Logika Hukum Prostitusi dan Perdagangan Manusia

 Logika Hukum Prostitusi dan Perdagangan Manusia

Oleh: Ninik Rahayu

 

Kasus prostitusi online yang kini ramai diperbincangkan di dunia maya mengingatkan kita pada peristiwa yang sama pada Desember 2015. Bedanya, kasus yang satu ini mendapatkan atensi publik yang lebih meriah, terutama dengan kehadiran aneka jenis meme berbentuk candaan.

Mengapa demikian? Alasan yang paling bisa diterima adalah karena semakin canggihnya teknologi dan semakin “cekatannya” respons publik atas sebuah peristiwa. Apalagi kasus ini menimpa seorang figur publik yang dikaitkan dengan prostitusi, suatu tindakan yang “tidak dapat” ditoleransi oleh hukum negara, agama atau masyarakat.

Bagi kita yang tinggal di negara berkembang, kasus prostitusi ini tergolong serius. Apalagi dengan fakta Pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Protokol Palermo melalui UU Nomor 14 Tahun 2009. Instrumen hukum internasional yang mengatur bentuk kejahatan perdagangan manusia ini menyatakan bahwa prostitusi merupakan satu bentuk eksploitasi pada tubuh.

Meskipun awalnya sebagian negara mengusulkan legalisasi prostitusi, terutama negara maju, tidak demikian halnya dengan suara mayoritas negara berkembang dan negara miskin, yang secara keras melakukan penolakan. Argumentasinya adalah jika prostitusi dilegalkan, maka asumsinya, perempuan dan anak yang berasal dari komunitas dua negara yang disebutkan terakhir akan menjadi obyek perdagangan.

Selain itu, penetapan di atas dibuat dengan pertimbangan bahwa, dalam abad ini, berjuta-juta anak, perempuan, dan laki-laki telah menjadi korban kekejaman tak terbayangkan yang sangat mengguncang nurani kemanusiaan. Pertimbangan itu sekaligus menegaskan bahwa kejahatan perdagangan manusia, termasuk prostitusi, tidak boleh dibiarkan dan tak dihukum.

Dan untuk konteks Indonesia, perangkat hukum untuk kejahatan perdagangan manusia telah mengintegrasikan prinsip perlindungan bagi korban perdagangan orang akibat prostitusi dari protokol palermo tahun 2000 kedalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). Langkah ini merupakan komitmen negara atas penindakan kejahatan berdimensi internasional tersebut.

Patut diketahui, perdagangan orang merupakan salah satu bentuk perluasan jenis kejahatan, sebagai konsekuensi logis perkembangan teknologi dan pengetahuan dalam dunia global. Kejahatan yang terorganisir dengan modus operandi yang semakin kompleks memberikan ancaman pada kehidupan dan kesejahteraan nilai-nilai kemanusiaan. Kejahatan ini sangat beragam, mulai dari eksploitasi kerja, pemiskinan, penjualan organ tubuh hingga tubuh manusia untuk prostitusi.

Dalam konteks jenis kejahatan yang terakhir, perempuan dan anak yang lebih banyak menjadi korban. Mengapa lebih rentan menjadi korban? Sebab ada dimensi posisi dan kondisi perempuan dan anak yang berbeda bila dibandingkan dengan laki-laki dalam relasinya di lingkungan privat maupun publik.

Perempuan dan anak umumnya bukan orang dalam posisi dan kondisi “bebas” dalam menentukan kehendaknya. Penentuan voluntary (sukarela/berkehendak bebas) dalam konteks pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, dimaknai sama dengan tindak kejahatan lain. Lalu muncullah multitafsir.

Misalnya kalau si A yang “meminta” untuk diprostitusikan, maka tindakan voluntary prostitution itu bukan merupakan tindak kejahatan, akibatnya anak dan perempuan korban tidak lagi diposisikan sebagai korban.

Logika hukum tersebut tentu tidak tepat karena pada Pasal 26 UU TPPO, secara prinsip, menyatakan bahwa “persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang”. Dengan begitu, dalam logika hukum tidak dikenal istilah voluntary prostitution yang berakibat pada pembebasan pelaku dari hukum, lalu sebaliknya menyalahkan, menstigma atau menghukum korban.

Yang kemudian masih sering muncul menjadi pertanyaan publik, seperti yang beredar dalam bentuk meme adalah bagaimana halnya jika korban yang meminta dan merengek untuk diprostitusikan? Logika hukum menempatkan korban tetap pada posisi korban dan pihak yang meloloskan permintaan, sehingga menyebabkan orang terprostitusi, tetap sebagai pelaku tindak kejahatan.

Mengapa demikian? Sebab relasi antara “peminta dan pemberi” mengandung dimensi yang tidak koordinatif. Secara sosiologis, relasi itu mengandung ketimpangan karena “pemberi”-lah yang umumnya memiliki otoritas dan mengendalikan “peminta”. Meskipun dalam dimensi hukum, berbagai instrumen sudah menjamin kesetaraan dalam relasi kerja, prostitusi tidak termasuk yang dijamin oleh hukum.

Tidak ada satupun aturan di negeri ini yang memberikan jaminan adanya relasi setara dalam kerja prostitusi karena prostitusi di Indonesia tidak termasuk dalam jenis pekerjaan yang diakui negara. Sehingga dapat dipastikan ada unsur keterpaksaan, ketidakmampuan, kemiskinan dan faktor lain yang “tidak terang benderang” atau sering disebut rentan.

Maka jika riuhnya pemberitaan saat ini lebih mengarah pada stigmatisasi korban dan menjatuhkan posisinya dari dimensi moral semata, saya khawatir, kita akan semakin sulit mengarah pada komitmen untuk menjaga nilai martabat kemanusiaan dan jaminan dari perlakuan diskriminatif sebagaimana amanat pasal 28I (2) UUD 1945.

Sayangnya setelah 12 tahun kelahiran undang-undang ini, pemahaman masyarakat bahkan penegak hukum belum cukup baik. Akibatnya, banyak pelaku TPPO yang lolos dari jerat hukum dan korban semakin sulit mengakses keadilan bahkan mengalami reviktimisasi.

Kurang intensifnya pendidikan tentang TPPO kepada masyarakat, semakin memperburuk situasi perdangan orang di Indonesia. Dengan begitu, kasus terus berulang dengan modus dan bentuk yang semakin beragam.

Semoga di tahun 2019 Indonesia tidak lagi dalam posisi Tier 2 dalam upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Ke depan peran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi harus lebih masif lagi mengintegrasikan materi TPPO ke dalam kurikulum pendidikan karena kejahatan ini adalah satu dari tiga kejahatan serius di dunia selain narkoba dan terorisme.[]

Anggota Ombudsman RI

 

sumber gambar: Women Awakening

Digiqole ad