Menghadapi Pelaku Kekerasan Seksual, Jika Dia adalah Teman Kita Sendiri

 Menghadapi Pelaku Kekerasan Seksual, Jika Dia adalah Teman Kita Sendiri

Ilustrasi: JalaStoria.id

 

Oleh: Wahyu Agung Prasetyo

 

Ketika ada kasus kekerasan seksual yang muncul di media sosial, banyak orang mengungkapkan ekspresi marahnya dengan kritik, kecaman, atau dukungan ke penyintas dan lain sebagainya. Namun, kasus kekerasan seksual menjadi dilema bagi beberapa orang ketika pelakunya adalah teman sendiri. Dilema karena di satu sisi harus mendukung penyintas, tapi di sisi lain merasa bingung, tidak percaya atau tidak tega dengan teman sendiri yang menjadi pelaku. Kalau kamu pernah berada di kondisi ini, tentu kamu merasakan hal yang sama dengan saya.

Ada yang kemudian memilih mendukung penyintas, ada yang diam, ada juga yang membela pelaku. Membela pelaku? Ya, hal ini memang sering terjadi. Mereka yang membela pelaku memiliki alasan yang berbeda-beda. Bisa jadi karena mereka menolak fakta bahwa temannya melakukan kekerasan seksual, bisa juga mereka terkesan membela pelaku karena alasan lain. Misalnya menjaga nama baik organisasi.

Memilih diam atau membela pelaku tentu bukan hal yang bisa diwajarkan. Namun, seperti itulah dinamika dalam pengawalan kasus kekerasan seksual. Setidaknya, kita jadi tahu sikap sebenarnya dari masing-masing teman kita.

Mengkritik mereka yang diam atau mereka yang membela pelaku adalah hal yang penting. Tapi semoga hal itu tidak mengaburkan fokus utama kita untuk mendukung pemulihan penyintas dan mewujudkan keadilan bagi penyintas.

Saya sendiri, punya teman baik yang menjadi pelaku kekerasan seksual. Dia adalah teman satu organisasi di Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI). Posisinya waktu itu adalah Sekjend PPMI Kota Semarang. Kaget dan bingung tentu saya rasakan. Tapi, kalau berlarut-larut dalam perasaan itu, tentu saya hanya akan bisa diam dan tidak ada hal yang bisa saya lakukan untuk mendukung penyintas. Maka dari itu, ketika mengetahui kabar bahwa ada teman yang melakukan kekerasan seksual, yang pertama saya lakukan adalah memastikan penyintas dalam kondisi aman. Lalu, menelusuri fakta dan membuktikan kasus kekerasan seksual tersebut.

Tahap pembuktian ini yang sulit. Saya yang berusaha membuktikan kasus kekerasan seksual atas dasar kepedulian terhadap penyintas, harus menahan emosi dan amarah untuk bersikap tenang dan objektif. Pertama-tama, saya harus mendapatkan keterangan dari penyintas dan membantunya menyusun kronologi. Kedua, saya harus berhadapan dengan pelaku, yang mana dia adalah teman saya sendiri. Saya harus menanyakan dan memverifikasi setiap detail kronologi yang disampaikan penyintas. Selain itu, saya harus memberi ruang pembelaan kepada teman saya terkait tuduhan sebagai pelaku kekerasan seksual.

Tentu, antara sikap tenang dan emosi itu sangat bertentangan. Seperti hal yang mustahil ketika jelas-jelas dia melakukan kekerasan seksual, tapi malah diberi ruang pembelaan. Namun, prinsip idealnya dalam mengawal kasus kekerasan seksual seperti itu. Minimal, kita harus mendapatkan bukti pengakuan dari pelaku serta pembelaannya. Memang, dalam proses hukum, alat bukti keterangan pelaku menjadi urutan terakhir, sedangkan yang utama adalah keterangan penyintas. Tapi, ketika penyintas belum sanggup atau tidak mau menempuh jalur hukum, maka mendapatkan bukti keterangan dari pelaku bisa menjadi bentuk pencegahan apabila teman kita yang menjadi pelaku itu menuntut balik kita bahkan penyintas, dengan dalih menuduh tanpa bukti. Jadi, bersikap tenang, objektif, dan memberi ruang pembelaan bagi pelaku, mau tidak mau harus saya lakukan.

