Menanti UU Penghapusan Kekerasan Seksual

 Menanti UU Penghapusan Kekerasan Seksual

Oleh: Ema Mukarramah

 

Seorang rekan di Jakarta pernah bercerita bahwa temannya yang berkewarganegaraan asing pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum.

Pelaku menggesek-gesekkan alat kelamin sampai mengeluarkan sperma yang mengenai pakaian korban.

Ketika korban melapor ke kepolisian, ia hanya disuruh pulang karena polisi pun tidak mengetahui apa pasal yang dapat menjerat pelaku.

Pelecehan seksual dapat terjadi melalui kontak fisik antara pelaku dan korban, atau tanpa adanya kontak fisik.

Pelecehan seksual secara fisik misalnya menggesek-gesekkan alat kelamin ke tubuh korban, memegang payudara atau alat kelamin korban, memaksa korban memegang alat kelamin pelaku, memeluk korban, atau perbuatan lainnya, yang berlawanan dengan kehendak korban atau menimbulkan rasa tidak nyaman bagi korban.

Adapun pelecehan seksual yang tidak melibatkan kontak fisik misalnya mengintip korban yang sedang mandi, memperlihatkan alat kelamin kepada korban, mengajak korban berhubungan seksual, menceritakan cerita porno, memberi isyarat terkait hubungan seksual, menatap bagian tubuh korban, melakukan siulan, atau perbuatan lainnya secara lisan atau non-lisan, di mana perbuatan tersebut tidak dikehendaki korban atau mengganggu korban.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memidanakan pencabulan dengan ketentuan harus ada kontak fisik antara pelaku dengan korban dan perbuatan itu harus terkait dengan lingkup nafsu berahi kelamin.

Pelecehan seksual jauh lebih luas dari pencabulan karena bukan hanya meliputi perbuatan yang dilakukan secara fisik melainkan juga non-fisik. Itulah sebenarnya yang ditawarkan oleh RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

RUU ini mengatur norma yang memidanakan perbuatan pelecehan seksual, baik fisik maupun non-fisik.

Ketentuan ini sekaligus diikhtiarkan untuk mengatasi kekurangan KUHP dalam pengaturan pencabulan.

Selain itu, RUU ini juga menegaskan bahwa perkosaan bukan serangan terhadap moralitas dan kesusilaan, melainkan sebagai perbuatan yang menyerang tubuh, martabat, dan seksualitas korban.

RUU ini juga merumuskan tindak pidana kekerasan seksual lainnya yang belum diatur oleh sistem hukum di Indonesia, seperti eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Dengan demikian, terdapat sembilan tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam RUU ini.

Metamorfosis RUU

Jauh sebelum masyarakat ter-ekspose kasus Baiq Nuril, seorang tenaga honorer di sebuah SMA di Mataram dipidanakan atas perbuatannya merekam bukti pelecehan seksual yang dialaminya.

Dan desakan untuk menghadirkan RUU yang melindungi korban kekerasan seksual telah cukup lama disuarakan.

LBH APIK Jakarta pada 2005 mengusulkan RUU Anti Pemerkosaan, sekaligus menyarankan agar pengaturan komprehensif terkait tindak pidana perkosaan dirumuskan di luar BabTindak Pidana Kesusilaan dalam Perubahan KUHP.

Usulan itu didasarkan atas keluhan pengaturan sempit dalam KUHP mengenai perkosaan, yang dalam praktik penegakan hukum menyulitkan korban untuk mengakses keadilan dalam sistem peradilan pidana.

Ide RUU Anti Pemerkosaan itu sepertinya bermetaformosis menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang tercatat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2010-2014.

Sekalipun judul berbeda dari judul awal yang diusulkan, secara prinsip tidak ada perbedaan berarti.

RUU ini tercatat sebagai usulan inisiatif DPR RI dalam nomor 208 dari 247 RUU. Namun RUU ini tidak pernah diagendakan untuk dibahas.

Bahkan sampai dengan berakhirnya masa sidang DPR RI periode 2009-2014, RUU ini tidak terlihat akan ditransfer sebagai RUU yang akan dibahas dalam Prolegnas Tahun 2014-2019.

Menjelang pergantian periode kepemimpinan eksekutif dan legislatif pada 2014, Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan mengusulkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk dalam daftar Prolegnas 2014-2019.

Namun sampai dengan Desember 2015, usulan itu belum diakomodasi oleh DPR RI dan Pemerintah.

Situasi itu berubah setelah DPR RI, DPD RI, dan Pemerintah pada Januari 2016 menetapkan Perubahan Prolegnas dan Prolegnas Prioritas 2016.

Setelah rapat itu, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tercatat sebagai RUU Penambahan Prolegnas Tahun 2015-2019.

Menanti Pembahasan

Setelah hampir tiga tahun pembahasan, RUU ini tidak bergerak maju. Desakan untuk menghadirkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU kembali bergaung. Kriminalisasi yang dialami Baiq Nuril merupakan salah satu pemicunya.

Sekalipun kemendesakan itu sangat dirasakan, dalam pembahasan RUU ini hendaknya memperhatikan sejumlah hal.

Pertama, pembahasan RUU ini tetap harus dilakukan dengan teliti agar tidak menimbulkan reviktimisasi kepada korban. Artinya, rumusan norma dalam RUU ini harus dirumuskan dengan tegas dan tanpa multitafsir.

Kedua, RUU ini juga harus konsisten membangun norma sembilan tindak pidana kekerasan seksual secara utuh.

Tanpa pengaturan sembilan tindak pidana kekerasan seksual tersebut, korban masih akan sulit untuk melapor ketika kekerasan seksual yang dialaminya tidak diatur dalam Undang-undang. Adapun aparatur penegak hukum juga tidak memiliki pegangan untuk menindaklanjuti pelaporan korban.

Ketiga, pengalaman korban harus menjadi dasar utama dalam perumusan norma tindak pidana kekerasan seksual.

Jika pembahasan dilakukan tanpa menyerap aspirasi dari korban kekerasan seksual, RUU ini malah akan kehilangan esensinya untuk memberikan perlindungan bagi korban.

Oleh karena itu, sangatlah tidak tepat jika penggalian aspirasi dilakukan bukan dari kelompok masyarakat yang mewakili suara korban kekerasan seksual.

Dan keempat, asumsi yang menghambat pembahasan RUU harus disingkirkan, misalnya kekhawatiran kriminalisasi terhadap hubungan suami istri dalam perkawinan yang sah. Asumsi itu sangat tidak beralasan mengingat kriminalisasi itu tidak dijumpai dalam RUU ini.

Desakan yang muncul agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera dibahas dan disahkan sebenarnya merupakan desakan untuk membangun RUU ini berdasarkan pengalaman korban.

Hanya dengan cara itulah, setiap korban kekerasan seksual akan memperoleh perlindungan dari negara melalui sistem hukum yang menyediakan pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.[]

Staf Ahli Anggota DPD RI

 

*Dimuat di Koran Sindo pada 12 Desember 2018
Klik berikut untuk melihat: Menanti UU Penghapusan Kekerasan Seksual

Digiqole ad