Kekerasan Seksual di Lingkungan Kerja adalah Ancaman Nyata bagi Perempuan
Beberapa waktu lalu, muncul pengakuan seorang buruh perempuan di sebuah perusahaan di Cikarang, diminta staycation oleh atasannya sebagai syarat perpenjangan masa kontrak kerja. Menurut Cambridge Dictionary, staycation memiliki arti sebagai liburan yang dilakukan di rumah atau di dekat rumah, daripada bepergian ke tempat lain. Kata tersebut diterjemahkan secara bebas oleh masyarakat sebagai kegiatan berlibur dan bertempat tinggal sementara di suatu tempat. Dalam beberapa momen, staycation sering dilakukan oleh sepasang kekasih, teman, atau keluarga. Atas perlakuan dari atasannya tersebut, buruh perempuan berinisial AD lantas melaporkan terduga pelaku ke Polres Metro Bekasi atas sangkaan Pasal 5 dan/atau 6 UU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual juncto Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.
Kasus ajakan staycation yang mengarah pada tindakan pelecehan seksual oleh atasan ini bukan pertama kalinya. Penelitian yang dilakukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Perempuan Mahardhika pada 2017 menemukan setidaknya ada sembilan kasus buruh yang diajak kencan dan berorientasi seksual oleh atasan perusahaan di Kawasan Berikat Nusantara. Namun kasus-kasus itu tidak ada yang diadvokasi karena para korban takut kehilangan pekerjaan.
Baca Juga: Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Politik
Sebanyak 437 buruh perempuan di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) mengaku pernah menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual. Dari angka itu, 358 orang menyatakan pernah mengalami pelecehan verbal dan 331 lainnya mengalami pelecehan seksual fisik. Penyebab adanya kekerasan dan pelecehan seksual karena adanya relasi kuasa yang timpang.
Australian Human Rights Commission menyebutkan pelecehan seksual di tempat kerja merupakan segala tindakan termasuk dalam lingkungan kerja dan budaya tempat kerja yang bersinggungan dengan perilaku menyimpang seksual dan melanggar hukum. International Labour Organization (ILO) melakukan survei bersama dengan Never Okay Project, sebuah organisasi yang menangani pelecehan seksual di tempat kerja, tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja 2022. Survei ini mencakup total 1.173 responden di seluruh Indonesia dan dilakukan secara daring selama satu bulan dari 12 Agustus hingga 13 September 2022.
Hasil survei tersebut mengungkapkan bahwa 69,35 persen responden pernah mengalami lebih dari satu jenis kekerasan dan pelecehan di tempat kerja dengan kekerasan dan pelecehan psikologis sebagai bentuk yang paling sering dialami oleh para korban (77,40%), diikuti kekerasan dan pelecehan seksual (50,48%). Laporan tersebut juga mengungkapkan fakta lain bahwa perempuan dan penyandang disabilitas lebih rentan terhadap kekerasan dan pelecehan. Hal ini juga senada dengan data SIMFONI, perempuan menduduki angka tertinggi korban kekerasan. Selama tahun 2022, terdapat 27.589 jumlah kasus kekerasan, terdiri dari 4.634 korban laki-laki dan 25.050 korban perempuan.
Baca Juga: Kisah Perubahan tentang Kekerasan Seksual di Sektor Pariwisata (Bagian 2)
Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan, terutama dalam dunia kerja, dikhawatirkan dapat menurunkan efektivitas tenaga kerja perempuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi negara. Mengingat masih terdapat kesenjangan partisipasi kerja perempuan di Indonesia yang cukup tinggi yakni 19%. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angkatan kerja perempuan Indonesia berada pada angka 53%, angkatan kerja laki-laki mencapai angka 82%.
Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh buruh perempuan dalam kasus di atas dan pada kasus-kasus sebelumnya yang telah banyak menyita perhatian publik, Menteri Ketenagakerjaan mewajibkan pengusaha untuk membuat Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Ketentuan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja, yang diteken 29 Mei 2023.
Dalam keputusan Kemnaker tersebut terdapat 3 hal yang dapat disoroti, di antaranya:
- Bentuk Komitmen Negara
Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja adalah wujud komitmen pemerintah untuk memberikan hidup aman kepada warganegara. Selain itu, keputusan tersebut juga merupakan upaya untuk mendukung implementasi menyeluruh dari UU No 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Baca Juga: Pemidanaan Korporasi sebagai Pelaku Kekerasan Seksual, Bisakah?
- Terdapat Sanksi Kepada Pelaku
Sanksi tersebut antara lain mulai dari pemberian surat peringatan (SP), pemindahan penugasan ke unit kerja lain, pengurangan atau bahkan menghapus sebagian atau keseluruhan dari kewenangannya di perusahaan, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).
- Membentuk Kanal Pengaduan
Selain membentuk satgas, Kemnaker juga mendorong pengusaha membentuk satu kanal pengaduan demi memastikan para korban terjaga kerahasiaanya. Kanal ini dapat membuat para korban yang ingin melapor jauh dari rasa takut serta malu yang kebanyakan menghantui para korban kekerasan seksual.
Kekerasan seksual di lingkungan kerja adalah ancaman nyata bagi perempuan. Oleh karenanya, mulai dari tindakan pencegahan, penanganan, hingga pemulihan harus ditangani secara serius dan berdasar pada hukum yang ada. Dengan demikian, perempuan dapat hidup aman dan berdaya, serta dapat berkontribusi tinggi untuk meningkatkan perekonomian negara. [Uung Hasanah]