Kalau kamu berpikir teman baikmu tidak akan menuntut balik kamu atau penyintas, saya harap pikiran itu segera kamu hilangkan. Saya dan teman-teman yang mengawal kasus kekerasan seksual pernah dituntut balik oleh teman sendiri yang menjadi pelaku. Kali ini, dalam kasus kekerasan seksual di PPMI Kota Malang dan PPMI Kota Kediri. Tuntutan balik itu sempat dilayangkan kepada kami oleh salah satu pelaku. Penyintas belum mendapatkan keadilan, malah kami sebagai pendamping pun dipusingkan dengan tuntutan balik itu.

Tuntutan balik itu membuktikan bahwa: sebaik apapun teman kita, apabila dia menjadi pelaku kekerasan seksual, dia bisa melakukan apa saja untuk melindungi dirinya, sekecil apapun kesempatannya. Nah, kekurangan kami waktu itu adalah tidak merekam semua pengakuan dan pembelaan pelaku, sehingga kami kurang memiliki bukti kuat dan dia punya kesempatan untuk menuntut balik. Awalnya karena kami semua percaya, kasus kekerasan seksual di organisasi bisa diselesaikan dengan baik. Kami juga percaya kalau pelaku akan bertanggungjawab dan tidak menuntut balik.

Setelah melakukan beberapa upaya strategi advokasi, upaya tuntutan balik itu bisa kami atasi. Setidaknya, saya dan teman-teman sudah melakukan yang terbaik untuk penyintas. Tentu tidak cukup dengan hal ini. Perlu pembenahan secara struktural dan kultural di organisasi untuk menciptakan ruang aman dan melawan segala bentuk kekerasan seksual. Saya dan teman-teman melakukan banyak evaluasi supaya tidak terjadi kesalahan yang sama dalam advokasi. Kami membuat SOP penanganan kasus kekerasan seksual serta lebih gencar lagi menyuarakan perlawanan terhadap segala bentuk kekerasan seksual.

Sebagai teman, saya punya pesan untuk siapapun yang mempunyai teman yang menjadi pelaku kekerasan seksual. Ingatkan kepadanya supaya dia mau mengakui dan meminta maaf kepada penyintas, dan memenuhi hak korban untuk pulih. Mengakui dan meminta maaf atas kekerasan seksual yang dilakukan itu bukan hal yang buruk. Katakan kepadanya bahwa hal itu adalah tindakan yang baik dan berani.

Mungkin mereka berpikir kalau mengakui dan meminta maaf itu bisa menjadi aib yang memalukan ketika diketahui keluarga serta anak-anaknya nanti. Tapi, bukankah lebih memalukan kalau keluarga atau anak-anaknya nanti mengetahui kesalahannya tapi dia tidak pernah mengakui dan meminta maaf?

Katakan kepada temanmu yang menjadi pelaku kekerasan seksual, bahwa mengakui dan meminta maaf itu bukanlah menjadi akhir hidupnya. Mengakui dan meminta maaf artinya dia punya kesempatan untuk memperbaiki diri lagi. Tentu prosesnya sulit dan panjang. Tapi, ketika dia tidak pernah mengakui dan meminta maaf, maka kesalahan yang dia lakukan akan terus menghantui sepanjang hidupnya.

 

 

Wahyu, Penulis artikel dan karya jurnalistik, bisa dihubungi di facebook (Wahyu AO), twitter (@wahyu_mnyblkn) dan instagram (@wah_ao)

Digiqole ad