Kutulis Sepenggal Ingatan Tentang RUU PKS – RUU TPKS dan Kini menjadi UU TPKS

 Kutulis Sepenggal Ingatan Tentang RUU PKS – RUU TPKS dan Kini menjadi UU TPKS

(Jalastoria.id)

Oleh: Ninik Rahayu

 

Alhamdulillah, dengan mengucup syukur ke hadirat Allah, Tuhan Yang Maha Esa,  pada Selasa, 12 April 2022, bangsa Indonesia layak bersuka cita atas disahkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Undang-undang ini cukup komprehensif mengatur tentang pemidanaan, pencegahan, pemulihan, tindak pidana, pemantauan, dan hukum acara.

Upaya mendekatkan akses keadilan bagi korban kekerasan seksual terlihat dari  pengaturan layanan “satu atap” dimulai sejak pelaporan, pendampingan, pemeriksaan hukum, pemulihan, dan pemenuhan hak-hak korban, termasuk restitusi. Upaya mencegah ketidakberulangan juga nampak dari pengaturan tentang tidak diperbolehkannya penyelesaikan kasus kekerasan seksual melalui perdamaian dengan pelaku, kecuali kasus anak. Di samping itu, terhadap pelaku ada rehabilitasi berupa tindakan korektif. Implementasi undang-undang ini melibatkan hampir seluruh pemangku kepentingan, antara lain pemerintah, Aparat  Penegak Hukum (APH), dan masyarakat terkecil yaitu peran keluarga dan lembaga masyarakat.

Baca Juga: Jaringan Perempuan Dorong Pemerintah Segera Terbitkan PP dan Perpres untuk UU TPKS

Masih teringat perdebatan seru dengan APH di Nusa Tenggara Timur tahun 2014 ketika hendak merumuskan norma hukum bentuk kekerasan seksual. Secara faktual Komnas Perempuan menemukan 15 bentuk kekerasan seksual saat hendak mempersiapkan bahan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Seksual dengan Tema Kenali dan Tangani. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana menormakan bentuk-bentuk ini? Konsultasi dengan APH, lalu dilanjutkan dengan akademisi, lembaga penyedia layanan, dan Kementerian/Lembaga dijalin kuat. Bahkan sampai saya sudah bertugas sebagai Anggota Ombudsman RI tahun 2016.

Pada saat yang bersamaan terminologi kekerasan seksual terus dikampanyekan, antara lain saat kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan 25 November – 10 Desember. Ini untuk mengajak masyarakat dan stakeholders memahami pentingnya perubahan paradigma berpikir soal tindak kejahatan serius ini dari hanya persoalan kesusilaan. Mengajak mereka menerima fakta-fakta bahwa kekerasan seksual itu dapat terjadi di mana saja. Di kantor, di rumah, di tempat kerja, termasuk di sekolah, pondok pesantran, sekolah berbasis agama lainnya, juga di lingkungan perguruan tinggi.

Tidak sekedar cerita, kasus-kasus yang sedang terjadi menjadi bukti karena menjadi perbincangan di media. Kasus-kasus lama dampingan lembaga penyedia layanan juga dibuka untuk disimulasikan. Siapa saja yg melakukan kerja-kerja tersebut? Tentu sulit menyebut satu persatu nama, karena banyaknya pihak yang terlibat. Meski tidak sedikit ada ketegangan saat mendiskusikannya. Tapi karena punya satu tujuan yaitu mencari norma hukum yang dapat mendekatkan akses keadilan bagi korban dan mencegah keberulangan, maka siapapun yang konsen pada isu ini dengan terbuka bergandengan tangan. Ada Komnas Perempuan, juga keterlibatan kalangan kawan-kawan pendamping, NGO (Non-Governmental Organization), akademisi, Anggota DPR RI, Anggota DPD RI, agamawan, tokoh masyarakat, juga APH.

