Lepas dari Belenggu Nestapa

 Lepas dari Belenggu Nestapa

Foto (Sumber: Erfan Mohammad)

Oleh: Erfan Mohammad

Andhi’ lake padhena senyangsara (punya laki seperti sengsara),” keluh Siti Rahmah, 40 tahun, saat mengingat kembali masa kelam perkawinannya. Ia tak menyangka setelah 15 tahun menikah harus menelan pahitnya hidup karena ditinggal suami merantau ke ibukota Jakarta. Selama merantau, sang suami tak pernah memberi kabar. Seolah tak peduli terhadap anak dan istrinya.

Kedua anaknya masih duduk di sekolah dasar dan menengah. Ia harus bekerja membanting tulang, memeras keringat untuk membiayai pendidikan mereka. Dengan kesabaran dan kegigihannya, Ibu Rahmah, begitu biasa disapa, dapat menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi. Suatu pencapaian luar biasa dari seorang perempuan yang kerap dipandang sebelah mata.

“Saya menikah berusia 16 tahun, karena dipaksa orangtua agar segera menikah. Mereka bilang, jika perempuan tak segera kawin, bakal susah mencari pasangan, alias tak laku,” ungkap perempuan asal Sampang, Madura, ini.

Baca Juga: Di Tahun Kelima Perkawinanku

Perumpamaan perempuan, kata orangtuanya, ibarat nampan yang disanggul di atas kepala. Perempuan layaknya barang yang harus ditawarkan agar laku terjual.  Jika ada yang berminat, ia tak boleh menolak. Bagitulah budaya memperlakukan perempuan, sebagai  entitas yang tak bebas, keberadaannya tergantung seberapa menarik kuasa laki-laki atas tubuh perempuan.

Bahtera kebahagiaan yang diimpikan, berubah menjadi petaka saat ia tahu suaminya berselingkuh sejak anak pertama berusia 4 tahun. Namun, ia mendiamkan, seolah tak terjadi apa-apa. Sejak itu, suami tidak memberi uang belanja. Meski begitu, sang istri harus menyiapkan kopi dan rokok Gudang Garam atau Dji Sam Soe, rokok paling elite di kalangan orang Madura. Harganya terbilang mahal, setara harga beras 2,5 kg. Jika tak ada dua hidangan itu, suami tak segan-segan melemparkan barang bahkan memukulinya.

Menghadapi perlakuan itu, Ibu Rahmah hanya bisa menerima dan pasrah. Tak dapat menghindar dari tingkah kasar suaminya. Tiap hari yang dipikirkan hanyalah melayaninya agar suami tidak marah-marah, hingga ia lupa mengurus dirinya sendiri.

Ditinggal Suami Merantau

Lama tak bekerja, uang pun tak punya. Suami pamit merantau ke Jakarta. Ibu Rahmah tak menaruh curiga, bahkan ia berharap setelah mendapatkan pekerjaan di Jakarta, perilaku suaminya berubah dan menjadi perhatian terhadap keluarga. Tiga bulan di Jakarta, suami tak kunjung memberi kabar atau menanyakan kabar keluarga.

Setahun berlalu, ranting pepohonan mulai melayu, belum juga terdengar kabar tentang suaminya. Tiba-tiba telpon genggamnya berdering, nampaknya dari nomor tak dikenal. Setelah diangkat, jelas suara perempuan terdengar memarahi Ibu Rahmah seraya menuduh dirinya telah merebut sang suami yang merantau tanpa berita.

Lama Ibu Rahmah tertegun seolah tak percaya apa yang sedang dialaminya. Kini sirna sudah kabar baik yang dirindukannya selama ini. Perempuan di ujung telpon masih terus mengancam jika terus menghubungi suaminya. Ibu Rahmah panik dan sakit hati mendapati suaminya berselingkuh dengan perempuan lain.

Baca Juga: Apakah Poligami Tanpa Izin Bisa Dipidana?

Tak mau larut dalam kesedihan dan kemarahan, Ibu Rahmah berupaya bangkit dari keterpurukan. Pada 2012, Ibu Rahmah mulai mengajukan cerai gugat ke Pengadilan Agama Kabupaten Sampang. Ia mengurus sendiri semuanya di pengadilan. Tak ada yang mendampingi meski saudaranya dikenal sebagai pegawai kecamatan yang lebih paham prosedur hukum. “Sengko’ andhi’ colo’, dha’ gunana mon ta’eguna’agi (saya punya mulut, sia-sia jika tak digunakan),” kata Ibu Rahmah, anak keenam dari 9 bersaudara ini.

Rahmah berupaya mencari informasi ke siapa saja yang ia temui bagaimana cara mengurus perkara perceraian di pengadilan. Berbekal informasi dari seorang teman, ia mendatangi kantor Pengadilan Agama Kabupaten Sampang dan bertanya di setiap pintu loket pelayanan. Singkat cerita, usahanya berbuah madu. Akta cerai kini sudah di tangannya.

Ibu Rahmah sudah bisa tersenyum, lepas dari belenggu nestapa yang diderita. Ia merasa lebih bahagia sekarang.

Perintis Pekka di Sampang

Pada 2016, Ibu Rahmah bergabung menjadi anggota perempuan kepala keluarga (Pekka). Dua bulan berselang, ia dikirim ke Jakarta sebagai Promotor Pekka Perintis, suatu program pemberdayaan yang digagas Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).

Setelah mengikuti Pekka Perintis, Ibu Rahmah semakin percaya diri, Ia aktif membentuk kelompok Pekka dan terampil dalam mengorganisir kegiatan di masyarakat. Ia berharap Pekka Kabupaten Sampang semakin berkembang dan dapat menjalin kerjasama baik dengan pemerintah maupun pihak lain dalam program pemberdayaan perempuan di Kabupaten Sampang, Madura. []

 

Penulis adalah Staf Riset & Pengelolaan Pengetahuan Yayasan PEKKA, Alumni Kelas Menulis JalaStoria Angkatan III

 

Digiqole ad