Mencermati Jawaban atas Pertanyaan Komite CEDAW
JAKARTA, JALASTORIA.ID – Dialog konstruktif Pemerintah Indonesia dengan Komite Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) berlangsung secara hybrid. Dari Jenewa, Swiss, Komite CEDAW memimpin proses dialog pada 28-29 Oktober 2021 tersebut. Sementara Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Puspayoga dari Jakarta memimpin delegasi yang terdiri dari 19 Kementerian/Lembaga dan perwakilan 3 kepala daerah. Selain itu, hadir utusan Perwakilan Tetap RI di PBB yang hadir langsung di Jenewa.
Pemantauan
Berbeda dengan sebelumnya, dialog konstruktif yang digelar di tengah masa pandemi ini disiarkan langsung melalui UN TV. Dengan demikian, masyarakat sipil Indonesia dapat turut menyaksikan dialog konstruktif tersebut.
“Ini pertama kalinya sebagian besar masyarakat sipil dapat mengikuti secara langsung,” ujar Rita Serena Kolibonso, Koordinator Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI) dalam Media Briefing GPPI, Sabtu (30/10/2021). Masyarakat sipil dapat memantau langsung pertanyaan yang disampaikan oleh Komite CEDAW dan jawaban dari delegasi.
Hal serupa juga disampaikan oleh Mike Verawati, Anggota CWGI dalam Webinar CWGI, Jumat (29/10/2021). Menurut Mike, fasilitas siaran yang tersedia membuat lebih banyak masyarakat sipil dapat terlibat melakukan pemantauan.
Baca Juga: Di Balik Intervensi Lisan dalam Sidang Komite CEDAW
Pertanyaan dan Jawaban
Delegasi mengawali dialog dengan pemaparan laporan capaian dan tantangan pelaksanaan CEDAW di Indonesia. Komite CEDAW kemudian menyambut dengan sejumlah pertanyaan. Namun, terdapat sejumlah pertanyaan yang tidak dijawab langsung oleh delegasi, dengan menyatakan akan menyampaikan jawaban tertulis pada hari kedua.
Pada hari kedua, Komite CEDAW kembali mengajukan sejumlah pertanyaan untuk mendalami informasi yang telah disampaikan. Pemerintah Indonesia telah memberikan jawaban atas sebagian pertanyaan, sekalipun tidak seluruhnya menggambarkan fakta tantangan implementasi CEDAW dan upaya untuk mengurainya. Selain itu, menurut masyarakat sipil yang memantau dialog selama 2 hari itu, terdapat sejumlah pertanyaan yang masih tersisa tanpa jawaban. Berikut ini beberapa catatan yang JalaStoria rangkum berdasarkan Webinar CEDAW Working Group Indonesia pada Jumat (29/10/2021) dan Media Briefing GPPI pada Sabtu (30/10/2021).
- Pemisahan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dengan Perlindungan Anak untuk Penguatan Mekanisme Nasional Pemajuan Perempuan
Pertanyaan ini termasuk dalam daftar pertanyaan yang tidak dijawab oleh delegasi. Sementara itu, dalam laporan alternatif (alternative report) yang disampaikan oleh GPPI, GPPI merekomendasikan agar Kementerian Pemberdayaan Perempuan tidak disatukan dengan Perlindungan Anak.
Penggabungan urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dinilai telah melemahkan mekanisme nasional pemajuan perempuan. Penggabungan ini menyebabkan kementerian ini menjadi tidak fokus dalam upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Penggabungan ini juga dinilai sebagai persoalan yang membuat CEDAW tidak dapat diimplementasikan.
- Upaya untuk mencapai 30% keterwakilan perempuan di tingkat nasional sampai ke tingkat lokal.
Dalam rilis GPPI yang diterima JalaStoria pada Sabtu (30/10/2021), Komite CEDAW mempertanyakan tindakan khusus sementara untuk 30% perempuan dalam politik dan kepemimpinan perempuan. “Komite CEDAW mempertanyakan bagaimana negara menjamin 30% keterwakilan perempuan tercapai di tingkat nasional sampai lokal,” urai Rita.
Namun, delegasi menjawabnya dengan menyatakan akan memperbanyak training kepemimpinan perempuan di akar rumput. “[Justru] tidak menjawab terobosan apa yang dilakukan terkait sistem dalam regulasi dan sanksi bagi partai politik yang tidak menjalankan kuota 30%,” jelas Rita.
- Situasi Perempuan dalam Konflik dan Wilayah Konflik Sumber Daya Alam
Anggota GPPI, Adriana Venny (30/10/2021) menilai, jawaban mengenai Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) sudah dijawab dengan cukup baik. Namun, terkait situasi perempuan dalam konflik bukan sekedar tentang pasukan perdamaian, tapi terkait dengan penyelenggaraan resolusi konflik. Termasuk penyikapan terhadap kasus kekerasan berbasis gender di masa konflik, misalnya yang terjadi di Aceh.
Sementara itu, pertanyaan atas situasi kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik sumber daya alam juga tidak mendapatkan jawaban yang konkret. Padahal, Venny menjelaskan, terdapat situasi di mana suku di pedalaman di wilayah industri kelapa sawit mengalami kelaparan karena adanya ekspansi hutan industri ke dalam hutan rakyat. Ekspansi itu telah merampas hak atas kehidupan, tak terkecuali masyarakat lokal yang terdampak konflik lahan dengan korporasi.