Baca Juga: Mengawal RUU TPKS Pro Korban

RUU Prolegnas Prioritas

Saat menggetarkan adalah peran perempuan Anggota DPR RI yang mengajukan dirinya menjadi isinisator RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) sebagai RUU Prolegnas Prioritas pada pertengahan tahun 2016. Dalam catatan Badan Legislasi DPR RI, RUU ini diusulkan oleh tiga Anggota lintas fraksi, yaitu Mbak Rieke Diah Pitaloka (FPDI Perjuangan), Mbak Nihayatul (Ninik) Wafiroh (FPKB), dan Mbak  Ammy Amalia (FPAN). Ini juga tidak terlepas dari peran mbak Ammy Amalia, yang saat itu juga menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal KPP-RI, yang mengajukan RUU ini untuk masuk dalam Prolegnas Tambahan dalam rapat bersama antara DPR RI, DPD RI, dan Pemerintah di bulan Januari 2016. Terimakasih sekali Mbak-mbakku, tanpa mempedulikan banyak ungkapan tentang RUU ini, baik yang pro maupun yang kontra, Mbak-mbak sekalian telah memberikan legacy untuk pertamakali naskah ini menjadi RUU, sekaligus amunisi bagi kawan-kawan gerakan untuk tak lelah menguatkan jaringan kerja kolaboratifnya sampai disahkan menjadi UU. Mengapa penting?

Dalam pandangan saya, tahap ini menjadi tahap yang sungguh sangat  penting. Sebab hanya ada 2 peluang dalam penyusunan UU, yaitu sebagai RUU Inisiatif DPR RI atau usulan pemerintah. Para srikandi senayan inilah yang dengan tangan terbuka menerima dengan sigap, ketika rumusan-rumusan tersebut didialogkan dengan Anggota Legislatif.

Baca Juga: Pengaturan Norma dalam RUU TPKS Mengenai Restitusi Berpotensi Tidak Implementatif

Proses-proses ini juga tidak pernah lepas dari berbagai dialog yang dilakukan melalui KPP-RI yang digawangi Ibu Ratu Hemas sebagai Ketua Presidium. Termasuk dukungan dalam proses penyusunan RUU P-KS oleh DPD RI pada tahun 2016.

Sebagai RUU yang diusulkan oleh Anggota DPR, selanjutnya dilakukan harmonisasi oleh Baleg DPR RI. Baleg kemudian menetapkan RUU P-KS pada 31 Januari 2017 sebagai RUU yang akan diajukan ke paripurna DPR RI sebagai RUU Inisiatif DPR.

Setelah RUU P-KS ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR dalam paripurna Maret 2017, DPR RI menugaskan Komisi VIII untuk melakukan pembahasan. Dalam periode ini, Mbak Diah Pitaloka (FPDI Perjuangan) dan Mbak Rahayu Saraswati (FPGerindra) bahu membahu mengawal di dalam parlemen, termasuk sampai dengan hari-hari terakhir pembahasan RUU ini di September 2019.

Baca Juga: Pentingnya Partisipasi Publik untuk RUU TPKS

Kembali sebagai RUU Prolegnas Prioritas

Kala ditetapkan sebagai RUU Prolegnas Prioritas, asa terus dipupuk. Meski kami semua harus menerima dengan semangat ketika RUU P-KS tak kunjung dibahas. Apakah kami semua kecewa? Sudahlah jangan ditanya jawabannya, kami kecewa. Ekspresi kekecewaan sangat beragam bila digambarkan. Pompa semangat kerja kolaboratif banyak diupayakan oleh para tokoh, dan kalau ditulis tidak mampu menampung semuanya, antara lain oleh Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI), kak Lena Maryana Mukti yang saat ini menjadi Dubes di Kuwait. Beliau sangat mampu bagaimana cara mengelola kekuatan dan mengkomunikasikannya dengan baik. Menjadikan buih kekecewaan menjadi semangat.

Di sisi lain, menurut saya tetap banyak hikmah, setidaknya dalam pandangan saya, ada waktu yang lumayan panjang mengunyak-ngunyak dan memahamkan permasalahan kekerasan seksual dengan segala dimensinya bagi segenap masyarakat Indonesia yang kondisinya sangat beragam. Hasil yang sangat nampak dan dapat kita rasakan adalah semakin meluasnya dukungan publik pada upaya mensegerakan pengesahan RUU ini. Maka gelombang besar terlihat ketika RUU ini -yang kembali masuk Prolegnas 2020-2024 atas usulan Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi PKB, dan Fraksi Nasdem- sempat tertunda dan tidak dibahas meski masuk dalam RUU Prolegnas Prioritas di tahun 2020.

