Kekerasan dalam Rumah Tangga Bukan Mitos
Kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
UU PKDRT merupakan hasil perjuangan perempuan dari berbagai elemen selama 7 tahun, yang dirancang mulai tahun 1998 dan disahkan pada 22 September 2004. Undang-undang ini juga meniadakan jurang pemisah antara kekerasan yang terjadi dalam lingkup publik dan privat. Selama ini Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dianggap sebagai urusan pribadi dan orang lain tidak berhak ikut campur. Namun, dengan adanya UU PKDRT pandangan itu tidak lagi berlaku. Sederhananya, di manapun tempatnya jika ada orang yang meminta pertolongan, sekalipun berada di rumahnya sendiri, maka pintu harus didobrak. Sejatinya penghapusan kekerasan dalam bentuk apapun adalah tanggung jawab bersama.
Adapun bentuk-bentuk kekerasan yang dimaksud dalam UU PKDRT meliputi kekerasan fisik, psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Meski undang-undang ini sering dimaknai sempit hanya untuk melindungi perempuan, nyatanya pihak yang mendapat akses perlindungan meliputi suami, istri, dan anak; orang-orang yang memiliki hubungan keluarga baik karena darah, perkawinan persusuan, pengasuhan dan yang menetap dalam rumah tangga (UU PKDRT Pasal 2).
Pelaku ataupun korban adalah orang-orang yang memiliki relasi sangat dekat dan tidak pandang bulu. Pelaku atau korbannya bisa jadi laki-laki, bisa pula perempuan. Meski secara dominan korban KDRT adalah perempuan. Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2020 mencatat berdasarkan jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus.
Baca Juga: Ketika Korban KDRT Tidak Mau Melaporkan Pelaku
Catahu Komnas Perempuan 2008 mencatat UU PKDRT memberi pengaruh terhadap peningkatan angka pelaporan kasus KDRT, sampai dengan 5 kali lipat. Sebelum ada UU PKDRT yaitu dalam rentang 2001-2004 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 9.662 kasus. Sejak diberlakukannya UU PKDRT tahun 2005-2007, terhimpun sebanyak 53.704 kasus. Adanya jaminan hukum memberi kepercayaan pada korban kekerasan, yang sebelumnya dikategorikan sebagai urusan pribadi menjadi urusan publik.
Sementara itu, berdasarkan Catahu Komnas Perempuan 2021, dari tahun ke tahun menunjukkan dalam kurun waktu 13 tahun terakhir, tahun 2020 angka kekerasan terhadap perempuan mengalami penurunan sekitar 31,5% dari tahun sebelumnya. Tahun 2019 ada 431.471 kasus yang dilaporkan, sementara di tahun berikutnya 2021 terdapat 299.911 kasus.
Penurunan angka pelaporan bukan berarti menurunnya kasus KDRT yang dialami perempuan. Survei dinamika kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi mengidentifikasi penurunan jumlah kasus dikarenakan empat hal. Pertama, korban dekat dengan pelaku selama masa pandemi terutama dengan diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kedua, korban cenderung mengaku pada keluarga atau diam. Ketiga, persoalan literasi teknologi. Keempat, model layanan pengaduan yang belum siap dengan kondisi pandemi (belum beradaptasi mengubah pengaduan menjadi online).
Berdasarkan data SIMFONI-PPA, , sebanyak 25.050 perempuan menjadi korban kekerasan di Indonesia sepanjang 2022. Di antaranya sebanyak 67,45% merupakan kekerasan yang terjadi di lingkup rumah tangga.
Hukum Disertai Perspektif yang Berimbang
Kasus KDRT yang masih terjadi memerlukan perbaikan secara komprehensif meliputi pencegahan, pelayanan, dan penanganan. Selain untuk memudahkan korban mengakses layanan, perbaikan tersebut tentu akan berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat untuk berani melaporkan kasus yang dialami. Hal ini akan memberi korban ruang aman sehingga korban tidak merasa sendirian dalam menghadapi kasusnya. Selain itu, juga dapat menghindarkan hal-hal manipulatif seperti menormalisasi KDRT karena misalnya dianggap bentuk kasih sayang padahal hanya akan berujung merugikan perempuan dan berakibat semakin sulitnya lembaga terkait menjangkau kasus KDRT.
Baca Juga: Dari Kekerasan dalam Pacaran ke KDRT
Untuk mengefektifkan penghapusan KDRT, selain memerlukan dukungan penegakan hukum, harus diimbangi pula dengan pembangunan persepsi yang melindungi korban. Pada tahun 2021, jagat maya pernah dihebohkan konten berupa potongan isi ceramah dari Oki Setiana Dewi dalam suatu acara yang dinilai melanggengkan praktik KDRT. Dalam ceramahnya Oki menceritakan tentang seorang istri yang dipukul oleh suaminya, tapi tidak menceritakan kepada orang tuanya ketika berkunjung ke rumahnya.
Lontaran isi ceramah tersebut bertentangan dengan upaya meghapuskan KDRT. Masyarakat yang peduli terhadap korban KDRT pun melayangkan kritik. Mengapa? Setidaknya ada dua hal yang dikritisi. Pertama, kisah tersebut menunjukkan ketidakpercayaan terhadap korban KDRT karena dinilai melebih-lebihkan. Kedua, kisah tersebut melestarikan anggapan bahwa kekerasan tersebut (dalam kisah ini suami memukul istrinya) merupakan aib keluarga yang tidak boleh diberitahukan kepada siapapun.
Angka kasus yang dilaporkan hanya bagian kecil dari ribuan bahkan angka tidak terbilang dari suara lain yang dibungkam paksa oleh keadaan. UU PKDRT adalah satu bukti nyata kehadiran negara yang lahir dari penderitaan korban guna memberi ruang aman kepada korban KDRT. KDRT bukan aib, melainkan tindak kriminal yang harus ditindak tegas di manapun dan kapanpun.[]
***
Sahabat JalaStoria, kalau mengetahui atau mengalami KDRT, segeralah mencari bantuan untuk mendapatkan penanganan dan pemulihan. Agar memperoleh pendampingan, hubungi lembaga penyedia layanan baik yang dibentuk pemerintah ataupun masyarakat. Kalau membutuhkan ruang untuk bercerita, JalaStoria menyediakan kanal sebagai ruang aman untuk berbagi cerita. Sampaikan ceritamu di sini ya: https://www.jalastoria.id/kirim-konsultasi/
[Uung Hasanah]