Hukuman Mati Puncak Kekerasan dan Diskriminasi Gender

 Hukuman Mati Puncak Kekerasan dan Diskriminasi Gender

Ilustrasi (Sumber: Free-photo/Freepik.com)

Di Indonesia, dua perempuan saat ini terancam hukuman mati. Marry Jane Veloso dan Merry Utami yang sampai hari ini berada di balik jeruji tanpa informasi pasti kapan hari eksekusi menghampiri.

Di luar negeri, 206 WNI terancam hukuman mati. 38 di antaranya adalah perempuan.

Hukuman mati adalah puncak kekerasan dan diskriminasi berbasis gender. Mengutip hasil pemantauan Komnas Perempuan pada dampak hukuman mati terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI) menemukan kemiskinan dan KDRT merupakan bentuk pertama kekerasan dan diskriminasi gender. Situasi tersebut menjadi alasan perempuan untuk bermigrasi ke luar negeri demi kehidupan yang lebih baik. Tapi di sini PMI tak jarang mengalami kondisi kerja yang tidak manusiawi. Bentuk kekerasan dan diskriminasi gender selanjutnya adalah saat PMI berhadapan dengan hukum akses keadilan dibatasi. Hingga akhirnya perempuan itu berstatus terpidana mati.

Masih dari hasil pantauan Komnas Perempuan ditemukan pelanggaran hak fair trail terhadap perempuan terpidana mati. Di antara pelanggaran itu antara lain mengalami penyiksaan seksual dalam penyelidikan, tidak semua didampingi pengacara sejak awal proses penyidikan di kepolisian. Pelanggaran lainnya yakni mendapat bantuan hukum dan pendampingan dari pengacara saat upaya hukum akhir, tidak disediakan penerjemah yang memadai, tidak memahami materi dan proses persidangan sehingga tidak merasa terancam hukuman mati, dan eksekusi tanpa notifikasi.

Baca Juga: Hari Perempuan Internasional 2022: Seruan Penguatan Perlindungan pada Perempuan dari Kekerasan

Perempuan terpidana mati adalah mereka yang berada di deret tunggu, mengalami penyiksaan tak berujung. Siksaan penantian dan ketidakpastian berupa mimpi buruk dan sulit tidur hingga membayangkan hukuman pancung, kelebatan pedang, algojo, yang semuanya terjadwal.

Belum lagi kekerasan di dalam tahanan. Sebab perempuan terpidana mati dihukum di sel isolasi dan menerima hukuman cambuk. Sehingga tak jarang upaya bunuh diri begitu menggiurkan untuk menghentikan penderitaan.

Hukuman mati adalah dimatikan sebelum kematian. Hukuman mati adalah bentuk penyiksaan terhadap keluarga perempuan terpidana mati. Selain kehilangan pencari nafkah utama, keluarga juga kehilangan sosok ibu. Tidak sedikit anak-anak perempuan terpidana mati tak mengenal ibunya. Anak dipaksa lupa pada ibunya yang berada di deret tunggu kematian.

Baca Juga: Perdagangan Orang dengan Modus Pengantin Pesanan dan Problematika Hukumnya

Hukuman mati tak luput mengakibatkan penderitaan psikis keluarga perempuan terpidana mati. Bayangan hari eksekusi, malu dan menutup diri, menyalahkan diri, dendam, bahkan mengalami krisis keimanan.

Berangkat dari kasus Mary Jane Veloso dan Merry Utami, pergeseran modus dan tujuan eksploitasi tindak pidana perdagangan orang (TPPO) perlu ditilik ulang. Dulu tujuan eksploitasi TPPO bergaya tradisional seperti kerja paksa (eksploitasi tenaga kerja), prostitusi (eksploitasi seksual), dan penjualan organ tubuh. Kini, tujuan baru eksploitasi TPPO adalah menjadikannya penyelundup narkotika. Ini seturut dengan glorifikasi perang narkotika yang mulai menyasar perempuan migran. Dari sinilah perempuan migran memiliki kerentanan. [Nur Azizah]

 

Sumber:

Materi anggota Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) Yuni Asriyanti “Penyiksaan Tak Ada Ujung, Perempuan-perempuan di Deret Tunggu,” yang disampaikan dalam “Nobar dan Diskusi Film Dokumenter Perempuan Terpidana Mati Mary Jane Veloso,” pada Jumat (21/20/22)

 

 

Digiqole ad