Mendobrak Tradisi Misoginis dalam Teks

 Mendobrak Tradisi Misoginis dalam Teks

(ilustrasi : Goodreads.com)

Oleh: Muhammad Rizky Suryana

 

Penulis : Gadis Arivia

Penerbit : Yayasan Jurnal Perempuan

Tahun Terbit : 2003

 

“Masalah perempuan merupakan filsafat pembebasan dan pembebasan terhadap filsafat itu sendiri,”

~Carol Gould

Demikian ucapan ini dalam mewakili tema besar yang dibawa oleh Gadis Arivia di bukunya: ketidakadilan peran perempuan dalam narasi filsafat. Tema besar tersebut dituangkan oleh Gadis dalam bukunya yang berjudul Filsafat Berperspektif Feminis.

Berawal dari keprihatinan Gadis dalam melihat dinamika kajian gender dan feminisme di Indonesia, ia menuliskan buku ini. Dalam kalimat awalnya di pengantar (hlm. vii), Gadis mengeritik sikap bias filsafat terhadap pemikiran feminis. Ia kemudian membedah pemikiran keempat belas filsuf laki-laki dari Dunia Barat, kemudian mendekonstruksi pemikirannya dan memasukkan unsur feminisme. Upaya ini dimaksudkan untuk memberi pesan bahwa filsafat tidak bias gender.

Sebelum beranjak dari pembedahan Gadis terhadap filsafat yang begitu maskulin, adakalanya membahas terlebih dahulu bagaimana lahirnya feminisme sebagai disiplin ilmu cum praksis di masyarakat.

Menurut Gadis (hlm. 17), gerakan feminisme yang signifikan terjadi pada abad ke-19, tepatnya dilakukan oleh Elizabeth Cady Stanton dan Susan B. Anthony. Mereka memperjuangkan hak perempuan untuk memilih dalam Pemilihan Umum. Mereka juga mendirikan surat kabar bernama The Revolution yang dimaksudkan untuk membahas perceraian, prostitusi, dan peran gereja dalam menindas perempuan. Elizabeth inilah yang melahirkan sebuah konvensi, bersama perempuan lainnya di Seneca Falls, Amerika Serikat.

Efek dari suara para peserta konvensi di Seneca Falls ini melahirkan feminisme gelombang pertama. Salah satu pencetusnya adalah Mary Wollstonecraft, yang juga peserta konvensi tersebut.

Mary berkata bahwa perempuan mempunyai posisi yang tidak menguntungkan dalam sosial maupun ekonomi. Ia berkata seperti itu karena mengambil kasus perempuan-perempuan kelas menengah yang ‘dipingit’ karena memiliki suami yang berpenghasilan mapan (hlm. 105). Mereka hanya bisa bergosip dengan ibu rumah tangga lainnya yang juga dipingit, karena dipaksa untuk tidak bekerja untuk membantu suaminya. Alhasil, mereka menjadi tidak produktif. Pemikiran Mary inilah yang disebut feminisme liberal dan terwujud dalam konvensi di Seneca Falls pada 1848.

Diikuti juga oleh feminisme radikal yang melihat masalah ketubuhan perempuan dan seksualitas yang dikontrol oleh laki-laki, dan feminisme marxis dan sosialis yang melihat perjuangan perempuan dalam menghapuskan penindasan gender dan penindasan kelas. Kemudian, lahirlah feminisme gelombang kedua melalui pendekatan psikoanalisa dan eksistensialis serta gelombang ketiga yang melalui pendekatan postmodernis dan masalah lingkungan (ekofeminisme).

 

Maskulinitas Filsafat dan Tradisi Misoginis

Dalam bukunya, Gadis menyebutkan bahwa mayoritas filsuf yang ia bedah mempunyai narasi yang meminggirkan peran perempuan dalam karyanya. Sebagai contoh, Aristoteles menyebutkan bahwa perempuan adalah makhluk yang inferior karena hanya menyuplai materi saja berupa sel ovum (hlm. 35). Platon menyebutkan bahwa perempuan cakap dalam mengurus rumah tangga, tapi tidak cakap dalam memimpin (hlm. 34).

Lalu, Rene Descartes menyebutkan bahwa perempuan lemah dalam hal rasio jika dibandingkan dengan laki-laki. Francis Bacon juga menyebutkan bahwa perempuan hanya menghalangi kesuksesan laki-laki, sehingga kehidupan ideal baginya adalah laki-laki yang tidak menikah. Jean-Paul Sartre mengatakan bahwa tubuh perempuan hanya sebagai pelampiasan dari kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki (hlm. 74).  Nietzche mengungkapkan bahwa laki-laki adalah ubermensch dan bisa menindas manusia yang lemah, dalam hal ini perempuan (hlm. 65). Pernyataan ini banyak tersirat dalam novelnya yang berjudul Thus Spoke Zarathustra.

Narasi-narasi yang dihadirkan oleh para filsuf laki-laki ini menandakan bahwa perempuan masih menjadi yang liyan, atau dengan kata lain objek. Bukan sebagai subjek yang setara dengan laki-laki. Namun, tidak semua filsuf laki-laki menganggap perempuan sebagai objek dalam buku ini. John Stuart Mill, seorang filsuf modern Inggris menganggap bahwa tidak ada masyarakat yang adil bila setengah dari para penduduknya tidak diakui kesetaraannya (hlm. 63). Dengan kata lain, Mill menginginkan peran gender yang setara.

Gadis, mengutip Solanas dalam karyanya Masculine/Feminine (1969), memang melihat filsafat sebagai persoalan laki-laki. Perempuan sama sekali tidak disinggung identitasnya. Muatan filsafat, secara historis didominasi oleh ego laki-laki dan ada upaya peminggiran filsuf perempuan.

