Hidden Figures
Perempuan itu bertubuh mini, seturut dengan usianya: 12 tahun. Di usia itu, ia sudah duduk di bangku kuliah West Virginia University. Tidak tanggung-tanggung, mahasiswi mini berkulit gelap ini menggeluti bidang matematika.
Teman kuliah dan para dosen di kampus itu pun dibuat termangu. Ia kerjakan soal rumit matematika dalam sekejap. Di hadapan kelas, ia wedar penjelasan deret angka matematis yang ia tulis. Orang sekelas pasti tercenung.
Nama perempuan itu Katherine (Taraji P. Henson). Di tubuhnya yang telah dewasa, bersama dua teman sejawatnya: Dorothy (Octavia Spencer) dan Mary Jackson (Janelle Monae), mereka bertiga bekerja di badan antariksa nasional negeri Paman Sam: NASA.
Ketiganya, bersama dengan puluhan perempuan Afro-Amerika lain, menempati sisi Barat Divisi Komputasi di Pusat Penelitian Langley, Hampton, Virginia. Mereka bekerja di NASA karena kepiawaiannya di bidang matematika.
Sebenarnya, “Sisi Barat” bukan loka yang sengaja dibuat karena alasan pembagian fungsi kerja. Fungsi Komputasi juga ada di “Sisi Timur”. Ini salah satu rupa segregasi rasial yang melanda negeri Paman Sam pada 1960-an.
Katherine dkk. yang berkulit gelap keturunan Afro-Amerika, kendatipun bekerja di lembaga bonafide, tetap mendapat perlakuan diskriminatif dalam laku kesehariannya. Pemisahan ruang kerja berdasarkan warna kulit hanya salah satu.
Dalam kondisi itu, Mitchell (Kirsten Dunst), perempuan kulit putih, menyorongkan aneka surat kepada Dorothy. Isinya seputar pembagian tugas komputasi.
Mary kebagian tugas menjadi teknisi untuk membesut perisai anti panas pada kapsul antariksa.
Katherine ditugasi membantu sebuah tim elite yang menjadi ujung tombak program penerbangan antariksa negeri Paman Sam. Ia menjadi wanita Afro-Amerika pertama yang bertugas di sana.
Tim ini dikepalai Al Harrison (Kevin Costner) yang telah memecat 12 belas pakar komputasi. Katherine orang yang ke-13.
Mereka Kena Aneka Diskriminasi
Dorothy sendiri masih mengharapkan legalitasnya sebagai Penyelia Program Antariksa. Sebenarnya, fungsi penyeliaan sudah dan tengah ia jalankan dengan baik. Tapi tanpa legalitas jabatan itu, daya kerjanya tetap tidak maksimal.
Surat usulannya telah dilayangkan. Tapi sudah lama juga surat itu tak berbalas. Bahkan Dorothy tidak pernah dapat informasi baru seputar program antariksa sebagaimana penyelia lain peroleh untuk dilakukan pengawasan atas program tersebut.
Salah satunya, program Komputer Elektronik IBM. Mesin ini digadang-gadang mampu melakukan fungsi komputasi secara cepat dan akurat tinimbang yang dilakukan manusia.
Tapi sayang, karena fungsi penyeliaan yang tak maksimal, mesin ini mati, tak dapat digunakan. Insan IBM pun tidak dapat memfungsikan mesin dengan harga selangit itu.
Kondisi ini sempat membuat berang Al Harrison dengan mengancam untuk tidak memberikan gaji para insan IBM hingga mesin IBM itu hidup dan berfungsi maksimal.
Dorothy engah, teknologi seperti pedang bermata dua: punya lebih banyak manfaat tapi juga berpotensi menggantikan tugas manusia. Kehadiran mesin IBM jelas mengancam eksistensi divisi komputasi, terutama mereka yang bekerja di “Sisi Barat”.
Enggan lengah, Dorothy mulai mempelajari teknologi mesin IBM dari sebuah buku mengenai FORTRAN meskipun harus melalui perilaku diskriminatif dari seorang petugas kulit putih penjaga bibliotek yang mengusir Dorothy karena memasuki bibliotek untuk warga kulit putih.
Kondisi serupa juga dialami Katherine. Di ruang “pasukan elite” yang beranggotakan para ilmuwan cerdas, Katherine kebagian tugas memeriksa hitungan rumus matematis yang sebagian datanya “digelapkan” sehingga Katherine kesulitan menangkap keseluruhan konsep matematis itu.
