Ini Kisah tentang Penyandang Disabilitas

 Ini Kisah tentang Penyandang Disabilitas

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Oleh: Pamikatsih

Saya tujuh bersaudara. Saya memang mendapat pendidikan, perlakuan dari orang tua sama. Tapi ternyata ketika berbicara tentang pengharapan, orang tua ternyata pengharapannya tidak seperti kepada enam saudara karena saya disabilitas. Ya, saya dicetaknya untuk menjadi sosok yang akan dibebankan kepada enam orang yang lain. Walaupun saya diperlakukan sama; sekolah, kuliah, tetapi ibu selalu bilang bahwa, “Sudah kamu kan nanti akhirnya akan ikut dari enam orang tersebut. Kamu harus membantu. Kamu harus mampu masak.” Ini kan beban perempuan, dipaksakan untuk saya jalani.

Pada perkembangannya, ketika saya kuliah dan mencari pekerjaan, penolakan masyarakat sangat tinggi sekali. Masyarakat tidak pernah melihat apa kelebihan atau apa yang dimiliki seorang Pamikatsih ini. Tetapi ketika mereka bertemu dengan saya dan kawan-kawan mereka hanya melihat tentang ketidakmampuannya, disabilitasnya. Penolakan itu lama terjadi.

Pada tahun 1994 pada waktu itu kebetulan saya ada kesempatan bekerja di dunia disabilitas, di Pusat Pengembangan dan Pelatihan Rehabilitasi Bersumber Daya Masyarakat (PPRBM) Solo. Di situ saya semakin merasakan ternyata bukan hanya saya. Ternyata ketika saya bertugas di Jawa Tengah hampir keliling di Kabupaten Jawa Tengah, saya melihat memang perlakuan diskriminasi itu bukan kepada Pamikatsih anaknya Pak Edi anaknya Bapak Bupati, bukan! Tetapi diskriminasi itu kepada disabilitasnya, kepada kecacatannya. Jadi, siapapun, anak siapapun, ketika dia seorang disabilitas maka dia akan mendapatkan perlakuan diskriminasi.

PR Indonesia Menyoal Disabilitas

Kebutuhan dasar saya sebagai manusia sama dengan manusia lainnya. Tetapi ketika saya mendapat label disabilitas atau cacat maka ada kebutuhan khusus yang mungkin tidak dimiliki orang lain. Saya memiliki hambatan gerak di kaki, yang kalau orang Jawa bilang pincang. Kebutuhan khusus saya supaya bisa mengaktualisasikan diri seperti masyarakat yang lainnya ya tadi, 1 plus 1. 1 adalah sama kebutuhan sebagai seorang perempuan dan juga 1 kebutuhan sebagai seorang perempuan disabilitas.

Baca Juga: Kisah Ruby, Anak dari Keluarga Disabilitas Tuli

Tetapi yang terjadi yang saya alami bahwa ketika saya lahir mengalami disabilitas, saya itu hanya dilihat dari disabilitasnya saja yang akhirnya semua orang termasuk dalam keluarga saya, orang tua saya, saudara, dan semua lingkungan melihat bahwa saya adalah orang yang berketidakmampuan. Dulu panggilannya penyandang cacat.

Sampai akhirnya saya ketemu suami saya di tahun 1999. Waktu itu belum menikah. Akhirnya kita sepakat bahwa memang ada 3 persoalan besar di Indonesia tentang isu disabilitas. Yang satu sudah dikerjakan walaupun pada waktu itu kita berpikir pendekatan yang dipakai adalah charity, pendekatan derma. Itu untuk menyelesaikan persoalan dalam diri disabilitas.

Yang dua sama sekali enggak digarap. Apakah itu? Yaitu konstruksi di bidang aksesibilitas fisik dan non fisik. Yang paling berat adalah ketika berbicara tentang isu aksesibilitas non fisik. Bahwa disabilitas itu tidak pernah menjadi warga negara di negaranya sendiri. Kalau kami ini bagian warga negara secara otomatis bahwa semua yang diselenggarakan oleh negara untuk masyarakat, kami ada di situ. Tapi kami tidak pernah dimasukkan di situ. Akhirnya kami berpikir dan terus melakukan eksperimen, ketemu. Bahwa akar persoalan disabilitas itu bukan di mana disabilitas itu diberi project, paket sembako, paket ini, paket itu, bukan! Akar persoalannya adalah hak yang semua dimiliki oleh warga negara, kami enggak memiliki, kami enggak mendapatkan!

Kan sering sekali saya dengar seperti ini, bahwa Mbak Pikat itu jangan mengistimewakan selalu mengusulkan. Itu bukan soal keistimewaan, loh! Ketika berbicara naik ke lantai dua di DPRD tempat saya, dari dulu sampai sekarang itu saya dijawab bahwa jangan minta keistimewaan, jangan minta biaya memperbaiki lift karena itu mahal, bukan itu. Tapi aksesibilitas adalah hak kami. Kalau bapak ibu tega kami mbrangkang (merangkak), saya sering mbrangkang (merangkak).