Baca Juga: Berharap pada Prolegnas Prioritas 2020

Penghujung tahun 2021, gema doa para santri dan jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), koalisi masyarakat sipil dari berbagai pelosok, juga doa dari para agamawan lintas Iman, dan aksi publik hampir menyeluruh se-Indonesia didengar pemerintah. Terlihat bahwa berbagai aktivitas dan doa berujung pada statemen terbuka Bapak Presiden di awal  tahun 2022, yang pada prinsipnya RUU ini penting untuk disegerakan. Bak gayung bersambut, meski sudah hampir setahun pemerintah juga telah membentuk Gugus Tugas di Kantor Staf Presiden, pernyataan Presiden Jokowi ini juga menjadi momen penting pada proses legislasi ini. Berselang kurang dua minggu kemudian, Ibu Ketua DPRI RI memimpin Rapat Paripurna DPR RI yang menetapkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai RUU Inisiatif DPR RI pada 18 Januari 2022 dengan naskah terbaru dan diserahkan kepada pemerintah.

Tetap dag dig dug, khawatir kalau tidak dibahas pada masa sidang. Ternyata tidak. Pemerintah ngebut merampungkan DIMnya, apalagi sudah pernah dibahas rutin dengan APH oleh Gugus Tugas. Di penghujung penyerahan DIM, Pemerintah mengundang masyarakat sipil untuk memberikan masukan. Meski sampai akhir bulan Maret saat pemerintah menyerahkan DIM ke DPR, masyarakat sipil belum mendapatkan naskah DIM tersebut. Kami tidak tinggal diam, kami terus membaca, menguji, mensimulasikan RUU versi draf Desember 2021 yang diserahkan ke Pemerintah pada penetapan 8 Januari 2022.

Baca Juga: Menyoal 5 Bentuk Kekerasan Seksual yang Tidak Dimuat dalam RUU TPKS

Seminggu Menegangkan

Menjelang pembahasan setelah pembukaan masa sidang bulan Maret, hampir 2 minggu koalisi masyarakat sipil merapikan DIM, membuat leaflet, factsheet, dan bahan loby. Tidak hanya di situ, koalisi masyarakat sipil baik secara pribadi maupun institusi masing-masing terus berkomunikasi baik dengan Anggota Legislatif maupun Tenaga Ahli Fraksi dan Anggota, hal yang sama persis yang telah dilakukan pada masa 2021.

Dan taraaaa, ketika sidang dibuka mulai hari Senin  (28/03/2022), kami dari koalisi masyarakat sipil barulah menerima DIM dari pemerintah. Tak ayal, kami pun dibuat tergopoh-gopoh mengharmonisasikan kembali masukan atas DIM yang telah disusun terhadap naskah RUU dari DPR.

Lelah? Pasti. Tapi semangat yang luar biasa dan kerja kolaboratif dalam pengawalan RUU ini tidak dapat disangkal. Betapa tidak, masukan-masukan terus dikomunikasikan, antara lain melalui Anggota Panja RUU yang saat itu hadir bersidang seperti Mbak My Esti Wijayanti, Mbak Riezky Aprilia, dan Mbak Sondang Tampubolon (FPDI Perjuangan), Mbak Christina Aryani dan Pak Supriansa (FPGolkar), Pak Hendrik, dan Pak Sodiq (FPGerindra), Mbak Luluk Nur Hamidah (FPKB), Mas Taufik Basari dan Mbak Lisda Hendrajoni (FPNasdem), Pak Santoso (Demokrat), Mbak Desi Ratnasari (FPAN), Mbak Illiza Saaduddin (FPPP), dan lainnya yang saya lupa namanya terus kami lakukan baik di gedung DPR RI (kami disebut fraksi balkon) maupun dari rumah (fraksi isoman). Sebelum dan setelah sidang menjadi momen penting bagi kawan-kawan yang hadir langsung, sebab saat itulah harapan-harapan disampaikan. Demikian juga Bu Menteri Bintang dan Pak Wamenkumham yang terbuka menerima masukan. Meski harus kami akui tidak semua yang diharapkan terakomodasi.

Waktu yang terbatas membuat pembahasan nampak ada saja yang tertinggal. Secara substantif masih menyisakan norma penting yang belum terakomodasi, misalnya pengaturan perkosaan dan pemaksaan aborsi.

