Menguak Realitas Hidup Perempuan dalam Perbudakan Modern
Perbudakan merupakan noktah hitam dari sejarah peradaban manusia. Fenomena ini telah mengakar dan menjadi sistem yang diakui oleh hampir seluruh belahan dunia. Belum diketahui secara pasti kapan manusia mulai memperbudak manusia lainnya. Tetapi menurut Marcel A. Boisard yang dikutip oleh A. Juraidi dalam bukunya, Perbudakan dalam Lintasan Sejarah Dunia dan Islam (2022) memperkirakan bahwa perbudakan muncul ketika tentara zaman dahulu yang menang tidak lagi mau membunuh musuh mereka yang kalah. Tetapi menjadikan musuhnya sebagai budak, untuk dipekerjakan tanpa upah atau bayaran.
Dalam sejarah, Indonesia memiliki catatan perbudakan saat masa penjajahan. Pada masa penjajahan Belanda ada Kerja Rodi. Sedangkan pada masa penjajahan Jepang, ada Romusha. Kala itu, rakyat Indonesia dipekerjakan sebagai buruh kasar untuk membangun infrastruktur. Para pekerja dieksploitasi, mereka diperlakukan secara kasar dan tidak manusiawi. Bahkan beberapa pekerja harus meregang nyawa karena kelaparan atau dibunuh.
Perempuan dalam masa perbudakan ini, mendapat kekerasan berlapis. Selain perbudakan secara ekonomi (kerja paksa) perempuan mendapat kekerasan secara seksual. Katherine Mc Gregor dalam kuliah umum dengan topik “Piecing Together The Threads Of The So-Called ‘Comfort Women’ System During The Japanese Occupation Of Indonesia” di UGM (25/4/2017), mengungkapkan bahwa perempuan diambil secara paksa dari keluarganya kemudian dijadikan budak seksual (karayukisan) untuk para tentara Jepang.
Baca Juga: Lah, Kok Nikah Siri! Pemerkosaan bukan Perzinaan
Mirisnya, perbudakan terhadap perempuan terus lestari hingga saat ini. Perbudakan di era kolonial menyublim menjadi perbudakan modern. Banyak perempuan yang menjadi korban dari beragam bentuk perbudakan modern. Anti-Slavery International mendefinisikan perbudakan modern adalah saat seorang individu dieksploitasi oleh orang lain, untuk keuntungan pribadi atau komersial. Apakah ditipu, dipaksa, atau dikekang, mereka kehilangan kebebasannya.
Adapun bentuk dari eksploitasi modern meliputi perdagangan manusia, pernikahan paksa atau pernikahan dini dan perbudakan rumah tangga.
Perempuan Korban Perbudakan Modern
Beberapa fakta di bawah ini akan mengungkap realitas hidup perempuan dalam beragam bentuk perbudakan modern;
Perdagangan Manusia
Perdagangan manusia lebih dikenal sebagai Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 TPPO merupakan “Tindakan perekrutan, pengangkutan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”
Berdasarkan bentuk eksploitasinya TPPO dibedakan menjadi dua, yaitu eksploitasi seksual dan eksploitasi non-seksual. Eksploitasi seksual meliputi pelacuran paksa, kawin paksa dan kawin lewat perantara. Sedangkan eksploitasi non-seksual dibedakan atas kerja paksa dan perdagangan organ tubuh.
Korban terjerat TPPO karena faktor kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah dan dipaksa dengan kekerasan. Dalam kasus ini, perempuan adalah kelompok paling rentan menjadi korban TPPO, terutama dalam bentuk eksploitasi seksual.
Sejalan dengan data, korban TPPO paling banyak adalah perempuan dan anak perempuan. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) tahun 2023, terdapat 252 korban dewasa TPPO, dengan 235 di antaranya adalah perempuan. Untuk korban anak, terdapat 206 korban, dimana 200 di antaranya adalah anak perempuan.