Baca Juga: 5 Tantangan Penyandang Disabilitas Korban Kekerasan Seksual

Kemarin waktu penentuan untuk membahas Perda di Solo ya saya mbrangkang (merangkak) kalau rapat di lantai dua. Dan itu sudah berabad-abad. Saya sudah 28 tahun loh. Tidak ada perubahan dan itu masih dikira untuk meminta hak spesial. Itu kan bukan karena kita minta diistimewakan, tapi karena mereka tidak tahu bahwa aksesibilitas itu adalah hak dasar disabilitas. Seperti hak hidup, hak mendapatkan pasangan. Aksesibilitas itu hak hidup bergabung di dalam gerakan kegiatan di masyarakat adalah hak kami sebagai bagian warga negara yang juga membayar pajak, yang juga bertanggung jawab. Nah itu kan knowledge (pengetahuan – Red) toh!

Persepsi yang salah ini harus disediakan knowledge. Siapa yang akan menyediakan? Ya kita bekerja sama dengan kaum profesional.

Saya sekarang 56 tahun, saya cacat usia 1,5 tahun, berarti sudah 54,5 tahun. Saya bisa menyampaikan bagaimana  ketika jalan ini dibuat bentuknya melingkar dan menanjak itu membuat saya tidak memiliki keseimbangan. Bahwa ketika menolong disabilitas yang pakai kursi roda diangkat ke atas dengan jalan seperti itu, yang menolong pun kesulitan sangat berat, punya resiko kecelakaan.

Bahkan ketika itu kami minta disuarakan pun pemerintah negara selalu melihat beda. Kalau penjenengan (anda) ketika ngomong, ini saya ada hak pemberdayaan perempuan, sebaliknya disabilitas enggak diberi.

Pada waktu saya ada di tahun 1999. Disabilitas itu hanya akan datang ketika ada Depsos (Departemen Sosial – Red) program pembagian paket sosial. Itu diberi paket, difoto, diberi amplop, selesai. Pertanyaan lagi, apakah semua warga yang non disabilitas menerima perlakuan itu? Enggak. Sampai hari ini pun masih terjadi proses itu. Walaupun saya sering ketika saya ngomong seperti ini banyak diprotes. Kamu jangan gitulah, negara itu sudah hebat, pejuang-pejuang. Saya katakan iya, pejuang-pejuang hebat. Tetapi bahwa tidak terjadi proses pencerdasan dari negara itu sendiri dan itu ke luar menjadi sebuah kebijakan yang kalau sekarang disebut inklusi, itu belum terjadi.

Penyandang Disabilitas Hanya Jadi Penonton GEDSI

Sekarang lagi digerakkan gerakan internasional untuk SGDs dan affirmative actionnya mungkin platformnya adalah GEDSI (Gender Equality Disability and Sosial Inclusion). Itu dicanangkan tahun 2016, saya sudah evaluasi. Sebenarnya itu kan platform untuk menekan negara yang menandatangani, melakukan GEDSI.

Baca Juga: UU Disabilitas: Apa Saja Hak-Hak Penyandang Disabilitas?

Tapi yang terjadi apa? Sekarang ini disabilitas hanya menjadi kelompok sasaran project-project SGDs dan itu bukan sebagai aktor. Mereka sebagai kelompok sasaran dengan ukuran apa ada tandatangan. Karena setiap saya hadir pasti ditanyain punya disabilitas enggak? Kan ironis! Berarti itu bukan panggung kami.

Saya selalu bilang seperti itu. Kalau melihat itu, persoalannya adalah ketika teman-teman yang tidak disabilitas, ketika menjalankan project saja, program saja, dia tidak melibatkan disabilitas, sebenarnya yang normal saya atau panjenengan (anda)?

Saya itu warga je, nek njaluk (kalau minta – Red) normal toh? Tapi ketika negara, ketika universitas melakukan program besar-besaran GEDSI itu mereka hanya melibatkan saya dan kawan-kawan hanya sebagai pengisi absensi. Tulisannya punya disabilitas enggak? Yang normal siapa? Apakah saya masih pantas disebut abnormal? Apakah saya masih pantas disebut cacat? Apakah saya masih pantas disebut disable berketidakmampuan? Monggo kita akan renungkan bersama.[]

 

Ketua Komunitas Interaksi Solo

*Tulisan ini diramu dari pernyataan Pamikatsih (narasumber) dalam webinar Kalyanamitra bersama Konde.co bertema “Merayakan Feminisme #6: Feminisme dalam Gerakan Disabilitas,” Jumat, 1 Juli 2022, atas izin narasumber

 

 

 

Digiqole ad