Larangan Putusan Ultra Petita dalam Hukum Perdata
Secara normatif ultra petita dianggap bertentangan dengan asas hukum perdata di mana hakim bersifat pasif. Yang dimaksud dengan pasif bahwa hakim hanya boleh menggali, memutuskan apa yang dimintakan dalam petitum para pihak. Larangan ini diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Pasal 189 ayat (2) dan (3) Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg).
Asas ini juga diterapkan dalam perubahan Undang-undang Mahkamah Konstitusi. Pasal 45A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 menyatakan bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok Permohonan.”
Selain itu dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 tentang pemberlakuan rumusan rapat pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan Rumusan Hukum Kamar Agama melarang putusan ultra petita sekalipun dalam hal penetapan hak hadhonah. “Penetapan hak Hadhonah sepanjang tidak diajukan dalam gugatan/permohonan, maka Hakim tidak boleh menentukan secara ex officio siapa pengasuh anak tersebut”.
Putusan Ultra Petita dalam Konteks Perlindungan Anak di Kasus Perceraian
Selama ini banyak kritikan terhadap sikap hakim yang dianggap sebagai corong Undang-undang semata. Oleh karena itu, hakim diminta dapat menerapkan keadilan secara substantif dengan mempertimbangan ketimpangan gender dan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki ketika berhadapan dengan hukum.
Jika ditelusuri, Komitmen Mahkamah Agung Republik Indonesia berkaitan dengan perempuan dan anak secara eksplisit dituangkan dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 88/SK/KMA/V/2016 tanggal 16 Mei 2016 tentang pembentukan kelompok kerja untuk perempuan dan Anak. Melalui kelompok kerja ini diharapkan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai peradilan tertinggi memiliki kebijakan yang meningkatkan kemampuan peradilan dalam menangani masalah perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum. Untuk mendukung komitmen tersebut, berbagai pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan sensitivitas gender terus dilakukan. Diharapkan, para hakim memiliki kemampuan untuk memahami penanganan perkara perempuan dan anak secara tepat dan benar.
Berselang setahun kemudian, Mahkamah Agung pada tahun 2017 pun menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Melalui peraturan ini, diharapkan hakim yang menangani perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum tidak hanya menggali tentang fakta hukum semata, tetapi juga mampu menggali dan mengidentifikasi situasi perlakuan yang tidak setara sehingga mengakibatkan diskriminasi terhadap perempuan.
Jika merujuk pada ketentuan di atas, Putusan majelis hakim yang memutuskan Pemohon untuk menanggung biaya pemeliharaan anak yang dianggap sebagai putusan ultra petita merupakan upaya menafsirkan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan perlindungan perempuan sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 16 Perma 3 Tahun 2017 yang menyatakan Hakim dalam mengadili perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum di antaranya untuk melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan dari/ atau hukum tidak tertulis yang dapat menjamin Kesetaraan Gender dan mempertimbangkan penerapan konvensi dan perjanjian perjanjian internasional terkait Kesetaraan Gender yang telah diratifikasi. Hal ini dapat dipahami bahwa melalui pemahaman yang menyeluruh akan mampu memberikan keadilan. Profesor Satjipto Rahardjo pernah menyatakan pemahaman hukum secara legalistik positivis dan berbasis peraturan tidak mampu menangkap kebenaran.
Putusan itu dinilai sejalan juga dengan ketentuan Pasal 80 angka 4 huruf b dan c Kompilasi Hukum Islam (KHI) di mana biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan, biaya pendidikan bagi anak diwajibkan kepada suami. Kewajiban ini tetap melekat meskipun kedua orangtua sudah berpisah.
Selain itu, langkah hakim menetapkan biaya pemeliharaan anak justru merupakan langkah yang harus diambil oleh semua pihak -tanpa terkecuali Pengadilan Agama- dalam rangka mewujudkan perlindungan anak, menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Ketentuan ini memberikan ruang bagi hakim untuk melakukan langkah progresif dalam konteks perlindungan anak.
Selain itu dalam perkara perceraian, anak bukanlah subyek hukum yang harus memastikan sendiri pemenuhan hak terhadap dirinya. Hak anak untuk mendapatkan pemeliharaan dari ayahnya sebagaimana dimaksud oleh KHI tidak akan hilang meskipun ibunya tidak hadir. Justru langkah progresif majelis hakim dalam menginterpretasikan hukum dapat mencegah Pemohon melakukan penelantaran sebagaimana Pasal 77 Undang-undang Perlindungan Anak.
Batasan Ultra Petita
Sejak tahun 2011 Mahkamah Konstitusi yang awalnya dilarang melakukan putusan ultra petita telah direvisi melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 48/PUU-IX/2011 dan 49/PUU-IX/2011. Kedua Putusan itu secara normatif memperbolehkan MK untuk mengeluarkan putusan yang ultra petita meskipun secara terbatas.
Sayangnya Mahkamah Agung sendiri dalam menyusun kebijakan terkesan sektoral. Dengan kata lain, suatu kebijakan diterbitkan tanpa mengacu pada kebijakan sebelumnya. Hal ini sangat terlihat dari hasil rapat pleno Kamar Hukum Agama yang sama sekali tidak mengacu pada Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 88/SK/KMA/V/2016 dan Perma 3 Tahun 2017.
Putusan rapat pleno kamar Hukum Agama yang ditetapkan melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, menyatakan “Penetapan hak hadhonah sepanjang tidak diajukan dalam gugatan/permohonan, maka hakim tidak boleh menentukan seacra ex efficio siapa pengasuh anak tersebut. Penetapan hadhonah dan dwangsom tanpa tuntutan termasuk ultra petita”. Dengan berbagai kebijakan dan langkah yang diambil oleh Mahkamah Agung semestinya dapat diantisipasi agar tidak ada kesalahan-kesalahan dalam penanganan perkara perempuan dan anak, bukan sebaliknya.
Dian Puspitasari
Mahasiswa Magister Hukum Universitas Semarang, Direktur LRC-KJHAM Semarang tahun 2016 – 2018
(Bagian kedua dan terakhir dari penulis mengenai Putusan Ultra Petita, untuk membaca bagian pertama klik di sini)