Ini Akibat Sering Bertengkar dengan Pasangan! Femisida, KDRT dan Rusaknya Mental Anak

Oleh : Anatasia Wahyudi
Perselisihan dan pertengkaran terus-menerus menjadi faktor penyebab terbesar perceraian yang terjadi di Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023, jumlah perceraian terjadi sebanyak 408.347 kasus. Dari jumlah tersebut, 251.828 kasus diantaranya atau lebih dari 60% kasus terjadi karena faktor perselisihan dan pertengkaran terus-menerus.
Andu (2021) menyebutkan bahwa ada perbedaan faktor penyebab pertengkaran dalam rumah tangga antara suami dan istri. Dari sudut pandang suami, pemicu pertengkaran meliputi, antara lain; pekerjaan rumah tangga dan kebiasaan buruk, ponsel atau media sosial dan ekonomi, dan mertua atau anggota keluarga lain. Sedangkan pertengkaran dari sudut pandang istri meliputi; ketidaksetiaan, ekonomi dan mertua atau anggota keluarga lainnya, pekerjaan rumah tangga, serta kebiasaan buruk dan komitmen. Namun, baik dari sudut pandang suami maupun istri terlihat ada kesamaan faktor penyebab yang memicu pertengkaran yakni pekerjaan rumah tangga, kebiasaan buruk, ekonomi, dan mertua atau anggota keluarga lain.
Melepaskan diri dari perselisihan dan pertengkaran terus-menerus tidak hanya menyelamatkan diri sendiri, namun juga psikologi anak di masa tumbuh kembang mereka. Diam dalam situasi yang sama akan menyebabkan kerusakan permanen bahkan bisa berujung dengan kematian bagi perempuan (femisida).
Menurut Komnas Perempuan, ada lima indikasi kekerasan dalam rumah tangga yang berpotensi femisida yaitu: (1) terjadinya peningkatan intensitas kekerasan fisik, (2) meningkatnya muatan kekerasan fisik, (3) adanya kekerasan psikis berupa ancaman pembunuhan, (4) penelantaran ekonomi, (5) dan atau tidak adanya lingkungan yang mendukung bagi korban.
Bertahan dalam neraka yang berbentuk rumah tangga adalah kesalahan besar. Namun, sulit bagi perempuan untuk membuat keputusan bercerai. Hal ini terjadi karena masih adanya normalisasi dengan dalih bertahan demi anak. Padahal, alasan bertahan demi anak sebenarnya justru menimbulkan efek negatif bagi mereka.
Dampak Jangka Panjang Bertengkar di Depan Anak
Hess (2021) mengungkapkan, meningkatnya konflik antar orangtua menyebabkan pengasuhan yang kurang hangat dan komunikasi yang lebih negatif pada orang tua, yang pada akhirnya mengurangi kesejahteraan sosial anak.
Ketika orang tua bertengkar satu sama lain, hal itu berdampak buruk bagi anak mereka. Orang tua yang bertengkar terus-menerus merusak kesehatan mental dan ikatan mereka dengan anak-anak mereka. Anak-anak meniru ide dan cara orang tua mereka dalam melakukan sesuatu. Ketika hubungan orang tua yang tegang membuat mereka menjadi orang tua yang buruk, anak-anak mereka mungkin merasa cemas, malu, tertekan, dan memiliki perasaan buruk lainnya (Rahman dkk, 2023).
Hormon stres memiliki efek merusak yang memperburuk kecanduan karena hormon tersebut memengaruhi bagian otak yang membuat tubuh menginginkan lebih banyak obat. Ketika anak-anak semakin sering mengalami konflik, mereka menjadi lebih sadar akan efek buruknya. Semakin banyak hal buruk yang terjadi pada seorang anak ketika orang tuanya bertengkar, semakin buruk pula perkembangan dan perilaku mereka.
Mphaphuli (2023) mengungkapkan, lingkungan keluarga yang sehat dan mendukung sangat penting bagi perkembangan kesehatan mental anak. Suasana positif dalam keluarga, seperti komunikasi terbuka, hubungan interpersonal yang kuat antara orang tua dan anak, keharmonisan dan kekompakan, berkontribusi pada ruang yang kondusif dan aman bagi anak untuk mengembangkan kebiasaan sehat.
Namun, anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang tidak harmonis berisiko mengalami penyakit mental, yang jika tidak diobati, dapat mengakibatkan masalah kesehatan mental jangka panjang seperti depresi dan kecemasan. Orang tua, baik yang lajang, menikah, atau bercerai, memiliki tanggung jawab untuk melindungi kesehatan mental anak-anak mereka. Sehingga keputusan bercerai bisa menjadi penentu kesejahteraan anak di masa depan.
Lingkungan sekitar, khususnya tetangga korban tidak boleh membiarkan kekerasan dalam rumah tangga ini terjadi. Sebab, dengan mengatakan bahwa KDRT adalah urusan pribadi, sama saja dengan membiarkan kekerasan dan menyebabkan pelaku merasa menang serta benar dengan tindakannya. Jika mendengar teriakan untuk pertolongan, segera lapor ke RT dan RW atau juga tokoh masyarakat sekitar. Dengan memberikan pertolongan, tetangga dapat menyelamatkan korban dari tindakan KDRT berulang.
Satu hal yang perlu diingat, kekerasan tidak hanya berupa kekerasan fisik, namun bisa juga kekerasan psikis dan penelantaran ekonomi. Melindungi dan mendukung korban patut dilakukan agar mereka berani dalam bertindak.
Anatasia Wahyudi. Saat ini, sedang melanjutkan pendidikan Magister Ilmu Komunikasi di Universitas Paramadina dan bekerja sebagai penulis lepas.