Pernikahan Paksa atau Pernikahan Dini
Indonesia menduduki peringkat empat dengan kasus perkawinan anak terbanyak di dunia. Berdasarkan data United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) tahun 2023, terdapat 25,53 juta perempuan di Indonesia yang menikah pada usia di bawah 18 tahun.
Pernikahan dini bagi perempuan sangat berisiko, terutama pada kesehatan reproduksi. Seperti keguguran, kematian ibu dan bayi, pendarahan saat persalinan hingga bayi lahir prematur atau kurang gizi. Risiko lain adalah rentan mendapat penelantaran rumah tangga karena usia dini dinilai belum siap secara fisik dan mental dan risiko Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
Baca Juga : Rayakan Hari Ayah Nasional, Intip dan Kenali Istilah Fatherless
Sementara untuk pernikahan paksa, biasanya lebih banyak terjadi juga kepada perempuan. Hal ini diperkuat beberapa faktor, yakni budaya, tafsir agama dan regulasi negara yang memberi peluang legitimasi kawin paksa. Kawin paksa dapat mengancam keselamatan jiwa perempuan seperti trauma psikis, depresi, dan stigma negatif. Dampak buruk lainnya bisa terjadi perceraian, konflik keluarga dan pengucilan sosial serta bunuh diri akibat putus asa.
Perempuan dihilangkan kemerdekaan hidupnya, kemampuan untuk mengambil keputusan dan hak mendapat persetujuan dengan adanya pernikahan paksa. Di sisi lain, banyak dampak buruk dan berbagai risiko yang mengintai perempuan korban pernikahan dini dan kawin paksa.
Perbudakan Rumah tangga
Masih ingat kasus Pekerja Rumah Tangga (PRT), yang pahanya disetrika dan diberi makan kotoran kucing oleh majikannya? Dilansir dari Detik.com , EAS (45) seorang PRT di Surabaya menjadi korban penganiayaan oleh majikannya. Selama bekerja ia mengalami kekerasan fisik seperti disetrika bagian paha dan disuruh makan kotoran kucing. Selama 13 bulan bekerja, ia hanya digaji sekali dengan nominal yang tidak sesuai kesepakatan awal.
Alih-alih mendapat pekerjaan layak untuk membantu perekonomian keluarga, banyak PRT yang justru terjebak dalam lingkaran kekerasan fisik, seksual dan ekonomi. Berdasarkan data JALA PRT, pada 2018 sampai 2023 terdapat 2.641 kasus kekerasan kepada pekerja rumah tangga. Mayoritas kasus berupa kekerasan psikis, fisik, dan ekonomi dalam situasi kerja.
Perempuan juga tidak luput sebagai kelompok paling rentan dalam kasus kekerasan terhadap PRT. Hasil rapid assessment JALA PRT ini mengkonfirmasi data Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang menyatakan bahwa mayoritas PRT adalah perempuan, yaitu sekitar 92%.
Jika perbudakan rumah tangga diartikan sebagai hilangnya hak hidup aman serta adanya relasi kuasa dalam rumah tangga, maka Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) juga termasuk di dalamnya. Perempuan masih menduduki korban kekerasan terbanyak sepanjang tahun 2024, terhitung sejak Januari 2024 hingga saat tulisan ini dimuat.
Berdasarkan SIMFONI PPA dari 22,849 kasus kekerasan, 19.813 korbannya adalah perempuan. Dengan jumlah kasus dan jumlah korban berdasarkan lokasi kejadian terbanyak di rumah tangga dengan 13.979 kasus dan 14.989 korban.
Realitas kehidupan perempuan yang terus berada dalam pusaran perbudakan hingga kini, amat menyesakkan dada. Perbudakan modern dengan beragam bentuk adalah ancaman nyata bagi perempuan untuk dapat merasakan hidup aman, setara dan berdaya.
Jamila, pemenang lomba tulisan dalam kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan