Kisah Penyintas dengan Kebungkamannya

 Kisah Penyintas dengan Kebungkamannya

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Oleh: Iftitahur Rohmah

Sebagai manusia, pelecehan seksual merupakan kejadian yang menyakitkan. Tidak hanya perempuan yang mengalami pelecehan, laki-laki juga pernah mengalaminya, meskipun minim. Ini berarti memang kebanyakan perempuan yang menjadi korban. Perempuan rentan mengalami pelecehan karena ia masih memiliki stigma bahwa perempuan itu lemah. Manakala terjadi kasus pelecehan seksual, sasaran empuknya adalah perempuan. Seperti halnya yang terjadi pada orang terdekatku.

Tulisan ini bukan dalam rangka meminta belas kasihan karena temanku agaknya sudah mampu berdamai dengan versi dirinya yang terbaru.

Teman perempuanku di kampung bercerita soal bagaimana ia bertahan bertahun-tahun atas apa yang ia alami. Cukup sesak ketika temanku menceritakan semuanya. Ia tumbuh dewasa dengan menyimpan segala yang perih sendiri. Hal itu dikarenakan di desa tempatku tinggal, pengetahuan soal gender, feminisme, kekerasan seksual adalah hal yang jarang sekali dibicarakan. Itulah yang membuat temanku tidak tahu harus berbagi cerita kepada siapa.

Awal mula temanku memberanikan diri untuk bercerita tentang pelecehan seksual yang ia alami  saat aku membuat story dari buku tentang feminisme. Saat itu temanku bertanya, “Apa gunanya kamu membaca buku seperti ini? Apakah ada manfaatnya dengan jurusanmu?” Aku agak terbata-bata untuk membalas pertanyaannya. Waktu itu aku sangat takut untuk menjelaskan perihal buku yang sedang kubaca karena sebetulnya aku bingung harus menjelaskan dari mana.

Baca Juga: Ketika Korban KDRT Tidak Mau Melaporkan Pelaku

Setelah beberapa waktu kami bercerita atas kondisi masing-masing. Aku di perantauan sedangkan temanku tetap masih di desa. Yang ia ceritakan pertama kali denganku adalah ia pernah memiliki masa yang suram dengan pacarnya. Pada waktu kejadian saat masih SMP di mana kami masih bermain-main dan mengalami masa-masa cinta monyet. Ia bercerita tentang bagaimana ia dicium paksa oleh pacarnya dan berbuat tidak menyenangkan. Aku tidak bisa menceritakan secara detail karena aku gugup untuk menulis. Tanganku gemetar. Nafasku sesak.

Ketika temanku menceritakan semuanya dan tanpa ada satu hal yang ditutupi, aku hanya bisa bilang tentang maafku yang tidak mampu mendampingi saat ia membutuhkan orang-orang di sekitarnya. Kala itu temanku hanya bisa pasrah karena ia tidak tahu kalau kejadian yang dialaminya adalah bentuk pelecehan seksual.

Pelecehan seksual menurut Komnas Perempuan adalah tindakan seksual baik melalui kontak fisik maupun non fisik. Tindakan ini dibarengi dengan rasa tidak nyaman dan merasa direndahkan yang mengakibatkan gangguan kesehatan mental. Sekarang aku mau bertanya. Kalau kamu merespon sedikit cerita ini dengan jawaban kenapa temanmu tidak menolak? Ada dua hal yang melatarbelakangi para korban tidak berani menolak saat kejadian. Pertama ia tidak tahu harus melakukan apa saat kejadian. Kedua, ia takut speak up karena takut disalahkan atas kejadian itu.

Stigma perempuan yang mengalami pelecehan seksual masih banyak dan langgeng di masyarakat. Ketika kejadian seperti ini terjadi, sebagian masyarakat malah menyalahkan korban atas pakaian yang dikenakan. Lantas, bagaimana dengan pelecehan yang terjadi saat korban memakai baju tertutup? Hal yang harus dilakukan adalah adil sejak dalam pikiran. Tidak semena-mena membuat argumen seakan-akan salah korban.

Baca Juga: Pacarku yang Agamis, Ternyata Pelaku Pelecehan

Sikap diam yang dilakukan temanku itu lantaran ia takut akan direndahkan dan dijadikan sasaran pelecehan seksual selanjutnya. Hal ini juga dilatarbelakangi karena ketika terjadi pelecehan, penyintas merasakan kebingungan atas apa yang menimpanya.

Dampak pelecehan seksual memang berbeda-beda dan perasaan yang dimiliki para korban adalah valid. Yang jelas, saat temanku mengalami pelecehan seksual, semangat belajarnya menurun. Ini termasuk dampak psikologis yang dialami oleh penyintas. Bayangkan, setiap hari yang dilalui penyintas adalah soal bagaimana bertahun-tahun ia bertahan atas kepahitan yang dialami.

Selain soal psikologis, ketakutan ketika speak up adalah penyintas akan disalahkan atas kejadian yang ia alami. Di sini aku menyadari bahwa penyintas pelecehan seksual sangat banyak dan ketakutan untuk bicara merupakan salah satu hal yang membuat pelecehan seksual tidak dapat terdeteksi. Data-data yang terdapat di Komnas Perempuan, Lembaga perempuan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), mungkin itu hanya sebagian fenomena pelecehan yang dilaporkan. Masih banyak tentunya yang tidak dilaporkan. []

 

Perempuan biasa, dengan cita-cita luar biasa 

Digiqole ad