Mamah Nule (Bagian 2 dan 3)

 Mamah Nule (Bagian 2 dan 3)

Ilustrasi pemukiman Kalimantan (Sumber: Pandu_Rizki/Pixabay.com)

Oleh: Evi Nurleni

(Sebuah Perspektif tentang Marginalisasi Perempuan Dayak Ngaju dalam Perubahan Lingkungan Hidup di Kalimantan Tengah)

Bagian 2: Hanya Bisa Mengasihani Diri Sendiri

Esok harinya lagi, Mamah Nule masih duduk termenung dan tercenung di pintu rumahnya. Nule berkata: “Indu, sekarang hari Minggu!” Tergopoh-gopoh Mamah Nule berganti pakaian dan menyiapkan diri pergi ibadah karena jam ibadah sudah akan lewat,

Karena memang terlambat, ibadah sudah dimulai, terdengar suara dari dalam rumah. Katanya: “Siapa memberi (persembahan) banyak akan mendapatkan banyak (berkat) juga, tetapi siapa yang memberi sedikit akan mendapatkan sedikit juga”. Mamah Nule membatalkan langkahnya, dan hampir saja menginjak kubangan, kecut hatinya dan berniat balik ke rumah saja. Ia menggenggam kuat sisa uang yang didapatnya dari berhutang kemaren, dalam hatinya berkata: “Seberapa banyak pun ku beri pasti akan sedikit, maka akan sedikit juga berkat itu”.

Hanya itu uang yang tersedia di yang ditangannya, jika dia masuk dan memberikan persembahan sedikit, ia pasti kurang beriman. Maka kemudian ia memutuskan tidak jadi masuk, dan pergi ke warung karena uang yang tersisa hanya cukup untuk membeli beras dan garam.

Esok harinya lagi, Mamah Nule pergi ke bawah pohon asam, yang biasanya dipakai untuk maruntih. Ia ingin mendapatkan belas kasihan dengan mengambil upah harian di sana untuk membeli lauk pauk. Ia sudah tidak punya lagi kebun karet, karena sudah dijual untuk ongkos pada saat Bapa Nule sakit-sakitan dan akhirnya meninggal karena covid.

Kata orang itu kepadanya: “Tidak ada lagi harga rotan yang bisa aku bagi untuk mengupahmu, yang ada ini hanya cukup kupakai untukku sendiri, tidak untuk dijual”. Maka pulanglah Mamah Nule dengan sedih hati, tidak jadi dapat uang, dan kembali pulang makan nasi campur garam.

Tapi Mamah Nule belum menyerah, besok harinya ia pergi lagi ke kebun karet milik orang, berharap belas kasihan orang. Mamah Nule mau mengambil upah harian untuk menorah karet di tempat itu. Kata orang itu kepadanya: “Harga karet sedang sangat anjlok, mengerjakan ini sia-sia, melelahkan diri saja dengan hasil yang sangat sedikit, bahkan untukku saja pas-pasan. Lihatlah semua orang sudah beralih pekerjaan mendirikan rumah walet”.

Pulang lagi Mamah Nule dengan tangan hampa tanpa hasil, mau seperti orang lain; mendirikan rumah walet tapi tak punya daya. Maka ia pulang ke rumah dan makan nasi dengan kerak saja, lumayan daripada kelaparan.

Tapi Mamah Nule tidak pantang menyerah, berangkat lagi ia menuju ke tengah kampung meminta belas kasihan dari orang. Ia melihat orang sedang berkumpul di depan rumah kepala dusun, sedang membagi sembako, katanya.

Ada yang berkata: “Kalau mau pembagian sembako, harus ada KTP dan Kartu Keluarga”. Mamah Nule bertanya: “apa itu?” Kata orang itu: “Kartu identitas sebagai penduduk negara ini!” Pulang lagi Mamah Nule, karena merasa dulu dia tidak pernah mengurus KTP dan KK, menikah pun dengan nikah adat. Pulang lagi ia ke rumah, makan nasi bubur; sisa beras yang ada.

Oh anakku…. Bagaimana cari kita mencari penghasilan dan uang tambahan? Karet dan rotan tidak ada harganya, mendapatkan belas kasihan pun sepertinya sulit.

Mamah Nule hanya bisa termenung dan mengasihani diri sendiri.

#merenungkan kehidupan dalam selembar kertas yang tidak bersanak keluarga dan tidak berperasaan yang namanya uang dan kartu identitas.

 

Bagian 3: Nule Nyakula Kadungil (Nule Mencontoh Pelawanan)

Besok paginya lagi, Mamah Nule berjalan lagi melalui bibir sungai, ia bertemu dengan seseorang yang berkata: “Ayolah Mamah Nule, kenapa seperti tidak ada dayamu untuk menghidupi dirimu sendiri?”

Terkejut luar bisa Mamah Nule mendengar itu, spontan ia menyahut: “Aduh… pengetahuanku dan ketampilanku selama ini tentang bagaimana cara hidup sudah habis kupakai, apa lagi?”

