Intimidasi Negara Terhadap Ranah Pribadi Warga Negara

 Intimidasi Negara Terhadap Ranah Pribadi Warga Negara

Ilustrasi (JalaStoria.id)

Oleh: Siti H. Hanifiah

 

Beberapa waktu yang lalu masyarakat gempar dengan Rancangan Undang Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang diusulkan oleh DPR. Pasalnya, dalam RUU tersebut banyak poin-poin yang mengintimidasi ranah pribadi warga negara. Lalu, apa tujuan para Dewan yang terhormat ini mengusulkan RUU tersebut?

Sejatinya, sebuah RUU dibuat untuk melindungi warga negaranya. Namun, apa yang terjadi apabila negara ikut campur dalam urusan pribadi tiap warganya? Hal ini akan menjadi kemunduran sosial dan membuat masyarakat tidak memiliki kebebasan.

Salah satu contoh, Pasal 33 ayat (2) yang mengatur tempat tinggal untuk sebuah keluarga. Bagi masyarakat kelas menengah atas mungkin ini adalah hal lumrah. Namun, bagaimana dengan masyarakat kelas bawah yang kesulitan memiliki tempat tinggal layak?

Hal ini juga harus dipikirkan secara matang oleh negara, bagaimana menyediakan sebuah hunian layak untuk keluarga kurang mampu. Walau, tujuan Pasal ini sebenarnya baik namun negara juga harus memikirkan semua kelompok masyarakat saat merumuskan RUU tersebut.

Terlebih lagi dengan adanya Pasal 25 ayat (3) yang mengindikasikan diskriminasi terhadap perempuan. Istri yang diwajibkan mengatur urusan rumah tangga dan suami menjadi kepala keluarga. Klausul peran antara suami dan istri negara tidak perlu ikut campur, karena hal tersebut merupakan ranah kesepakatan antara suami dan istri.

Peran suami dan istri sudah sewajarnya menjadi diskusi internal keluarga. Dalam hal ini tidak melulu harus suami yang melindungi keluarga. Istri juga berperan penting dalam hal tersebut, sehingga keduanya memiliki tanggung jawab yang sama. Terutama dalam hal mendidik anak dan mengurus rumah tangga seharusnya memiliki porsi yang seimbang.

Selain dua Pasal di atas, terdapat pula aturan yang mengintimidasi kehidupan seksual masyarakat. Salah satunya mengenai pelarangan penyimpangan seksual dan mengatur penggunaan sperma dan ovum. Apabila menilik lebih dalam, yang dapat kita lihat sebenarnya aturan ini bertujuan untuk melindungi kasus di mana perempuan menjadi korban di dalam pernikahan.

Namun yang sangat disayangkan, aturan tersebut seperti mendiskreditkan pihak tertentu melalui orientasi seksual mereka. Ketentuan seperti itu justru akan merugikan warga negaranya sendiri. Ini sekaligus menunjukkan kekeliruan dalam RUU ini  yang hanya melihat dari satu sisi saja, padahal sebuah keluarga adalah hal yang kompleks.

Daripada menciptakan RUU yang tidak kompeten dan hanya mengganggu ranah pribadi warganya, lebih baik menyelesaikan pekerjaan rumah yang masih tertunda. DPR juga harus memikirkan ulang gagasan mereka mengenai RUU Ketahanan Keluarga ini. Apa yang ingin dicapai dengan aturan-aturan tersebut.

Membangun ketahanan keluarga tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Hal ini harus dimulai dari masing-masing individu antara suami dan istri. Di mana keduanya ada kemauan untuk membangun sebuah keluarga, yang dapat mendidik anak-anak mereka kelak untuk bisa bertahan di dunia luar.

Sebaiknya negara stop mengintervensi warga negaranya dan mulai menciptakan aturan-aturan yang sesuai dengan kondisi di masyarakat. Memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menjalani kehidupan berkeluarga dengan cara masing-masing individu. Jangan sampai kehadiran RUU ini menjadikan manusia sebagai robot yang harus mengikuti aturan negara.

Jangan lupa bahwa kehadiran sebuah keluarga terjadi karena adanya dua manusia yang ingin membangun kehidupan bersama. Hal ini juga tidak bisa diatur oleh siapapun termasuk negara, karena sejatinya pernikahan adalah cara memanusiakan manusia.[]

 

Hobi nonton film dokumenter dan pernah bercita-cita ingin jadi jurnalis perang. Namun saat ini memilih untuk bekerja di salah satu e-commerce sebagai copywriter.

 

 

 

Digiqole ad