Mengkenali Kekerasan Ekonomi : Kontrol, Eksploitasi dan Sabotase Ekonomi
Oleh: Siti Aminah Tardi
Advokat Publik dan Peneliti pada Indonesian Legal Resource Center (ILRC)
Beberapa waktu lalu, saya berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan komunitas buruh perempuan. Panitia pelaksana memutarkan video pendapat para perempuan tentang “Apa Kekerasan Ekonomi?”. Rangkain pengalaman perempuan dalam memaknai kekerasan ekonomi itu mengingatkan saya pada diskusi di sebuah WAG. Diskusi membincangkan bentuk KBG terhadap perempuan: Apakah menggunakan istilah “kekerasan ekonomi” atau “penelantaran” saja sebagaimana dirumuskan dalam UU No. 23 tahun 2014 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
UU PKDRT melarang penelantaran rumah tangga (Pasal 5), yaitu tidak menjalankan kewajiban hukum untuk memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan yang menjadi tanggungjawabnya dan perbuatan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Dari rumusan ini, maka penelantaran rumah tangga mencakup dua jenis perbuatan yaitu “tidak menjalankan kewajiban hukum” dan “membatasi dan/atau melarang untuk bekerja” yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Dibandingkan bentuk kekerasan lainnya seperti kekerasan fisik, psikis dan seksual, penelantaran adalah tindak pidana KDRT yang kurang mendapatkan perhatiaan. Karenanya melalui tulisan ini saya akan mengekplorasi bentuk-bentuk kekerasan ekonomi.
Bentuk dan Data Kekerasan Ekonomi di Indonesia
Kekerasan ekonomi terhadap perempuan dan anak perempuan adalah kekerasan berbasis gender yang berakar pada subordinasi peran gender perempuan. Meskipun tidak mewujud dalam memar dan luka, kekerasan ini bisa sama berbahayanya dengan kekerasan fisik, psikis dan seksual. Menjebak perempuan dan anak perempuan untuk tetap dalam siklus kekerasan, ketidakberdayaan, penghinaan dan perendahan martabat.
Volker Türk, Komisioner PBB untuk Hak Asasi Manusia pada Sesi ke-56 Dewan HAM dalam diskusi panel tentang kekerasan ekonomi terhadap perempuan dan anak perempuan pada Juni 2024, menyampaikan dalam pidatonya bahwa satu dari tiga wanita telah mengalami beberapa bentuk setidaknya sekali dalam hidup mereka, baik itu fisik, seksual, psikologis atau ekonomi. Kekerasan ekonomi menjadi kekerasan yang “unseen” dan “unregulated” di berbagai belahan dunia serta mengajak dunia untuk menghentikannya (UN:2024) Kekerasan ekonomi didefinisikan sebagai “tindakan atau perilaku apa pun yang menyebabkan kerugian ekonomi bagi individu” (Eige:2023) termasuk menolak akses dan kontrol seorang perempuan ke sumber daya dasar.
Awalnya, kekerasan sekonomi dipahami sebagai bagian dari kekerasan psikis. Namun, kemudian berkembang yang menunjukkan kekerasan ekonomi berbeda dengan kekerasan psikis, walau keduanya atau bentuk kekerasan lainnya saling bertumpuk, memperkuat dan mempengaruhi dalam konteks hubungan yang penuh kontrol dan koersif. Selain itu terdapat pula istilah penyalahgunaan keuangan (financial abuse) yang mengacu pada kontrol atas uang dan keuangan korban, sementara kekerasan ekonomi tidak hanya kontrol atas uang dan keuangan, tetapi sumber daya ekonomi yang lebih luas seperti pekerjaan atau tunjangan kesejahteraan, perumahan atau transportasi yang mempengaruhi kesejahteraan perempuan. Kekerasan ekonomi kemudian dirumuskan dalam tiga jenis, yaitu: kontrol ekonomi, eksploitasi ekonomi dan sabotase ekonomi (Eige;2023, United Nation;2024). Terkait dengan kekerasan ekonomi ini saya merekomendasikan untuk membaca hasil penelitian berjudul Economic abuse: A global perspective dari Surviving Economic Abuse (SEA) yang komprehensif dan detail mengeksplorasi bentuk kekerasan ekonomi, dampak dan hal-hal yang harus diambil untuk mencegah, menangani dan memulihkannya.