Baca Juga: Pimpinan Dewan Yang Terhormat, Berikut Usulan Kami untuk RUU TPKS

Meski ada 1 fraksi yg menolak RUU TPKS dan fraksi lainnya mendukung penuh dan/atau memberi catatan, tapi, semua fraksi pada intinya mengutuk tindak kejahatan kekerasan seksual. lagi lagi taraaaa, pada  Tanggal 6 April 2022 kerja kolaboratif antara Legislatif, Pemerintah  dan koalisi masyarakat sipil naskah RUU TPKS telah disetujui pada pembicaraan Tingkat I yang kemudian akan dilanjutkan pada Pembicaraan Tingkat II untuk disahkan pada Sidang Paripurna DPR RI. Sebagai bagian dari masyarakat sipil, kelompok ini memang tidak mendapatkan secara resmi naskah DIM.  Ya iyalah ya, tapi atas kerja kolaboratif kami mendapat naskah akhir yang ditetapkan.  Kami mencatat, secara keseluruhan DIM RUU TPKS, meliputi XII BAB, 81 Pasal, dalam Pembicaraan Tingkat I, telah disetujui RUU TPKS meliputi XII BAB, 93 Pasal.

Apa yang baru bila ditengok dari dari sisi proses dan substansi RUU ini dibandingkan pengaturan delik kesusilaan di KUHP, maupun tindak pidana khusus di UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, UU PTPPO, UU Penyadang Disabilitas, dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak? Menurut saya kerja kolaboratif  atas RUU TPKS prosesnya dapat dijadikan contoh yang baik dalam proses legislasi (meski tidak semua UU eksisting di atas saya terlibat sebelumnya). Bagaimana tidak, selama kurang lebih satu minggu pembahasan, ada norma-norma baru yang pada akhirnya disepakati di luar RUU Inisiatif DPR RI dan DIM yang diusulkan Pemerintah. Yaitu ada 3 tambahan norma baru, sehingga menjadi 9 norma TPKS, yaitu pelecehan seksual non fisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

Baca Juga: Menyoal ‘Dihilangkannya’ Partisipasi Publik dalam Pembentukan RUU TPKS

Sembilan bentuk TPKS itu diatur dalam Pasal 4 ayat (1). Selain itu, berdasarkan Pasal 4 ayat (2) TPKS juga meliputi antara lain: perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap Anak; pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Ini merupakan pasal bridging dengan KUHP dan UU lainnya.

Sampai mencapai titik ini, prosesnya saling berjibaku. Adu argumentasi seru sih, meski tidak sempat dilakukan simulasi kasusnya. Mungkin itulah yang juga menjadi sebab lepasnya 2 norma usulan koalisi masyarakat sipil, yaitu pasal perkosaan dan pemaksaan aborsi karena tidak sempat dikunyah-kunyah, sekaligus karena politik hukum kodifikasi hukum pidana yang memang ingin memasukkan pengaturan kedua norma tersebut di RUU KUHP. Meski cukup kuat argumentasi tentang sangat pentingnya dua norma diakomodasi pada undang-udang khusus ini, tetapi apa boleh buat jika pada akhirnya pentingnya pengaturan perkosaan dan pemaksaan aborsi sebagai bentuk kekerasan seksual harus tertunda di KUHP. Berharap upaya Pemerintah melalui Ibu Menteri Bintang dan Pak Wamenkumham, akan memperjuangkan pengaturan kedua bentuk kekerasan seksual tersebut diatur dalam RKUHP, dengan tetap meletakkan pola relasi kuasa sebagai akar persoalan kekerasan seksual ini, yang tak kalah penting adalah cara kerja kolaboratif.

Baca Juga: Cerita Korban Perkosaan dan KDRT yang Terancam Pidana

Pembaruan Hukum Acara

RUU TPKS ini juga dapat disebut sebagai  tonggak pembaruan hukum acara, terutama keberpihakan bagi “korban”. Baik  sebelum, selama dan setelah proses hukum, misalnya ada pendampingan sebelum proses hukum, kemudahan pelaporan yang tidak mengharuskan korban yang melapor, boleh pelaporan dilakukan pendamping. Jika korban pada akhirnya memutuskan berproses hukum, terlihat pada pengaturan pelayanan terpadu “satu atap” yang siap membantu. Pelayanan terpadu dilakukan secara komprehensif oleh Pemerintah, penegak hukum dan layanan berbasis masyarakat. Lagi-lagi pengaturan layanan terpadu ini ditujukan untuk kepentingan korban, agar korban tidak lagi berlama-lama berproses hukum sekaligus sebagai upaya mencegah terjadinya reviktimisasi pada korban. Di sinilah makna pentingnya kerja “satu atap”. Bagaimana bentuk kerjanya? Yaitu adanya kerja koordinasi antara penyidik dengan pendamping di mana hasil koordinasi dimaksud dapat dijadikan dasar penyidikan. Dan saat korban mengalami trauma berat penyidik dapat menyampaikan pertanyaan melalui pendamping.

