Menegakkan Hak Korban: Upaya Sistematis Mengakhiri Kekerasan Berbasis Gender

Oleh : Fentia Budiman
Kekerasan berbasis gender adalah masalah sosial yang tidak hanya melukai fisik dan psikis korban, tetapi juga merusak struktur keadilan dan nilai kemanusiaan dalam masyarakat. Di Indonesia, kekerasan ini terjadi di berbagai lapisan sosial dan rentang usia, menimpa perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya. Meski ada sejumlah regulasi yang bertujuan melindungi korban, kenyataannya upaya perlindungan ini kerap menemui hambatan. Mulai dari aspek hukum, budaya, hingga akses layanan.
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatat kasus kekerasan sebanyak 19.032 per tanggal 7 November 2024. Angka ini mengisyaratkan masih lemahnya perlindungan bagi perempuan korban kekerasan di Indonesia. Perempuan korban kekerasan rentan terhadap kekerasan berlapis. Pengalaman beragam dari perempuan yang berani melaporkan kasusnya, seringkali mendapat tanggapan tidak bahkan merendahkan perempuan.
Perempuan korban kerap disalahkan atas situasinya, pakaian yang dipakai korban, hingga aktivitas korban yang kerap pulang kerja pada malam hari. Stigma dan diskriminasi bagi korban kekerasan berbasis gender begitu kental dalam masyarakat patriarki. Perempuan yang bersuara dianggap membuka aibnya sendiri atau aib keluarga. Padahal upaya-upaya untuk bisa bersuara dan membuka kondisi kekerasan yang dialami perempuan, sangat membutuhkan kesiapan mental dan dukungan oleh lingkungan sekitar.
Perempuan korban kekerasan berbasis gender, perlu ada dukungan serta hak korban yang harus dipenuhi. Hak korban mencakup dukungan fisik, psikologis, dan sosial. Terutama penting untuk memulihkan kondisi setelah mengalami kekerasan. Dukungan fisik meliputi akses perawatan medis yang komprehensif, termasuk pengobatan luka-luka, layanan kesehatan reproduksi, dan akses terhadap layanan kontrasepsi darurat bagi korban kekerasan seksual. Layanan medis ini sangat penting untuk menangani dampak fisik kekerasan dan mencegah masalah kesehatan jangka panjang.
Dukungan psikologis juga begitu penting, karena trauma yang dialami korban dapat memengaruhi kesehatan mental dan kualitas hidup secara keseluruhan. Layanan ini mencakup konseling trauma, dan pendampingan psikologis untuk membantu korban memproses pengalaman mereka, mengelola stres, dan membangun kembali rasa percaya diri. Sayangnya, akses ke layanan kesehatan mental di banyak daerah di Indonesia masih sangat terbatas, terutama di wilayah terpencil, yang menambah tantangan bagi korban dalam memulihkan diri.
Di samping itu, hak korban juga mencakup dukungan sosial yang membantu mereka kembali ke masyarakat dengan martabat. Dukungan sosial dapat berupa perlindungan dari stigma sosial yang sering kali menyudutkan korban, bantuan hukum untuk memastikan pelaku bertanggung jawab, serta dukungan ekonomi dan pemberdayaan untuk membantu korban mandiri secara finansial, terutama jika mereka mengalami ketergantungan ekonomi pada pelaku.
Dukungan sosial ini juga mencakup keberadaan komunitas atau organisasi yang peduli pada nasib korban, menyediakan ruang aman, serta memperjuangkan hak-hak korban. Kombinasi dari dukungan fisik, psikologis, dan sosial ini menciptakan lingkungan pemulihan yang lebih komprehensif bagi korban, membantu mereka membangun kembali hidup yang lebih stabil dan bermartabat
Perluasan Pusat Layanan Terpadu (PLT) di daerah-daerah terpencil sangat penting untuk memastikan bahwa semua korban kekerasan berbasis gender dapat mengakses dukungan yang mereka butuhkan, tanpa terkendala oleh lokasi geografis. Pusat layanan terpadu (PLT) menyediakan berbagai bentuk dukungan di satu tempat, seperti layanan medis, konseling psikologis, pendampingan hukum, dan perlindungan sosial. Dengan mengintegrasikan layanan ini, PLT membantu korban menghemat waktu, biaya, dan tenaga yang sering kali sulit diakses, terutama di wilayah dengan infrastruktur terbatas.
Di daerah terpencil, korban kekerasan berbasis gender kerap menghadapi tantangan besar untuk mencapai pusat-pusat layanan di kota. Kondisi ini diperparah oleh keterbatasan fasilitas kesehatan, minimnya profesional terlatih, dan stigma sosial yang tinggi. Di banyak wilayah, fasilitas kesehatan jiwa atau layanan forensik hampir tidak tersedia, seperti di Maluku Utara yang hanya memiliki satu rumah sakit jiwa di Sofifi dengan sumber daya manusia yang sangat terbatas. Karena itu, pembangunan PLT di daerah-daerah ini menjadi kebutuhan mendesak untuk memastikan hak korban terpenuhi dengan akses yang merata.
Dengan keberadaan PLT di wilayah terpencil, korban dapat menerima perawatan dan dukungan secara langsung tanpa harus menempuh perjalanan jauh yang melelahkan dan berisiko. Selain itu, PLT di daerah terpencil juga membantu meningkatkan kesadaran masyarakat setempat tentang kekerasan berbasis gender, serta mengurangi stigma yang sering kali menghalangi korban untuk melapor dan mencari bantuan. Dalam jangka panjang, ini tidak hanya akan membantu korban pulih, tetapi juga berpotensi mengurangi angka kekerasan berbasis gender melalui edukasi dan pencegahan berbasis komunitas.
#GERAKBERSAMA #PENUHIHAKKORBAN #AKHIRISEKARANG