Kata orang itu lagi: “Kenapa sampai habis akalmu, pelajari bagaimana cara orang menghidupi diri di sekitarmu! Belajar…”

Sangat menusuk batin Mamah Nule mendengar perkataan orang itu, dengan sedih ia menjawab: “Aku memang tidak pernah sekolah, enak bagi kalian yang pintar mengatakannya”.

Dalam sedih yang mendalam Mamah Nule pulang dengan beberapa tetes air mata yang tak sanggup ditahannya. Sampai rumah dia kehilangan selera makan dan minum, walaupun ada nasi dan ikan kering Saluang tersedia di dapur. Sepanjang malam ia bersedih, menangisi dalam, mengasihani diri yang tak punya daya untuk bertahan hidup.

Karena tidak tahan melihat ibunya menangis semalaman, besoknya Nule berkata pada ibunya: “Cukuplan Umai keluar mencari rejeki untuk kita, biar aku saja yang berangkat. Mengikuti anjuran orang itu: Belajar katanya!”

Kata Mamah Nule: “Aku tidak punya uang untuk menyekolahkanmu Nak, bagaimana caranya?”

Kata Nule: “Aku berangkat nyakula  yang tidak usah berbayar!”

Kata Mamah Nule: Oh Anakku… hati-hati, sekolah-lah yang benar!” Kata Nule:  Iya bu!”.

Berangkatlah Nule, dengan diiringi tatapan cemas dari Ibunya. Dua sampai tiga hari Nuli tidak pulang ke rumah, Mamah Nule kian cemas. Semakin kehilangan selera makannya, walaupun ada nasi dan dadar telur di dapurnya. Sakit hatinya memikirkan anaknya, bahkan malah haripun ia tidak bisa tidur barang sekejap pun.

Pada hari yang ke-lima, Nule datang dengan senyum sumringah di depan rumah, dengan menenteng 1 bakul ikan sungai, 1 kantong kayu api dan 1 karung padi. Betapa bahagianya hati Mamah Nule melihat anakknya sudah pulang membawa hasil tangkapan yang banyak.

Heran hatinya melihat, bagaimana bisa? Kemudian Mamah Nule bertanya: “Bagaimana caranya kamu mendapatkan semua ini? Bukankah semuannya illegal katanya?

Kata Nule dengan senyum penuh makna: “Aku sudah lulus sekolah! Aku belajar dari sekeliling!”

Kata Mamah Nule: “Iya… tapi bagaimana?” Sambil berkata demikian sambal mengambil ikan dan membersihkannya.

Kata Mamah Nule lagi: “Bagaimana ceritanya semua ini bisa berhasil, Nak?”

Sementara duduk di lantai dapur dekat dengan Ibunya, Nule berbisik: “Mengambil ikan di sungai asal tidak ketahuan itu bukan mencuri, tapi mencuri-curi. Menebang pohon untuk kayu api asal tidak ada yang melihat itu meminjam, bukan merampas. Membakar ladang asal tahu-sama tahu itu Namanya bermain cerdas, tidak melanggar”.

Di akhir perkataannya Nule  kemudian menyuap nasi dan tanak ikan yang sudah masak oleh ibunya sampai kenyang. Mamah Nule yang baru selesai menyendok nasi ke piringnya sendiri hanya bisa berkata: “Aduh… Anak! Harus beginikah?” Mamah Nule menyuap nasi tetapi terasa ada yang mengganjal di tenggorokannya.

Melihat ekspesi Ibunya, Nule tahu apa yang dipikirkan oleh Ibunya yang berhati jujur dan tulus itu, kata Nule: “Jika semua terlarang bagi kita…. hanya dengan mencontoh kebebalan kita bisa makan enak, itu saja yang ku tau!”

Nule lulus sekolah tanpa bayar SPP dan wisuda, lulus dengan copy paste perlawanan di sekitarnya. Belajar bagaimana cara hidup di antara semua yang terlarang. Belajar menipu para jin dan raksasa penunggu harta kekayaan di hutan, tanah dan air yang terlarang.

Nule mencontoh perlawanan.

#merenungkan kehidupan karena selembar kertas yang bernama ijazah sebagai tanda sebuah kepintaran, tetapi yang tidak punya daya yang berkeadilan bagi kelompok termarginal.

 

Palangka Raya, 19 Mei 2021

 

Pemerhati Masalah Perempuan dan Anak di Kalimantan Tengah

 

 

Keterangan:

:: Maruntih adalah cara membersihkan kulit rotan supaya siap jual atau siap olah (dibelah-belah) untuk anyaman.

:: Ikan Saluang adalah ikan kecil khas sungai di Kalimantan, seperti ikan teri.

:: Umai panggilan ibu untuk masyarakat Dayak.

:: Nyakula itu berasal dari kata sekolah ditambah awalan Nya- artinya menjadi mempelajari atau mencontoh. Ia memiliki konotasi positif dan negatif, tergantung konteks pembicaraannya. Dalam konteks ini nyakula kadungil berarti mempelajari kenakalan, yang artinya melakukan perlawanan dalam konteks ini. Tindakan negatif, tetapi dalam konotasi positif.

Digiqole ad