- Kebijakan Daerah yang Diskriminatif
Menurut Venny dan Mike, pertanyaan mengenai kebijakan daerah yang diskriminatif telah ditanyakan sejak 2012. Venny menambahkan, pertanyaan ini juga muncul dalam Universal Periodic Review (UPR). Dalam adopsi hasil sidang UPR, Indonesia berjanji akan membatalkan kebijakan dan perda diskriminatif.
Atas pertanyaan ini, delegasi menjawab terdapat tiga mekanisme untuk pembatalan atau pencabutan kebijakan diskriminatif. Yaitu executive review, legislative review, dan judicial review melalui Mahkamah Agung. Jawaban ini, menurut Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mencerminkan kesulitan di dalam negeri untuk membangun langkah yang lebih tegas terhadap berbagai regulasi daerah yang bersifat diskriminatif.
Dalam Webinar CWGI (29/10/2021), Andy menjelaskan, masing-masing mekanisme yang tersedia mengandung konsekuensi. Misalnya, proses judicial review di Mahkamah Agung tidak transparan termasuk tidak dapat diketahui kapan perkara akan disidangkan. Sementara melalui proses executive review ada konteks pertimbangan dampak politik yang menjadi hambatan.
Sementara itu, Komite CEDAW juga mempertanyakan mengenai kekhususan daerah di Indonesia yang tidak menganut Konstitusi, namun pertanyaan ini tidak dijawab.
Baca Juga: Mengenal Mekanisme Nasional Pemajuan Perempuan
Cermin Situasi dalam Negeri
Dalam Media Briefing GPPI dan Webinar CWGI, masyarakat sipil menyayangkan terdapat jawaban dari delegasi yang tidak menguraikan secara utuh permasalahan yang dihadapi. Misalnya, terkait isu poligami dan jaminan atas aborsi aman. Masyarakat sipil menyayangkan jawaban dari Menteri yang tidak mencerminkan ketegasan terhadap persoalan poligami sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Jawaban yang disampaikan Menteri sebatas normatif dengan menyatakan menurut UU poligami diperbolehkan dengan persyaratan yang ketat.
Demikian pula dengan jaminan aborsi aman yang dijawab dengan adanya regulasi yang memperbolehkan aborsi bagi korban perkosaan. Padahal, Budi Wahyuni menjelaskan, regulasi itu memberikan batas waktu usia kehamilan 6 minggu sehingga sangat sulit dilakukan. “Tetap saja ini tidak bisa diakses oleh korban kekerasan seksual yang terpaksa mengalami kehamilan,” ujar Budi.
Sementara itu Andy menilai, jawaban yang disampaikan Pemerintah Indonesia atas pertanyaan Komite CEDAW adalah cermin situasi pergulatan di dalam negeri yang terjadi. Berbagai jawaban itu menunjukkan terdapat sejumlah isu yang tidak mudah diselesaikan di dalam negeri.
Baca Juga: Mengawal CEDAW di Indonesia
“Ini mencerminkan situasi kebatinan di dalam pemerintah dalam berbagai isu,” urainya.
Selain itu, hal itu juga menunjukkan masih dibutuhkan dialog yang lebih intensif dengan berbagai pihak agar dalam setiap isu dapat mencapai kemajuan.
“Ini catatan untuk mendorong agenda advokasi yang dimiliki berdasarkan hambatan kultural dan struktural di semua tingkatan,” ungkap Andy. Melalui dialog itu, menurut Andy, merupakan kesempatan untuk mengidentifikasi apa yang dimiliki dan gap (kesenjangan) yang ada. “Lalu berefleksi mengagendakan berikutnya untuk pola kerja yang beragam,” ujarnya.
Apresiasi Pemerintah
Sementara itu, berdasarkan rilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada Jumat (29/10/2021), Menteri Bintang menyampaikan apresiasi kepada berbagai pihak atas kontribusi dalam upaya pemajuan dan pelindungan hak asasi manusia perempuan di Indonesia.
“Mengapresiasi masukan-masukan dari Komnas HAM, Komnas Perempuan dan juga berbagai wakil masyarakat sipil sebagai mitra Pemerintah Indonesia,” ungkap Menteri. Selain itu, Menteri Bintang juga mengapresiasi komitmen dari berbagai pihak untuk melanjutkan kerja sama dan kolaborasi dalam upaya pemajuan dan pelindungan hak asasi manusia perempuan.
Dalam rilis tersebut, Kementerian juga menyebutkan bahwa Komite CEDAW mendorong agar Indonesia terus mengatasi berbagai persoalan yang masih ada dan tantangan baru dalam pemenuhan hak perempuan.
**
Dialog konstruktif Pemerintah Indonesia dengan Komite CEDAW diselenggarakan dalam rangka pemeriksaan laporan atas pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Pemerintah Indonesia telah menyampaikan laporan periodik ke-8 pada 2019.
Selanjutnya Komite CEDAW menyampaikan tanggapan berupa list of issues (daftar isu) kepada Pemerintah Indonesia pada 2020 yang ditanggapi oleh Pemerintah Indonesia pada 2021. Dialog ini digelar dalam Sesi Ke-80 Komite CEDAW yang berlangsung antara 18 Oktober sampai dengan 12 November 2021. [RAM]