Sebagai contoh, Hypatia dari Alexandria meninggal dengan tragis oleh para biarawan, hanya karena dia cerdas dan penganut ajaran neo-Platonik. Karyanya tidak disinggung oleh buku-buku filsafat. Hanya cerita tragisnya yang disebut dalam sejarah. Banyak filsuf yang dipinggirkan dari sejarah. Orang-orang lebih mengetahui de Beauvoir sebagai filsuf feminis pertama, dibandingkan dengan Christine de Pizan ataupun Mary Wollstonecraft.

Faktanya, tradisi misoginis saat ini masih terjadi di masyarakat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Robert Jackson dan Georg Sorensen, secara global perempuan hanya memiliki 1% properti dunia, 5% yang menjadi kepala negara dan menteri dalam kabinet, hanya memperoleh gaji 10% dari seluruh pendapatan, mewakili 60% dari keseluruhan buta huruf, dan mewakili 80% dari seluruh pengungsi dan disertai anak-anak mereka.

Tradisi misoginis terjadi juga di media massa, dimana banyak media yang melanggengkan rape culture dengan menggambarkan perempuan sebagai penyebab kekerasan seksual di judulnya. Contohnya: karena memakai pakaian minim, seorang wanita diperkosa oleh teman dekatnya.

Selain itu, keterwakilan perempuan dalam lembaga negara di seluruh dunia juga menandakan tradisi misoginis. Perempuan hanya dihitung sebagai angka, sebagai objek kuantitatif. Contohnya, ketika DPR menargetkan kuota 30% terhadap perempuan, nyatanya pemilihan anggota legislatif di DPR oleh partai politik masih berdasarkan tradisi misoginis. Perempuan dinilai kurang cakap dalam mengaspirasikan pendapatnya di DPR. Logika politik dianggap terkuasai oleh laki-laki, seperti yang dikatakan oleh Platon dalam awalan subbab ini.

Ada catatan dari tirto.id mengenai keterwakilan perempuan di DPR. Ia menyebutkan, jumlah perempuan yang menempati kursi DPR mencapai 120 orang (20,87 persen) dari total 575 kursi di DPR. Proporsi terbanyak ada di Partai Nasdem (sebesar 32,20 persen). Hal ini menandakan peningkatan perwakilan perempuan di DPR. Namun, apakah menjamin bahwa tradisi misoginis di DPR akan luntur? Belum tentu, melihat mandegnya pembahasan beberapa rancangan undang-undang (RUU) yang bertujuan melindungi perempuan seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Ditambah lagi dengan hadirnya RUU Ketahanan Keluarga yang semakin merepresi perempuan dalam keluarga. Menurut Siti Aminah Tardi, Komisioner Sub Komisi Pemantauan Komnas Perempuan, dilansir dari tirto.id mengatakan bahwa RUU Ketahanan Keluarga ini mengsubordinasi peran perempuan dalam keluarga.

Dalam RUU tersebut terlihat jelas bahwa ada pembakuan peran yaitu laki-laki adalah kepala keluarga dan perempuan adalah ibu rumah tangga. Tentunya hal ini tidak sesuai dengan realita bahwa peran perempuan sebagai kepala keluarga dalam masyarakat.

Kemudian, pasal-pasal di RUU Ketahanan Keluarga pun sama sekali tidak menyinggung soal kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Padahal, tradisi misoginis juga terjadi dalam hubungan keluarga dengan puncaknya yaitu KDRT.

 

Dekonstruksi Filsafat Patriarki

Filsafat, bagi Gadis mempunyai dua pilihan untuk bisa diterima oleh para feminis. Pertama, menerima rasionalitas dari filsafat itu sendiri. Para feminis beranggapan bahwa menerima rasionalitas filsafat yang patriarkis merupakan bentuk dominasi. Akhirnya, filsafat dan feminisme tidak bisa digabungkan. Kedua, menolak sama sekali kehadiran filsafat artinya menganggap secara radikal bahwa filsafat tidak diperlukan dalam membahas teori-teori feminisme.

Selain itu, filsafat sering dikatakan rasionalitas dan obyektif, bukan emotif dan subyektif. Artinya, filsafat tidak bisa didasarkan pada pengalaman yang eksklusif. Terlihat, bahwa feminisme dan filsafat berbenturan pemahamannya. Karena feminisme sering memasukkan pengalaman personal sehingga dikatakan sebagai sesuatu yang “bukan” filsafat.

Ternyata, tidak selamanya filsafat dan feminisme berbenturan. Filsafat bisa disintesiskan dengan feminisme. Melalui apa? Upaya dekonstruksi untuk melihat bagaimana misoginis ditunjukkan dalam filsafat. Selanjutnya, dimasukkan suara-suara feminisme dalam filsafat setelah didekonstruksi, untuk mendapatkan filsafat yang berperspektif feminis.

Oleh karena itu, Moira Gatens dalam bukunya Feminism and Philosophy menganggap bahwa baik feminisme maupun filsafat harus meninggalkan fanatismenya. Dengan kata lain, Gatens beranggapan bahwa berbicara feminisme juga menggunakan teori sekaligus mengargumentasinya, tidak sekadar praktik karena terdapat pengalaman subyek yang tertindas oleh budaya patriarki.

Dengan kata lain, bila dikontekskan dengan pembuatan RUU, masih banyak pasal-pasal yang merepresi kebebasan perempuan di dalamnya. Perlu ada aspirasi soal ketertindasan perempuan yang seharusnya diakomodasi oleh negara.

 

Penulis adalah mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah UNJ dan juga K-Pop music enthusiast.

Digiqole ad