Mengawal RUU TPKS Pro Korban
JAKARTA, JALASTORIA.ID – Vivi Widyawati, aktivis dari Perempuan Mahardhika, sedang berada di sebuah ruangan yang menayangkan secara langsung proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) antara pemerintah dengan Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS Badan Legislasi DPR RI. Ruangan yang berada di salah satu sudut Gedung Nusantara I DPR RI itu menayangkan enam layar yang menunjukkan suasana rapat yang sedang berlangsung. Ia dan sejumlalh aktivis perempuan yang hadir saat itu hampir saja berteriak ketika Ketua Panja Willy Aditya mengayunkan palu hendak mengetok persetujuan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang menyebutkan Aborsi masuk sebagai salah satu tindak pidana kekerasan seksual.
“Wah, bahaya ini! Korban perkosaan yang melakukan aborsi bisa berubah menjadi pelaku kalau klausul ini benar diketok,” kata Vivi, yang mengoordinasikan Jaringan Pembela Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPPKKS) dalam melakukan pengawalan selama pembahasan RUU TPKS berlangsung, (29/3/2022).
Saat rapat diskors, Vivi dan tim JPPKKS berkomunikasi dengan para pembahas yang berada di ruang rapat. Beberapa di antaranya menghampiri pejabat yang hadir dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Wakil Menteri Hukum dan HAM RI. Lainnya mengajak diskusi Anggota Panja.
Setelah sempat diagendakan pending, dua hari kemudian klausul tentang Aborsi disepakati DPR RI dan Pemerintah dikeluarkan dari DIM. Lega? Belum. Perjuangan para srikandi JPPKKS masih panjang.
Tak hanya tentang aborsi. Sejumlah rumusan yang menguatkan upaya perlindungan, pendampingan, dan pemulihan untuk korban kekerasan seksual juga akhirnya disepakati Panja dan Pemerintah masuk dalam DIM. Namun, capaian ini belum membuat lega, meskipun JPPKKS mengakui pembahasan RUU TPKS saat ini lebih dinamis dan progresif.
“Pemerintah, bu menteri dan pak wakil menteri sangat akomodatif, mendengarkan masukan kita dan dengan teliti memasukkan rumusan setelah berdiskusi bersama,” ujar Anis Hidayah, Direktur Migrant Care memuji sikap pemerintah yang dinilai cukup terbuka terhadap masukan aktivis jaringan perempuan.
Pujian tak hanya disampaikan Anis. Ratna Batara Munti dari LBH APIK Jawa Barat juga mengakui hal serupa. Walaupun demikian, dia menyayangkan sistem pembahasan dilakukan secara maraton di saat jaringan perempuan baru mengetahui dan membaca DIM pemerintah.
Baca Juga: Jaringan Perempuan Keluhkan Sikap Pemerintah ‘Rahasiakan’ DIM RUU TPKS
“Coba kalau kita tahu DIM ini jauh hari sebelumnya. Tentu tak akan berpanjang-panjang membahas satu klausul, karena sudah pasti kita akan diskusikan sesuai hasil advokasi di lapangan,” kata Ratna menyesali sikap pemerintah yang keukeuh memilih ‘merahasiakan’ DIM sampai pembahasan dilakukan.
Di tengah pembahasan satu per satu DIM di ruang Baleg DPR RI, para srikandi JPPKKS setiap hari memantau berjalannya rapat. Mereka juga selalu menjalin komunikasi dengan anggota Panja dari berbagai fraksi.
Berdasarkan komunikasi yang terjalin, masukan yang disampaikan JPPKKS untuk penyempurnaan norma RUU TPKS dapat tersampaikan dalam rapat. Anggota Panja juga menyampaikan dukungan atas semangat perjuangan yang sama.
Tiga Bentuk Kekerasan Seksual
Hingga selesainya rapat Panja pada Sabtu sore (2/4/2022), JPPKKS mencatat ada sejumlah klausul penting yang masih luput dari pembahasan RUU TPKS.
