Lah, Kok Nikah Siri! Pemerkosaan bukan Perzinaan
Kasus pemerkosaan yang diduga dialami dua perempuan di bawah umur oleh 13 orang tetangganya hingga hamil, mendominasi media pemberitaan dalam beberapa waktu terakhir. Kronologi kasus ini pun menyita perhatian publik. Bagaimana tidak? Penyelesaian melalui jalur damai antara korban dan pelaku adalah menikahkan salah satu terduga pelaku dengan korban secara siri, yang pada akhirnya korban beserta anaknya harus mengalami kekerasan dalam bentuk lain, yakni Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)
Dilansir dari Kompas.com DSA (15) dan kakaknya, KSH (17) yang berasal dari Kabupaten Purworejo Jawa Tengah diduga diperkosa selama setahun penuh bergantian, berulang-ulang hampir setiap bulan sejak tahun 2023. Tak sampai di situ, salah satu korban, DSA, dipaksa menikah siri dengan salah satu terduga pelaku karena DSA hamil.
DSA terpaksa menerima permintaan nikah siri tersebut karena diancam akan dikeluarkan dari desa oleh oknum perangkat desa yang menjadi mediator. Meski kasus ini pernah dilaporkan ke Polres Purworejo pada Juni 2024, namun belum ada perkembangan hingga kini.
Melalui kasus ini ada beberapa hal yang penting disorot:
Pemerkosaan bukan Perzinaan
Dalam beberapa kasus pemerkosaan termasuk kasus ini, praktik menikahkan pelaku dengan korban pemerkosaan seringkali dilakukan untuk menyelesaikan kasus. Hal ini dianggap sebagai bentuk pertanggung jawaban pelaku terhadap korban. Situasi yang tidak berpihak kepada korban membuat korban menerima tawaran pernikahan ini dengan beberapa risiko tertentu. Salah satunya, korban akan sulit menyembuhkan trauma psikologis karena akan sering bersama dengan pelaku. Pengambilan keputusan ini disebabkan karena masyarakat masih banyak yang menganggap pemerkosaan sama dengan perzinaan.
Pengertian zina dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP Pasal 284 adalah persetubuhan yang dilakukan laki-laki/perempuan yang telah kawin dengan perempuan/laki-laki yang bukan istri/suaminya. Dalam ayat berikutnya, pelaku perzinaan yang sudah terikat perkawinan sah yang dapat dipidana. Perzinaan mengandung makna bahwa persetubuhan dilakukan atas keinginan bersama, tidak ada paksaan atau kekerasan dari salah satu pihak.
Baca Juga: Jangan Anggap Sepele, Ini Tindak Kekerasan pada Perempuan yang Disebut KDRT
Sedangkan pemerkosaan, dalam dasar hukum yang sama pasal 285 KUHP berbunyi “barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana paling lama dua belas tahun”.
Berdasarkan pengertian di atas, pemerkosaan dan perzinaan adalah dua hal yang berbeda. Perzinaan dilakukan secara sadar oleh kedua belah pihak tanpa paksaan, ancaman dan kekerasan. Sementara pemerkosaan menggunakan paksaan, ancaman dan kekerasan kepada korban. Oleh karena itu, pelaku pemerkosaan juga terancam pidana penjara. Karena keduanya berbeda, maka penanganan kasus pun harus berbeda.
Benarkah menikahkan korban dengan pelaku dapat menyelesaikan masalah? Atau justru korban akan mengalami penderitaan yang lebih besar? Korban pemerkosaan kemungkinan mengalami gangguan stres pascatrauma atau Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). PTSD merupakan kondisi di mana seseorang mengalami kesulitan untuk pulih dari peristiwa yang menyakitkan atau mengerikan bagi dirinya. Menikahkan korban dengan pelaku akan memperparah kondisi ini karena korban akan terus mengenang peristiwa pemerkosaan yang dialaminya.
Baca Juga: Peduli pada Kasus KDRT, Hati-Hati Saat Menentukan Pelaku dan Korban
Korban akan mengalami penderitaan berkepenjangan dalam pernikahan yang tidak ia kehendaki. Di sisi lain, pernikahan siri yang tidak tercatat negara, membuat korban kesulitan mendapat perlindungan secara hukum. Sementara bagi pelaku, pernikahan ini menguntungkannya karena membebaskan pelaku dari jeratan hukum.
Cara untuk memberikan hak dan keadilan korban adalah dengan menghukum pelaku sesuai hukum yang berlaku dan membuat pelaku bertanggung jawab secara pidana. Pelaku pemerkosaan terancam pidana penjara paling lama dua belas tahun sesuai dengan Pasal 285 KUHP.
Menghukum pelaku sesuai perundang-undangan adalah tindakan keberpihakan kepada korban. Nikah siri bulankah solusi bagi korban pemerkosaan, justru pernikahan tersebut menjerumuskan korban dalam jurang penderitaan yang lebih dalam.
Korban Mengalami Kekerasan Berlapis
Dalam kasus ini, korban mengalami kekerasan berlapis. Pertama, kekerasan seksual berupa pemerkosaan/pemaksaan hubungan seksual. Kedua, korban mengalami kekerasan berbasis gender online (KBGO) berupa ancaman penyebaran video intim non-konsensual yang mengintimidasi korban untuk melakukan hal-hal yang tidak ia inginkan, dalam kasus ini korban diminta menuruti permintaan pelaku. Korban diancam dengan rekaman video saat diperkosa.
Ketiga, kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Akibat dari tindak pemerkosaan, korban mengalami KTD yang dapat menganggu kesehatan mental dan reproduksi, mengingat korban masih di bawah umur. Keempat, pemaksaan pernikahan. Korban terpaksa menikah dengan salah satu terduga pelaku karena diancam akan dikeluarkan dari desa. Adapun pernikahan yang ditawarkan adalah pernikahan siri yang tidak tercatat dan tidak dilindungi hukum negara.
Baca Juga: Mengenal Jenis-Jenis Kekerasan yang Dialami Perempuan dalam UU PKDRT
Pernikahan yang tidak diinginkan tersebut, membawa korban pada penderitaan selanjutnya yakni kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jenis KDRT yang dialami oleh korban adalah penelantaran rumah tangga, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Korban dan bayinya tidak mendapatkan nafkah dari pelaku, artinya pelaku lalai atas tanggungjawabnya.
Dari kasus ini, bisa dicerna bahwa menikahkan secara siri yang dimaksudkan sebagai jalan damai antara korban dan pelaku, tidak memberikan dampak positif apapun, melainkan justru menyebabkan malapetaka kepada korban. Seharusnya pelaku kekerasan seksual, dalam hal ini pemerkosaan, bisa dihukum seadil-adilnya sesuai ancaman pidana yang berlaku. Korban harus mendapat dukungan sehingga mendapat kekuatan untuk pulih dan mendapatkan hak-haknya.
Uswatun Hasanah, perempuan cendekia yang akrab disapa uung