Kebijakan “Tetap di Rumah” dan KDRT
Oleh: Siti Aminah Tardi
Sampai dengan 24 Maret 2020 jumlah yang terinfeksi virus corona di seluruh dunia mencapai adalah 381.760 kasus, di antaranya 686 kasus Covid-19 di Indonesia. Salah satu upaya untuk memperlambat serta mencegah penyebaran virus COVID-19 adalah kebijakan karantina wilayah dan mengisolasi diri di rumah.
Presiden Indonesia Joko Widodo dalam pidatonya menginstruksikan kepada masyarakat agar mengurangi kegiatan di luar rumah, termasuk menerapkan sistem kerja dari rumah atau work from home (WfH) dan sekolah serta kuliah secara online. Hal ini diikuti Pemerintah Daerah, di antaranya oleh Pemerintah DKI Jakarta yang daerahnya menjadi episentrum penyebaran Covid 19. Hal ini terlihat misalnya dalam Surat Edaran Gubernur DKI Jakarta Nomor 3590/SE/2020 tentang Work From Home yang diikuti dengan Seruan Nomor 6 Tahun 2020 tentang penghentian sementara kegiatan perkantoran dalam rangka mencegah penyebaran virus korona (Covid-19).
Namun, apakah kebijakan untuk tetap di rumah ini akan berkontribusi terhadap terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)? Bagaimanakah sebaiknya penanganan terhadap kasus KDRT di tengah keterbatasan layanan operasional pengada layanan korban dan sistem peradilan pidana?
“Rumah” yang Tidak Selamanya Aman
Catahu Komnas Perempuan 2020 menghimpun kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang 2019. Pada 2019 tercatat 431.471 kasus, di mana 14.719 di antaranya merupakan kasus yang ditangani oleh lembaga penyedia layanan. Jenis kekerasan yang paling menonjol ditangani oleh lembaga penyedia layanan adalah KDRT atau kekerasan di ranah personal yang mencapai angka 11.105 kasus. Bentuk kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik berjumlah 4.783 kasus (43%), kekerasan seksual berjumlah 2.807 kasus (25%), kekerasan psikis berjumlah 2.056 (19%) dan kekerasan ekonomi sebanyak 1.459 kasus (13%).
Kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama (6.555 kasus), disusul kekerasan terhadap anak perempuan (2.341 kasus). Catahu Komnas Perempuan mencatat dan meminta para pihak memberikan perhatian dengan meningkatnya angka kekerasan terhadap anak perempuan. Di antaranya anak perempuan mengalami kekerasan seksual oleh ayah kandung, ayah angkat/tiri dan paman (inses) yang terus naik setiap tahunnya. Kondisi ini kemudian disimpulkan bahwa perempuan dan anak perempuan di dalam rumah bukan lagi hal yang aman.
Terkait dengan kebijakan tetap di rumah, kita dapat mengidentifikasi potensi terjadinya KDRT, dikarenakan: pertama, isteri dan anak perempuan terperangkap semakin panjang dengan pelaku kekerasan, karena harus tinggal bersama dan tidak dapat keluar rumah.
Kedua, dalam masyarakat patriarkhis perempuan akan mendapatkan beban domestik berlapis, yaitu sebagai isteri, pengasuh dan perawat keluarga, sekaligus guru. Hal ini akan menjadikan kelelahan fisik dan psikis bagi perempuan yang berarti itu kekerasan yang ia alami, sekaligus dapat mendorong pengalihan beban dengan melakukan kekerasan kepada anak.
Ketiga, dampak ekonomi yang menyebabkan perempuan atau suami tidak mendapatkan penghasilan akan mendorong pembatasan pemenuhan kebutuhan keluarga yang menjadi pemicu pertengkaran atau kekerasan.
Keempat, suami atau bapak menggunakan issue isolasi untuk Covid-19 sebagai metode untuk mengasingkan perempuan dari keluarganya atau mengancam untuk memenuhi keinginannya.
Meningkatnya jumlah kasus KDRT pada masa isolasi dilaporkan terjadi di Amerika Serikat, Australia dan Cina. Di Amerika Serikat, hotline KDRT melaporkan semakin banyak orang menelpon dan mengatakan bahwa pelaku KDRT menggunakan Covid-19 sebagai alasan untuk mengisolasi korban dari teman dan keluarga mereka. Seperti ancaman akan membuang korban di jalan sehingga mereka sakit dan menahan sumber daya keuangan atau bantuan medis. Dengan berkaca pada Catahu Komnas Perempuan 2020 dan pengalaman di Amerika Serikat, Australia dan Cina, maka bukan mustahil KDRT di Indonesia akan meningkat selama masa isolasi diri.
Penanganan KDRT selama Masa Isolasi
Kebijakan tetap di rumah, juga mendorong lembaga-lembaga pengada layanan dan aparat keamanan melakukan pola perubahan layanan. Yang pada awalnya korban dapat langsung datang, maka saat ini lebih diarahkan melalui telpon ataupun pengaduan berbasis daring. Pertemuan langsung dengan pemberi layanan umumnya dilakukan dengan perjanjian dan dengan menerapkan protokol kesehatan. Hal ini secara tidak langsung akan memengaruhi korban KDRT untuk segera mendapatkan pertolongan.
Maka, jika terjadi KDRT, korban dapat segera mencari pertolongan dengan mengakses nomor kontak layanan, untuk selanjutnya keluar dari rumah untuk mengakses layanan secara langsung . Korban dan keluarga dapat pula mencari bantuan keluarga atau tetangga untuk menyelamatkan diri atau meminta pihak lain memfasilitasinya untuk mendapatkan bantuan.
Namun, yang tak kalah penting adalah harus adanya kesadaran akan potensi KDRT di kalangan pengambil kebijakan penanganan Covid-19. Dengan demikian, kebijakan terkait sekaligus akan dapat memberikan kepastian dan kebijakan affirmative bahwa sistem layanan kesehatan, rumah aman, bantuan hukum dan kepolisian tetap bekerja memberikan perlindungan dan penanganan korban KDRT.[]
Komisioner Komnas Perempuan Periode 2020-2024