Maya Tapi Nyata

 Maya Tapi Nyata

Ilustrasi (sumber: Canva.com)

 

Oleh Lusia Palulungan

 

Kekerasan Berbasis Gender Online

Pada menjelang tengah malam, beberapa malam yang lalu, saya dihubungi lewat WA oleh salah seorang Pengurus Forum Anak (sebut saja namanya X). Ia menyampaikan bahwa salah seorang temannya telah mengalami Kekerasan dalam Pacaran (KdP). Si X meminta ijin memberikan nomorku ke temannya untuk konsultasi dan penanganan lebih lanjut dan saya mengiyakan.

Berselang beberapa menit, teman X (sebut saja W) kemudian menghubungiku lewat WA. W menceritakan bahwa dia baru saja memutuskan hubungan percintaan dengan pacarnya (sebut saja L).

Mereka berkenalan di media sosial dan sepakat menjalin hubungan yang lebih serius. Sebagaimana dalam berpacaran, tentu diawali dengan kisah manis dan bahagia, sebagaimana dua sejoli yang sedang kasmaran.

Media seperti Video Call (VC) lewat Whatsapp (WA) dan berbagai fasilitas media sosial lainnya yang memungkinkan kontak langsung, menjadi pendukung terjalinnya hubungan mereka lebih erat. Padahal W dan L berdomisili I provinsi yang berbeda. Jarak bukan halangan untuk bertemu, meskpun di dunia maya.

Hubungan W dan L berlanjut sampai jauh, sampai pada hubungan seksual online. Bahkan seluruh proses hubungan intimnya direkam dengan baik oleh L. Bukan hanya itu, L juga selalu meminta W mengiriminya foto-foto telanjang dengan berbagai pose, dengan alasan selalu kangen pada W.

Kejadian ini berlangsung lama, L makin bersemangat dan tiada henti memintanya.  Entah sudah berapa banyak video dan foto yang mengandung materi pornografi yang disimpan L.

Hubungan mereka bukan hanya melalui online. W dan L kemudian kerap bertemu dan melanjutkan hubungan seks secara langsung. W tidak kuasa menolak permintaan L, sebagai bukti cinta dan keseriusannya menjalani hubungan itu. Entah sudah beberapa kali, hal ini mereka lakukan.

W rela melakukannya karena beralasan bahwa L yang akan menjadi suaminya kelak. Apalagi L telah dibantu oleh ayah W, ia direkomendasikan untuk mendapat pekerjaan.

Pada suatu kesempatan, W menyadari bahwa dia harus menghentikan hubungan tersebut, setelah mengetahui bahwa L melakukan hal yang sama dengan beberapa perempuan lain. L merasa dikhianati dan sakit hati atas kelakuan L.

Tentu L tidak bersedia diputuskan begitu saja. Ia mengancam W dengan akan menyebarkan video dan foto-foto mereka. W cemas, ia ketakutan. Hal yang paling dikhawatirkan W adalah jika masalahnya diketahui oleh kedua orang tuanya. W tidak mau kedua orang tuanya kecewa dan malu.

W yang ketakutan, mengalami depresi berat. Perilaku buruknya yang lama muncul kembali, yaitu selfharm. Ketika stress dan depresi, W mengiris-iris tangannya dengan silet atau pisau. Duuuhhhh, sungguh memilukan. Dalam kekalutannya, W curhat ke temannya dan disarankan berkonsultasi padaku.

Tengah malam itu, saya kemudian menenangkan W dan menyatakan bahwa keputusan yang dia ambil sudah tepat untuk keluar dari Toxic Pacaran. Juga memberikan penguatan-penguatan agar dia kuat dan teguh menjalani keputusannya. Salah satunya dengan mengirimkannya tulisan Sonya Hellen tentang Hindari Pacaran Beracun yang pernah dimuat di Harian Kompas tanggal 17 Mei 2021.

Saya memberikan pemahaman padanya bahwa lebih baik memutuskan diawal daripada terlanjut jauh ke jenjang perkawinan. Mempertahankan hubungan “beracun” seperti itu akan membawa penderitaan berkepanjangan.

Pertama-tama, saya sampaikan pada W agar jangan takut dengan ancamannnya. Karena kalau L menyebarkan video-video dan foto-foto tersebut, maka dia juga akan ada didalamnya dan pasti juga akan ikut malu. Kedua, jika L masih terus mengancam, W dapat melaporkannya ke lembaga layanan atau P2TP2A yang memiliki advokat dan tim TRC (Tim Reaksi Cepat) untuk mendampinginya dalam menghadapi permasalahannya.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan layanan ini untuk menghentikan L adalah berkoordinasi dengan Unit PPA di Kepolisian setempat untuk memanggil atau mendatangi kediaman L, untuk menyita konten-konten yang mengandung pornografi yang disimpannya.

Ketiga, lembaga layanan dapat melakukan advokasi ke tempat kerja L jika tidak kooperatif untuk menghentikan ancamannya dan menyerahkan konten2 pornografi tersebut. Sehingga, L akan bermasalah hukum jika masih terus mengancam W.

Akhirnya W merasa lebih tenang menghadapi permasalahannya. Meskipun dia menyatakan bahwa kadang timbul rasa iba kepada L tapi ketika mengingat perbuatannya, W kembali meradang. Kini, W sudah bertekad bersikukuh pada keputusannya untuk memutuskan hubungan dengan L. W melakukan blokir agar tidak bisa dihubungi lagi. Semoga W dapat segera terhubung dengan Psikolog yang telah kurekomendasikan untuk mendapatkan pemulihan.