Berikut jenis-jenis kekerasan ekonomi:
- Kontrol ekonomi,ditujukan untuk mencegah, membatasi, atau mengendalikan keuangan dan pengambilan keputusan perempuan terkait dengan penggunaan sumber daya ekonomi perempuan. Seperti, membatasi akses ke uang, kebutuhan, aset keuangan, dan informasi; mengontrol jumlah uang yang dapat dibelanjakan atau melacak penggunaannya; mencegah korban mendapatkan rekening bank atas namanya sendiri; mengontrol atau mencegah akses ke sumber daya ekonomi, seperti transportasi atau ponsel; menolak uang yang dibutuhkan untuk kebutuhan pokok sampai membuat korban berhenti bekerja atau belajar. Kontrol ekonomi ini yang mencuat di medsos beberapa waktu lalu adalah belanja yang dilakukan isteri dilaporkan dengan kuintansi atau nota pembayaran agar dapat diganti oleh suaminya. Atau saya pernah membeli sesuatu pada seorang perempuan yang ketika pembayaran, rekening yang dituju tertulis nama orang lain. “Suami saya…mba!” jawabnya saat itu. Kemudian saya menyarankan untuk membuka rekening sendiri, selain tidak menimbulkan keraguan pada pembeli, juga dapat mengelola keuangan secara mandiri. Juga, sekalipun perempuan memiliki nomor rekening dan penghasilan sendiri, namun ATM dan PINnya dikuasai suami atau pasangannya.
- Eksploitasi ekonomi adalah menggunakan sumber daya ekonomi korban untuk keuntungannya. Seperti melakukan kredit keuangan atas nama korban tanpa persetujuannya, mengajukan utang atas nama korban termasuk dengan cara manipulasi dan pemaksaan, mencuri atau merusak properti atau sumber daya korban atau menjualnya tanpa izin dan mengambil atau menguasai upah, pensiun, atau bentuk bantuan keuangan lainnya tanpa izin, menghabiskan uang bersama sesuai keinginan pelaku sambil membuat korban- bertanggung jawab penuh atas kebutuhan pokok atau biaya bersama, membuat perempuan bekerja lebih panjang atau banyak serta memaksa korban untuk bekerja tanpa bayaran. Seperti seorang isteri yang tidak mengetahui bahwa rumah kediaman bersama dijadikan jaminan pinjaman ke bank untuk tujuan yang tidak ia ketahui atau pinjaman online yang menggunakan identitas isteri yang ketika tidak mampu bayar, isteri ‘dipaksa’ oleh debt collector untuk membayarnya, walau ia tidak menikmati uang dari utang yang dilakukan suaminya.
- Sabotase ekonomi ditujukan untuk mencegah korban mengejar, mendapatkan, atau mempertahankan pekerjaan dan/atau pendidikannya. Seperti mencegah korban menghadiri kegiatan pekerjaan dan pendidikan atau menyabotase barang-barang yang diperlukan untuk memenuhi kegiatan tersebut, mengganggu pekerjaan atau pendidikan korban dan/atau menolak untuk berkontribusi terhadap tanggung jawab pengasuhan anak, gagal membayar tunjangan anak secara penuh, atau memanipulasi berapa banyak jumlah terutang, menggunakan proses pengadilan untuk melelahkan korban, menuduh salah seorang korban curang mengklaim tunjangan kesejahteraan atau mengubah produk keuangan tanpa sepengetahuan atau persetujuan korban yang menyebabkan korban tidak dapat menikmati atau terbatas dalam menikmati produk keuangan. Sabotase ekonomi misalkan pelaku melaporkan korban atas pencurian blender yang menjadi alat produksi untuk berjualan, karena korban melaporkan kekerasan fisik yang menimpanya.
Pada perkembangannya jenis-jenis kekerasan ekonomi di atas diperburuk dengan tehnologi digital seperti melalui internet banking, dan dapat berlangsung bahkan setelah perceraian atau hubungan berakhir (post separation abuse). Pelaku kekerasan ekonomi menggunakan kontrol ekonomi, sabotase ekonomi dan eksploitasi ekonomi terhadap korbannya untuk terus dapat mengontrol, menyebabkan ketergantungan dan menunjukkan kekuasaannya.
