Menengok Implementasi Permendikbudristek PPKS
Upaya menghapus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi terus berlanjut. Pemerintah melalui Kemendikbudristek menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 tahun 2021 pada 3 September 2021. Kehadiran Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKS) kini telah ditindaklanjuti oleh sejumlah pihak. Tidak lain tujuannya adalah untuk mengefektifkan beleid yang sempat dijudicial review ke Mahkamah Agung.
Di antaranya, Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah V. Lembaga ini sudah melakukan sederet tahap awal untuk implementasi Permendikbudristek PPKS.
Sampai tanggal 1 Oktober 2022, setidaknya ada lima kegiatan yang sudah dilakukan. Pertama survei pemetaan implementasi PPKS di perguruan tinggi swasta. Kedua, sosialisasi pelaksanaan PPKS ke pimpinan perguruan tinggi, pimpinan bidang kemahasiswaan, serta tenaga kependidikan dan mahasiswa.
Ketiga, mengkoordinir pembuatan akun portal PPKS secara kolektif melalui LLDIKTI V. Keempat, melaksanakan bimtek admin portal PPKS. Kelima, monitoring dan pendampingan pembentukan satgas PPKS.
Hal itu disampaikan oleh Ketua LLDIKTI V Yogyakarta Prof. Aris Junaidi, pada Senin (3/10/2022) dalam Diskusi Publik “Membangun Layanan Korban Kekerasan Seksual yang Komprehensif dan Memberdayakan,” pada Senin (3/10/22).
Ia menjelaskan, dari total 101 perguruan tinggi swasta di Jogja, 100 di antaranya sudah memiliki akun portal PPKS.
“Hanya satu yang belum karena perguruan tinggi yang satu ini ada wacana alih kelola perguruan tinggi,” terang Aris.
Baca Juga: Polemik Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021
Selain itu, terdapat 63 perguruan tinggi yang sudah membentuk calon panitia seleksi (Capansel) PPKS. Sisanya, 38 PT belum membentuk capansel PPKS.
“Sebagian telah selesai melaksanakan uji publik calon pansel PPKS, di antaranya adalah Universitas Atma Jaya, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Universitas Sanata Dharma, Universitas Nahdhatul Ulama, UTY (universitas teknologi Yogyakarta), dan Universitas Respati Yogyakarta,” kata Aris dalam diskusi yang diselenggarakan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Rifka Annisa itu.
Upaya mengimplementasikan Permendikbudristek PPKS tidak berhenti sampai di situ. Lembaga ini masih akan melanjutkan monitoring dan pendampingan sampai akhir 2022 bagi perguruan tinggi yang belum melaksanakan tahapan pembentukan Satgas PPKS. Adapun pembekalan Satgas PPKS akan dilakukan pada 2023.
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual
Untuk mendukung penegakan Permendikbudristek PPKS, Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah menyatakan, ada dua hal yang menjadi fokus, yaitu penerapan kebijakan PPKS dan penguatan budaya kesetaraan.
Dalam penerapan kebijakan PPKS, setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan. Pertama, sosialisasi sebagai bagian dalam proses induksi, yang dilanjutkan dengan tahap membangun aplikasi/platform sebagai sarana sosialisasi kebijakan PPKS. Demikian pula dengan langkah mengintegrasikan prinsip-prinsip utama dalam kebijakan PPKS ke dalam Pakta Integritas.
Kedua, implementasi. Yaitu dengan memastikan adanya unit yang berperan sebagai satgas dalam organisasi. Bagian lain dari implementasi adalah menindak pelaku, termasuk menghambat potensi munculnya pelaku lain.
Baca Juga: “Dari #NamaBaikKampus: Aku Enggak Menyerah, Aku Enggak Padam…”
Ketiga, monitoring dan evaluasi. Review implementasi kebijakan PPKS bisa dilakukan secara berkala dan memberikan pendampingan jika terdapat kendala dalam implementasi. Selain itu revisi kebijakan perlu dilakukan berdasarkan hasil evaluasi sebagai upaya perbaikan kebijakan.
Sementara itu, penguatan budaya kesetaraan perlu dilakukan melalui tiga hal. Pertama adalah penghapusan sesat pikir terkait kekerasan seksual. Beberapa sesat pikir yang menguatkan victim blaming pada perempuan antara lain perempuan adalah sumber fitnah dan perempuan menjadi salah satu sumber jatuhnya laki-laki selain harta dan tahta.
Kedua, pendidikan seksualitas yang komprehensif. Ini bisa dilakukan dengan memberikan pemahaman tentang tiga macam sentuhan/rekaman/pandangan (menyenangkan, menyedihkan, membingungkan-merendahkan). Komunikasi asertif yaitu menyampaikan apa yang dirasakan dengan bahasa yang sopan. Lalu memberikan pemahaman tentang relasi yang beresiko (konsep I feel dan I believe). Demikian pula dengan penguatan nilai-nilai agama terkait kekerasan seksual dan kekerasan lainnya.
Ketiga, prinsip 5R yaitu Rights (menghormati hak orang lain), Respect (saling menghargai), Responsibility (tanggung jawab), Reasoning (masuk akal), dan Resilience (ketahanan).
Menurut Alimatul, penyebab kekerasan seksual diawali dari cara berpikir, keyakinan, dan keinginan untuk menguasai orang lain. Membiarkan terjadinya kekerasan seksual melanggar UU TPKS dan Permendikbudristek 30/2021.
“Institusi yang baik dan berkah adalah institusi yang merespons kasus dan membantu korban. kekerasan seksual di tempat kerja dan tempat belajar menghambat terciptanya ruang aman dan nyaman bagi para pekerja dan civitas akademika untuk bekerja dan belajar secara optimal,” tegas Alimatul memungkasi presentasi.
***
Laju upaya banyak pihak untuk menghapuskan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi masih terus berjalan. Upaya ini boleh dibilang keseriusan banyak pihak, tak terkecuali perguruan tinggi, untuk mengenyahkan kekerasan seksual di lingkungannya. [Nur Azizah]