar hak-hak mereka terlindungi demi memastikan kualitas hidup yang lebih baik.
Data mengenai Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di Indonesia menggambarkan fenomena gunung es, di mana jumlah kasus yang terungkap hanyalah sebagian kecil dibandingkan dengan kasus-kasus yang tersembunyi dan tidak dilaporkan. Banyak korban yang enggan melapor atau memproses kasusnya akibat stigma sosial, ketakutan, serta minimnya akses terhadap layanan dukungan, sehingga jumlah sebenarnya dari peristiwa kekerasan jauh lebih besar dan seringkali tidak terdeteksi. Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) 2023 yang dirilis oleh Komnas Perempuan, terdapat 457.895 kasus kekerasan yang dilaporkan, di mana 339.782 di antaranya adalah kasus kekerasan berbasis gender. Ini menunjukkan bahwa meskipun berbagai pihak, baik dari lembaga pemerintah maupun swasta, telah berupaya melakukan pencegahan, penanganan, hingga rehabilitasi, kekerasan berbasis gender masih marak terjadi. CATAHU 2023 juga mencatat bahwa 9.806 kasus berasal dari laporan 137 lembaga layanan yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan populasi mencapai 278,8 juta jiwa dan rata-rata 17 laporan kekerasan setiap hari, jelas bahwa 137 lembaga tersebut masih perlu bekerja lebih keras untuk menyediakan layanan yang lebih inklusif, adil, dan setara bagi korban KBG.
Tantangan Lembaga Penyedia Layanan
Meskipun berbagai kebijakan telah dirancang untuk melindungi korban KBG, realitas di lapangan menunjukkan bahwa akses terhadap layanan yang inklusif masih terbatas. Hal ini karena upaya perlindungan bagi korban kekerasan berbasis gender (KBG) yang diselenggarakan oleh pemerintah masih terbatas pada lembaga-lembaga struktural seperti UPTD-PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak) yang tersebar di Indonesia. Sedangkan, untuk lembaga layanan swasta, seperti Women Crisis Center, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan Lembaga Bantuan Hukum, program pemerintah belum sepenuhnya menyediakan sumber daya yang memadai, termasuk ketersediaan pendamping yang kompeten. Padahal, lembaga swasta tersebut telah berperan signifikan dalam upaya perlindungan dan penanganan korban KBG di Indonesia.
Keberagaman karakteristik wilayah di Indonesia mencerminkan variasi sumber daya di lembaga penyedia layanan. Variasi ini mencakup kondisi fasilitas, kualitas sumber daya manusia seperti petugas dan pendamping, standar operasional prosedur (SOP) beserta dokumen pendukung, aksesibilitas lembaga rujukan, serta anggaran dan pembiayaan yang tersedia. Adanya stigma dan diskriminasi, minimnya sumber daya dan kapasitas petugas layanan, serta keterbatasan informasi dan edukasi merupakan beberapa tantangan yang seringkali dihadapi dalam penyelenggaraan layanan KBG inklusif. Selain itu, sebagian besar petugas dan pendamping bekerja secara sukarela, dan hanya sedikit konselor yang memiliki latar belakang pendidikan psikologi. Kondisi ini berdampak pada kualitas pendampingan, yang terkadang tidak konsisten dan kurang sesuai dengan kebutuhan korban yang melapor. Beberapa lembaga penyedia layanan juga belum mengimplementasikan sistem pencatatan dan pelaporan yang memadai, yang disebabkan oleh keterbatasan sumber daya serta kurangnya pemahaman tentang standar dan mekanisme dokumentasi kasus.
Pentingnya Prinsip Inklusivitas dalam Layanan KBG
Prinsip inklusivitas tidak hanya memberikan akses kepada korban kekerasan, tetapi juga memastikan bahwa semua orang, tanpa memandang latar belakang sosial, identitas gender, disabilitas, atau kondisi ekonomi, dapat mengakses layanan tersebut. Penerapan prinsip ini dalam layanan Kekerasan Berbasis Gender (KBG) bertujuan untuk mengakomodasi keragaman korban, menjamin kesetaraan, serta meningkatkan efektivitas dukungan dan proses pemulihan.
Mengakomodasi keragaman korban berarti memahami bahwa kekerasan berbasis gender tidak hanya dialami oleh perempuan, tetapi juga oleh laki-laki, anak-anak, individu dengan identitas gender dan orientasi seksual beragam, penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya. Namun, layanan yang ada seringkali kurang sensitif terhadap keragaman ini. Misalnya, korban dengan disabilitas kerap mengalami kendala dalam mengakses pusat layanan karena minimnya fasilitas yang ramah disabilitas. Sementara itu, korban dari komunitas LGBTQ+ seringkali menghadapi stigma dan diskriminasi saat melapor karena adanya perspektif petugas yang masih bias dan cenderung menyalahkan.
Menjamin kesetaraan berarti memastikan bahwa setiap korban, tanpa pengecualian, memperoleh dukungan yang mereka butuhkan. Layanan yang eksklusif dan diskriminatif justru dapat memperburuk trauma psikologis korban. Kehadiran layanan KBG yang inklusif merupakan langkah awal untuk membangun kepercayaan korban dalam melapor dan mencari bantuan, terutama di tengah masyarakat yang masih dipengaruhi stereotip dan bias gender.
Dengan meningkatkan efektivitas dukungan dan pemulihan, pendekatan yang inklusif memungkinkan korban merasa lebih dihargai dan didengarkan, sehingga mereka menjadi lebih terbuka dan mau bekerja sama dalam proses penyelesaian kasus dan pemulihan. Memahami kebutuhan spesifik korban dari berbagai latar belakang memungkinkan layanan disesuaikan untuk memberikan dukungan yang lebih efektif, baik dalam aspek pemulihan psikologis, medis, hukum, psiko-sosial, ekonomi, sosial, dan lainnya.
Mewujudkan layanan KBG yang inklusif di Indonesia adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah, organisasi, dan masyarakat perlu bersinergi untuk menciptakan layanan yang benar-benar menghargai perbedaan dan memenuhi kebutuhan korban. Dengan menerapkan prinsip inklusivitas, petugas layanan tidak hanya membantu korban untuk bangkit dari trauma, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang lebih adil dan setara. Inklusivitas dalam layanan KBG bukan sekadar konsep teoretis, melainkan langkah konkret menuju perbaikan layanan korban yang lebih baik dan komprehensif. Oleh karena itu, penyelenggaraan pelatihan bagi petugas, peningkatan sinergi antar lembaga, serta pemanfaatan teknologi dalam layanan menjadi strategi penting untuk menyelenggarakan layanan inklusif bagi korban KBG.
Referensi:
- Komnas Perempuan (2023). Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2023: Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). (2022). Panduan Penanganan Kasus Kekerasan Berbasis Gender dan Perlindungan Anak. Jakarta: KemenPPPA.
- World Health Organization (WHO). (2021). Violence Against Women Prevalence Estimates, 2018: Global, Regional, and National Prevalence Estimates for Intimate Partner Violence Against Women and Global and Regional Prevalence Estimates for Non-partner Sexual Violence Against Women. Geneva: WHO.
- UN Women. (2020). Essential Services Package for Women and Girls Subject to Violence: Core Elements and Quality Guidelines. New York: United Nations.
Khoirun Ni’mah, konsultan, peneliti dan trainer yang berfokus pada kekerasan berbasis gender bagi perempuan dan anak. Sekaligus pemenang lomba dalam Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak 2024