Saya selanjutnya mencari data kekerasan ekonomi di Indonesia pada Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan dalam waktu lima tahun terakhir, dan menyusun dalam grafik berikut:
Dibandingkan dengan keseluruhan kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan yang dalam tiga tahun terakhir rata-rata berjumlah 4300 an kasus, maka pengaduan atau identifikasi kekerasan ekonomi masih minim. Hal ini diakui bahwa kekerasan ekonomi paling sedikit dilaporkan oleh perempuan korban (Catahu 2022), yang bisa kita refleksikan bahwa issue kekerasan ekonomi sebagai salah satu bentuk KBG baik di ranah pesonal, publik maupun negara belum cukup dikenali. Demikianhalnya sistem pendokumentasian belum “menamakan” kekerasan ekonomi dalam jenis kontrol ekonomi, eksploitasi ekonomi dan sabotase ekonomi.
Namun, bukan berarti jenisnya tidak diidentifikasi. Pemanfaatan ekonomi, pemerasan sejumlah uang, tidak memberikan nafkah untuk biaya makan, hidup, biaya dan kebutuhan anak, uang hasil usaha digunakan sebagai modal politik (Catahu 2023), mahar dari utang, utang dibebankan kepada korban dan penelantaran anak, kesulitan mencari nafkah untuk anaknya karena diisolasi di dalam rumah akibat perkawinan beda agama yang dilakukan korban, menolak bertanggung jawab atas biaya hidup bersama sehingga korban harus memenuhi seluruh kebutuhan hidup rumah tangga termasuk biaya kuliah pelaku, dipecat dari pekerjaannya karena masuk kerja dengan tubuh penuh luka-luka (Catahu 2021), ketergantungan ekonomi serta minim akses dari ibu rumah tangga, pemerasan (2019). Catahu juga mencatatkan kekerasan ekonomi rentan terjadi pada perempuan dengan status HIV/Aids, perkawinan poligami, perkawinan sirri dan anak sebagai akibat perceraian.
Dampak kekerasan ekonomi terhadap perempuan
Kekerasan ekonomi seperti diuraikan di atas akan berdampak pada perempuan dan anak perempuan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang dan akan meningkat bagi korban yang mengalami berbagai bentuk kekerasan lainnya. Walau masih berdasarkan pengalaman perempuan di negara Eropa, beberapa dampak kekerasan ekonomi (Eige, 2023) sebagai berikut:
Pertama, Terhambatnya pengembangan pribadi dan profesional: Kekerasan ekonomi membatasi perempuan untuk menjadi mandiri secara finansial dengan mencegah mereka mengejar karier atau pendidikan. Selain itu, perempuan juga sering dikecualikan dari pengambilan keputusan keuangan, yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi pada pasangan. Ketergantungan ini sering kali memaksa perempuan untuk tetap berada dalam hubungan penuh kekerasan, sementara pelaku memanfaatkan ketergantungan tersebut untuk mempertahankan kontrolnya.
Kedua, Ketidakamanan ekonomi: Kekerasan ekonomi dapat membuat korban terjebak dalam utang, kehilangan pekerjaan, menjadi tunawisma, atau bahkan tidak memiliki sumber daya keuangan untuk memnuhi kebutuhan dasar. Situasi ini dapat mendorong korban untuk melakukan kejahatan atau menjadi rentan terhadap bentuk eksploitasi lainnya, seperti perdagangan manusia.
Ketiga, Dampak pada kesehatan fisik: Kemiskinan akibat kekerasan ekonomi dapat mengurangi kemampuan perempuan untuk mengakses layanan kesehatan. Selain itu, beberapa perempuan mungkin menggunakan alkohol atau obat-obatan sebagai mekanisme koping terhadap kekerasan yang mereka alami, yang pada akhirnya memperburuk kondisi kesehatan mereka.
Keempat, Penurunan kesejahteraan emosional: Ketidakamanan finansial akibat kekerasan ekonomi dapat menyebabkan emosi negatif, seperti depresi, kecemasan, stres, gangguan stres pasca-trauma (PTSD), dan penurunan kualitas hidup. Dalam beberapa kasus, hal ini bahkan dapat mendorong korban ke arah pikiran atau tindakan bunuh diri.
Dampak kekerasan di atas, tentunya harus dikembangkan berdasarkan pengalaman perempuan Indonesia yang memiliki konteks sosial, ekonomi dan budaya yang khas. Namun dari uraian di atas, saya menyimpulkan bahwa UU PKDRT belum mengakui dan mencakup jenis-jenis kekerasan ekonomi yang terus berkembang. Saatnya kita mulai mencatat, menamainya untuk selanjutnya membangun kesadaran perempuan dan mendorong perubahan sosial maupun hukum.