Selain itu, ia juga tidak bisa mengakses toilet terdekat karena hanya diperuntukkan bagi pegawai berkulit putih. Untuk ke toilet, Katherine harus menuju gedung “Sisi Barat” yang berjarak 800 meter dari gedung “pasukan elite”.
Bayangkan Katherine harus lari tunggang-langgang sambil mengapit tumpukan berkas di lengannya dan tidak jarang kena hujan untuk sekadar ke toilet. Kemudian, dengan tergopoh, ia harus lari kembali ke ruang “pasukan elite” dan tiba dengan napas mengap-mengap.
Belum lagi, Al Harrison yang mendadak membentaknya karena sering tidak ada di tempat. Sontak, Katherine pun langsung menumpahkan isi hatinya di hadapan banyak orang dan Al Harrison soal laku diskriminatif yang dialaminya.
Al Harrison engah, semua toilet diperintahkannya untuk bisa diakses oleh siapapun dengan warna kulit apapun: “karena warna urin kita semua sama.”
Bagaimana dengan Mary? Setali tiga uang, Mary sulit mewujudkan minatnya menjadi seorang teknisi NASA. Kemampuan yang mumpuni tidak begitu saja memuluskan minatnya.
Bahkan ketika ia berhasil menawarkan solusi atas perisai anti panas pada kapsul antariksa, upayanya tetap rompal. Mitchell mengabarkan, untuk menjadi seorang teknisi, diperlukan satu dokumen pelatihan dari perguruan tinggi yang hanya bisa diakses warga kulit putih.
Every time we get a chance to get ahead, they move the finish line, EVERY TIME!
Tapi Mary tidak putus asa. Kendatipun suaminya, Levi Jackson (Aldis Hodge), menahannya untuk tidak membuang waktu mengupayakan hal yang tak mungkin, Mary tetap berupaya.
Ia ajukan permintaan untuk bisa mengakses perguruan tinggi bagi warga kulit putih ke pengadilan. Ia meyakinkan sang hakim bahwa keputusan hakim, kali ini, sangat penting karena berpengaruh terhadap masa depan program antariksa negeri Paman Sam.
Komen Film
Apakah upaya Mary berhasil memuluskan langkahnya menjadi teknisi NASA?
Apakah Dorothy akhirnya memperoleh legalitas sebagai seorang Penyelia Program Antariksa NASA?
Apakah Katherine berhasil memukau Al Harrison dan rekan sejawatnya dengan hitungan matematis untuk upaya peluncuran roket berawak ke antariksa dan memulangkan kembali sang astronot ke bumi?
Semua pertanyaan itu seperti telah beroleh jawab di kepala. Film ini jelas mudah ditebak muaranya. Karena diadaptasi dari peristiwa nyata, tentu saja catatan sejarah mengenai persaingan menuju antariksa (space race) antara negeri Paman Sam dan Uni Soviet mudah dilacak.
Tapi film ini tentu saja bukan semata soal plot. Ada tema universal mengenai laku diskriminatif yang tidak disadari masih terasa di aktivitas keseharian.
Tentu saja laku itu berwujud dalam bentuk yang lain, tapi yang pasti diskriminasi punya potensi menghambat kemajuan.
Meski begitu, film ini juga berusaha menyampaikan pesan bahwa di tengah laku “pembedaan”, seseorang pantang tunduk pada keadaan dan pasrah. Aneka upaya harus terus dilakukan kendati tembok penghalangnya terlampau danawa.
Ini film tentang para penyintas laku diskriminatif. Film ini juga berkisah seputar para perempuan tangguh yang berani menghadapi diskriminasi dengan cara yang kadang penuh canda-tawa.
Bagi mereka yang suka dengan inspirasi, Hidden Figures merupakan sinema yang pas buat dinikmati.
Bagi para perempuan, trio Katherine, Dorothy dan Mary siap melekat di benak Anda menjadi pengawal asa atas tiap upaya di tengah keputusasaan Anda. (asw)
—–
Hidden Figures (2016)
Sutradara: Theodore Melfi; Penulis Naskah: Allison Schroeder, Theodore Melfi; Genre: Biografi; Durasi: 127 menit; Bujet: $25 juta
Pemeran: Katherine (Taraji P. Henson), Dorothy (Octavia Spencer), Mary Jackson (Janelle Monae), Al Harrison (Kevin Costner), Mitchell (Kirsten Dunst), Paul Stafford (Jim Parsons), Kolonel Jim Johnson (Mahershala Ali), Levi Jackson (Aldis Hodge)
Diadaptasi dari buku non-fiksi karya Margot Lee Shetterly dengan judul serupa: Hidden Figures
sumber data film: IMDB
sumber gambar: 20th Century Fox