 

Memutus Rantai Kekerasan

Apa yang terjadi pada L dan W dikategorikan sebagai Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dan Kekerasan Berbasis Gender (KBG) yang terjadi beberapa tahun belakangan ini. KBGO ini makin menggejala pada dua tahun terakhir, khususnya dalam masa pandemi covid-19.

Di tengah semakin luasnya jangkauan internet, canggihnya perkembangan dan penyebaran teknologi informasi, serta populernya penggunaan media sosial, telah menghadirkan bentuk-bentuk baru kekerasan berbasis gender.

Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) atau KBG yang difasilitasi teknologi, sama seperti kekerasan berbasis gender di dunia nyata, tindak kekerasan tersebut harus memiliki niatan atau maksud melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual. Jika tidak, maka kekerasan tersebut masuk dalam kategori kekerasan umum di ranah online.

Bentuk kekerasan online tersebut penting dibedakan agar solusi yang diberikan lebih tepat dan efektif. Jika KBGO yang terjadi, solusinya bukan semata penegakan hukum, tetapi juga perlu intervensi yang mampu mengubah cara pandang pelaku terkait relasi gender dan seksual dengan korban. Tanpa intervensi ini, setelah menjalani hukuman, pelaku akan tetap memiliki cara pandang bias gender dan seksual.[1]

Komisi Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2020 mencatat, ada peningkatan signifikan dalam kasus Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO) sebesar 300 persen, dari 97 kasus selama 2018 menjadi 281 kasus pada 2019.

Data tersebut telah cukup menjadi menyatakan bahwa KBGO merupakan sebuah fakta pelanggaran hukum yang tidak kalah rumit penegakan hukumnya dengan kasus pelanggaran hukum berat lainnya.

Salah satu penyebabnya adalah lokusnya lebih luas karena pelaku dan korban berada di tempat berbeda dengan adminsitratif pemerintahan yang berbeda, misalnya lintas kabupaten/kota, provinsi bahkan lintas negara.

Jika korban tidak memiliki dukungan dan keberanian untuk melaporkan kasus yang dialaminya, menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum kasus serupa dan akan semakin melanggengkan KBGO.

Layanan bagi perempuan KBG/O sebagai bentuk dukungan kepada korban, telah dilakukan oleh berbagai organisasi yang fokus pada perlindungan hak-hak perempuan di Indonesia. Salah satunya adalah Forum Pengada Layanan merupakan jaringan lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan, beranggotan 115 Lembaga Pengada Layanan berbasis masyarakat yang tersebar di 32 Provinsi terdiri dari wilayah yaitu Sumatera, Jawa Tengah, DIY, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kalimantan, NTB, Sulawesi, Maluku, NTT dan Papua.

Berdiri diinisiasi oleh Komnas Perempuan pada Tahun 2001 dengan nama Forum Belajar. Komnas Perempuan adalah lembaga HAM Nasional dengan mandat spesifik untuk membangun kondisi yang kondusif bagi segala bentuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Forum Belajar dimaksudkan sebagai wadah untuk saling menguatkan antar lembaga layanan, peningkatan kapasitas, dan melakukan advokasi bersama, agar hak perempuan korban kekerasan dapat dilindungi, dihormati dan dipenuhi oleh Negara.[2]

 

Jeratan Hukum

Tindakan yang dilakukan L dapat dijerat dengan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi mengatur larangan perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; alat kelamin; atau pornografi anak.

Pengaturan tentang hukuman bagi para pelaku penyebar konten pornografi ini juga diatur di dalam Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)  mengatur:

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”

Ancaman pidana terhadap pelanggar diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE, yaitu ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak 1 (satu) milliar rupiah.[3]

Di akhir percakapan menjelang dini hari, kusampaikan pada W, bahwa masa depan masih panjang. Gagal Cinta bukan akhir dari segalanya. Ada banyak Cinta yang terus tercurah dari orang-orang terdekatmu. Jadikan masa lalu sebagai pengalaman terbaik agar tidak kembali jatuh pada lubang yang sama. Siapapun dirimu W dan dimana pun Kamu berada, Saya dan ada banyak Perempuan yang selalu siap membantu dan mendukungmu.

 

Penulis telah bergelut mulai sebagai voluntir di LBH P2i Ujung Pandang sejak Juni 1998 dan dilantik menjadi Pengacara pada Desember 1998. Sejak saat itu aktif mengembangkan paralegal berbasis komunitas dan fokus bidang Bantuan Hukum Gender Struktural sampai saat ini. Pada Desember 2001 menginisiasi pendirian LBH APIK Makassar dan menjadi Direktur sejak Januari 2002 – Maret 2012. Dan terakhir sebagai Program Manager MAMPU di BaKTI. Sampai saat ini masih terus melakukan pendampingan dan bantuan hukum bagi perempuan dan anak korban kekerasan.

[1] https://id.safenet.or.id/wp-content/uploads/2019/11/Panduan-KBGO-v2.pdf

[2] https://lokadaya.id/pengadalayanan

[3] https://yuridis.id/peraturan-hukum-bagi-pelaku-penyebar-konten-pornografi-di-media-sosial/

[]

Digiqole ad