Pengaturan lain yang super ciamik adalah adanya perluasan alat bukti, barang bukti menjadi alat bukti. Masih terkait proses hukum, antara lain ada pengaturan tentang kesaksian melalui perekaman elektronik. Alat bukti surat meliputi surat keterangan psikologi klinis/psikiater. Ketentuan ini tidak terdapat di hukum acara pidana maupun di hukum pidana khusus lainnya. Juga ada terobosan yang luar biasa di dalam RUU ini, terkait tentang partisipasi masyarakat dalam pencegahan, pendampingan, pemulihan, dan pemantauan terhadap TPKS, serta partisipasi keluarga dalam pencegahan TPKS. Juga fungsi pemantauan yang akan dikawal Komnas Perempuan, KPAI, Komnas Disabilitas, dan Komnas HAM.

Baca Juga: Jaringan Perempuan Dorong Pemerintah Segera Terbitkan PP dan Perpres untuk UU TPKS

Tulisan ini hanya sekedar pembuka, betapa menuliskan setiap tahapan advokasi penting dilakukan sebagai pembelajaran untuk advokasi legislasi ke depan. Dalam advokasi RUU ini, ada banyak pihak yang terlibat dan mengawal di berbagai tingkatan. Dari aspek masyarakat sipil, ada yang bergerak dalam penyiapan substansi advokasi, lobby, kampanye, penggalangan dukungan masyarakat dari berbagai kalangan, termasuk counter narasi atas hoaks dan stigma yang dituduhkan terhadap RUU ini. Dari aspek Pemerintah dan DPR RI, masing-masing bekerja sesuai tugas dan fungsi yang diemban, di mana DPR RI menyelesaikan penyusunan RUU TPKS sehingga disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR dan Pemerintah menyusun DIM untuk selanjutnya dilakukan pembahasan antara Pemerintah dan DPR RI. Ini juga proses yang tidak mudah, sebagaimana dapat dilihat dalam dinamika sepanjang 2021 di Baleg DPR RI.

Demikian pula dengan Anggota DPR RI, baik yang hadir dan menyuarakan masukan untuk penyempurnaan RUU, maupun yang bergerak mengonsolidasikan sesama Anggota  dan membangun komunikasi lintas fraksi sehingga pembahasan berlangsung dengan kondusif. Secara khusus, ini tidak terlepas dari peran KPP-RI di bawah kepemimpinan Mbak Diah Pitaloka selaku Ketua Presidium periode ini.

Kolaborasi

Jalinan kolaborasi sangat terlihat dalam sidang paripurna DPR RI, Selasa, 12 April 2022. Meski “fraksi balkon” bukan fraksi resmi, hanya sebutan bagi kami yang antusias menyaksikan detik-detik disahkannya undang-undang ini. Ketua DPR RI Ibu Dr. (HC) Puan Maharani, berkali kali menyampaikan ucapan terimakasih atas keterlibatan koalisi masyarakat sipil yang terus membersamai proses penyusunan dan pembahasan sampai dengan pengesahan UU ini. Demikian pula Ibu Menteri Pemberdayaan dan Perlidungan Anak Indonesia, Ibu I Gusti Ayu Bintang Darmawati yang juga menyampaikan hal yang sama.

Proses pembahasan RUU TPKS pada akhirnya menunjukkan betapa banyak diperlukan kerja sinergi dan kolaborasi dalam advokasi proses legislasi RUU ini yang sedari awal dimaksudkan untuk melindungi korban kekerasan seksual. Banyak sekali nama yg belum saya sebut di tulisan ini, padahal juga punya peran yang sangat kuat….mohon dimaafkan….semoga bisa saya segera lanjutkan lagi tulisannya.

 

Direktur JalaStoria

Digiqole ad