Di antaranya, bentuk kekerasan seksual dalam RUU TPKS belum memasukkan pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran, dan perkosaan. Ketiga bentuk  kekerasan seksual tersebut menurut JPPKKS sangat penting mengingat jumlah korban juga sudah tak terhitung.
Baca Juga:Â Menyoal 5 Bentuk Kekerasan Seksual yang Tidak Dimuat dalam RUU TPKS
“Seharusnya bisa dipertimbangkan kembali untuk kepentingan korban. Kami sudah mensimulasikan unsur-unsur delik di UU lain terkait tiga bentuk KS tersebut dan ternyata masih terbatas, belum menjangkau semua korban,” ujar Ratna  yang juga anggota JPPKKS.
Menurut Ratna, seandainya pemerintah dan Panja merasa keberatan memasukkan tiga bentuk kekerasan seksual tersebut dengan alasan nama deliknya sudah diatur dalam UU lain, setidaknya unsur deliknya bisa diakomodasi.
“Jangan sampai RUU ini mendiskriminasikan korban yang tidak bisa dijangkau oleh UU lain karena adanya keterbatasan unsur deliknya,” tegasnya.
Restitusi, Bukan Pidana Pengganti
Klausul lainnya yang menjadi perhatian adalah tentang rumusan penggantian pembayaran restitusi  oleh terpidana yang tidak mampu dengan pidana pengganti berupa kurungan. Menurut Ninik Rahayu, Direktur JalaStoria, rumusan pemerintah tersebut riskan tidak dapat diimplementasikan di lapangan. Ketentuan itu juga bertentangan dengan kondisi lembaga pemasyarakatan saat ini yang sudah sering disampaikan pemerintah bahwa lembaga pemasyarakatan telah kelebihan penghuni alias overload.
“Benar bahwa “negara harus hadir” ketika pelaku tidak mampu secara ekonomi membayar restitusi.  Tetapi tidak tepat juga jika pelaku yang tidak mampu melakukan kewajibannya dapat serta merta diganti dengan hukuman kurungan. Kecuali pelaku tua renta dan memiliki hambatan secara medis,” ujar purna komisioner Komnas Perempuan Periode 2007-2010 dan 2011-2015 itu.
Mengganti kewajiban pelaku membayar restitusi dengan pidana kurungan menurut Ninik merupakan cara-cara konvensional yang hanya akan membebani negara, karena membuat lembaga pemasyarakatan semakin overload.
Baca Juga:Â Pengaturan Norma dalam RUU TPKS Mengenai Restitusi Berpotensi Tidak Implementatif
Mekanisme membayar restitusi dapat dilakukan dengan memberdayakan terpidana  secara ekonomi. Dalam hal ini, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dapat membuatkan skema pemberdayaan ekonomi terpidana selama menjalani pemasyarakatan, termasuk misalnya bekerjasama dengan UMKM atau Koperasi atau lembaga ekonomi lainnya.
Sayangnya, mekanisme yang ditawarkan itu ditolak oleh pemerintah. Alasannya, repot karena minimnya pengawas di lembaga pemasyarakatan. Pemerintah, sebagaimana disampaikan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM RI Edy Hiariej, memilih mengganti kewajiban restitusi itu dengan pidana pengganti kurungan dengan jangka waktu tidak melebihi pidana pokok yang dijatuhkan.
Hal itu, bagi Ninik sebagai upaya mencari jalan “enaknya”. Padahal, jika pemerintah sungguh-sungguh memikirkan skemanya, cara-cara kerjasama tersebut dapat diatur.
“Atau jangan-jangan sistem di Lapas tidak mau diubah?” Ninik mempertanyakan.
Ninik dan aktivis perempuan yang tergabung dalam JPPKKS berharap, Panja dan pemerintah membuka kembali pembahasan restitusi agar kewajiban terpidana tetap ditunaikan bukan melalui pidana pengganti. []
Kustiah