Mengasimilasi Nilai Sumpah Pemuda dalam Gerakan Perempuan

Ilustrasi gerakan perempuan sambut Sumpah Pemuda
Kamu berjalan melewati berbagai toko pinggir jalan dengan tulisan “Diskon Spesial Sumpah Pemuda”, atau malah mendapati restoran “Makan Gratis, Hari Pemuda”. Itu adalah bagian dari euforia dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda setiap tanggal 28 Oktober. Di tempat berbeda, kamu mungkin mendapati kegembiraan ini dalam bentuk lain. Seperti kegiatan seminar, workshop, kompetisi dan acara lainnya. Hmmm, apa sih pentingnya memperingati Hari Sumpah Pemuda?
Sumpah Pemuda merupakan perwujudan semangat kebangkitan pemuda Indonesia kala terbebas dari belenggu penjajahan pada abad ke-20. Kesadaran bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang amat dicintai dibuktikan melalui sebuah ikrar, yakni semangat persatuan ber-Tanah Air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda lahir dari kesepakatan perkumpulan pemuda dalam Kongres Pemuda pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Kongres yang diinisiasi oleh Sutomo atau yang biasa dikenal sebagai Bung Tomo ini menegaskan semangat nasionalisme pemuda Indonesia. Hal ini tergambar dalam ikrar yang mengakui Indonesia sebagai bangsa dan Tanah Air mereka serta menjunjung tinggi Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Baca Juga: Peduli pada Kasus KDRT, Hati-Hati Saat Menentukan Pelaku dan Korban
Dari situlah kemudian, tanggal 28 Oktober ditetapkan sebagai Hari Sumpah Pemuda, sebuah simbol nasionalisme para pemuda untuk Tanah Air tercinta. Tidak putus dalam kegiatan perayaan saja, nilai-nilai yang terkandung dalam Sumpah Pemuda bisa kita asimilasikan juga dalam kehidupan sehari-hari, termasuk menginternalisasi nilai ini dalam gerakan perempuan.
Memperkuat Solidaritas Perempuan
Sumpah Pemuda mengandung nilai persatuan, yang bisa digunakan sebagai dasar gerakan perempuan untuk bersatu dalam memperjuangkan keadilan dan kesetaraan, sekaligus menghapus segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Di Indonesia, banyak sekali organisasi atau lembaga yang bergerak di bidang perlindungan dan pemberdayaan perempuan. Mulai dari organisasi tingkat mahasiswa, seperti Korps HMI Wati (KOHATI) dan Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Puteri (KOPRI); Organisasi Masyarakat seperti Aisyiyah dan Fatayat NU; Non Government Organization (NGO) seperti JalaStoria dan Jala Pekerja Rumah Tangga (PRT); dan Lembaga Nasional HAM (LNHAM) seperti Komisi Nasional Anti Kekerasan Seksual terhadap Perempuan (Komnas Perempuan); hingga lembaga pemerintahan seperti Kementerian Permberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Semua organisasi dan institusi di atas memiliki tujuan yang sama, yakni berupaya menciptakan lingkungan yang aman, setara dan berkeadilan bagi perempuan.
Hidup Setara dan Adil
Memiliki kehidupan yang setara dan adil adalah salah satu nilai yang terkandung dalam Sumpah Pemuda. Di dalamnya dapat dimaknai bahwa pemuda Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam pembangunan bangsa, seperti hak pendidikan dan hak berpolitik serta kewajiban menaati hukum dan pemerintahan.
Namun demikian, polemik kesetaraan dan keadilan di Indonesia masih cukup kompleks. Misalnya, dalam hak hidup aman, perempuan di Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari ancaman diskriminasi dan kekerasan seksual. Perempuan masih menjadi korban paling banyak dalam berbagai kasus kekerasan.
Baca Juga: Lah, Kok Nikah Siri! Pemerkosaan bukan Perzinaan
Berdasarkan data yang tercatat melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) yang dikembangkan Kemen PPPA, terdapat 18.139 korban perempuan dan 4.614 korban laki-laki dari 20.957 jumlah kasus kekerasan yang diinput sejak Januari 2024 hingga tulisan ini dimuat.
Untuk memperkuat identitas kemanusiaan bagi perempuan, nilai hidup setara dan berkeadilan harus mendasari kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.
Memperluas Peran sebagai Bentuk Nasionalisme
Perempuan memainkan peran penting dalam pembangunan. Mulai dari politik, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan, hingga keluarga dan masyarakat. Ragam peran ini terbagi menjadi tiga, yakni peran produktif, reproduktif dan peran sosial.
Pertama, peran produktif meliputi peran dalam hal bekerja yang menghasilkan barang dan jasa. Sering kali peran ini disebut sebagai peran publik. Kedua, peran reproduktif, sesuai dengan amanya, berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan rumah tangga atau yang biasa disebut peran domestik. Ketiga, peran sosial peran yang ditampilkan perempuan dalam konteks sosial tertentu. Peran sebagai orang tua, siswa dan peran lain yang berubah seiring dengan perubahaan keadaan.
Dengan memaksimalkan tiga peran tersebut, dapat diartikan bahwa perempuan juga memperluas cakrawala perjuangan. Perempuan, melalui perannya turut berkontribusi untuk kemajuan bangsa. Di mana hal ini adalah nilai yang terkandung dalam Sumpah Pemuda.
Uswatun Hasanah, perempuan cendekia yang akrab disapa Uung
