Hambatan Korban Penelantaran Mengakses ke Keadilan

 Hambatan Korban Penelantaran Mengakses ke Keadilan

Kasus penelantaran rumah tangga merupakan kasus yang tidak banyak diproses secara hukum karena dianggap sulit pembuktiannya. Ada kasus penelantaran yang dapat diproses sampai ke pemeriksaan di sidang pengadilan, namun ada pula yang mandeg sejak dari pelaporan di kepolisian.

Misalnya, yang dialami oleh korban berinisial ENS yang melaporkan kasus penelantaran rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya. Kasus penelantaran ini merupakan kasus penelantaran pertama di kota Salatiga. Proses penyidikan kasus penelantaran rumah tangga ini membutuhkan waktu kurang lebih 1 tahun. Terdakwa dituntut 12 bulan penjara. Saat tulisan ini ditayangkan, kasus ini masih dalam proses menunggu putusan dari pengadilan.

Kasus lainnya, D (45 tahun), seorang ibu rumah tangga sekaligus istri dari seorang “kyai”. Setelah menikah, suami melarang D bekerja. Bukan hanya itu, ia juga dilarang keluar rumah karena menurut suami, istri harus di rumah merawat anak-anak dan baru bisa keluar setelah mendapat ijin dari suami. Suami juga menjalani ritual yang menurut suami setelah anak terakhir lahir, suami tidak mau berhubungan seksual dengan alasan tirakat. Sudah kurang lebih 10 tahun suami tidak memberikan nafkah batin karena sedang menjalani ritual.

Akhirnya, D keluar rumah tanpa ijin suaminya dengan anak-anaknya untuk refreshing menggunakan taksi yang sudah langganan. Suami kemudian menuduh istri berselingkuh dengan supir taksi dan akhirnya suaminya meninggalkan rumah membawa serta ketiga anaknya. Suami juga mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan.

Atas kejadian penelantaran yang dialami, D melapor ke kepolisian pada awal 2018. Sayangnya, kasus ini tidak berlanjut karena penyidik beralasan dalam undang-undang tidak ada batasan kriteria suatu perbuatan merupakan tindak pidana penelantaran rumah tangga sehingga saat ini kasus tidak berlanjut.

Batas Waktu

Menurut pendamping LRC-KJHAM, sebagaimana dituturkan dalam wawancara dengan penulis pada 22 Oktober 2019, hambatan proses hukum dalam tindak pidana penelantaran rumah tangga yaitu karena minimnya ketersediaan Ahli yang bersedia mengkontribusikan keahliannya secara probono.

Selain itu, kesulitan juga terjadi karena tidak adanya penjelasan batas waktu kapan suatu perbuatan mulai memenuhi unsur sebagai tindak pidana penelantaran rumah tangga. Ketiadaan batas waktu ini membuat penyidik kesulitan menentukan kategorisasi perbuatan yang merupakan penelantaran rumah tangga.

UU PKDRT memang tidak memberikan batasan waktu terhadap tindak pidana penelantaran rumah tangga. Hal ini memungkinkan timbulnya keragaman perspektif di kalangan aparatur penehak hukum dalam menilai suatu perbuatan apakah sebagai tindak pidana penelantaran rumah tangga atau bukan.

Pasal 9 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) mengatur sebagai berikut:

(1)Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2)Setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Berdasarkan rumusan tersebut, pertanyaan yang kemudian muncul apakah satu hari dapat dikategorisasikan sebagai penelantaran? Apakah 3 bulan? Ataukah 2 tahun?

Dalam praktiknya, tidak tertutup kemungkinan akan ada penyidik yang menggunakan tenggang waktu 2 tahun apabila merujuk ke dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 huruf (b) “salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.”

Batas waktu 2 tahun itu juga sejalan dengan ikrar dalam Shighat Taklik Talak berbunyi:
“…meninggalkan istri saya selama 2 (dua) tahun berturut-turut;
Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya;
Membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya selama 6 (enam) bulan atau lebih…”

Ketiadaaan batasan waktu penelantaran dalam UU PKDRT juga menjadikan respons penyidik dalam menerima dan menangani kasus penelantaran rumah tangga menjadi beragam. Ada yang menolak, dan jikapun menerima pelaporan kasus tersebut, umumnya sulit berlanjut.

Pembuktian tindak pidana penelantaran dalam rumah tangga

Penelantaran rumah tangga dalam Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT merupakan delik formil. Artinya sepanjang sudah terjadi perbuatan menelantarkan maka unsur penelantaran sudah terpenuhi dan tidak harus dibuktikan dampak penelantaran rumah tangga tersebut. Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT juga tidak mengharuskan dalam status menikah tetapi bisa digunakan di luar yang berstatus menikah asalkan terdapat perjanjian bahwa orang tersebut diberikan tanggungjawab untuk memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan.

Berbeda dengan Pasal 9 ayat (2) yang merupakan delik materiil yang tidak hanya membuktikan perbuatannya tetapi juga harus dibuktikan dampaknya. Jika mencermati Pasal 9 ayat (2) setidaknya terdapat 2 unsur delik dalam ayat (2) yaitu :perbuatan yang sekaligus cara dan dampak. Dari segi pembuktian, Pasal 9 ayat (2) ini lebih sulit jika dibandingkan Pasal 9 ayat (1) karena harus mengaitkan dampak dengan perbuatan/caranya. Dampak dari perbuatanya adalah mengakibatkan ketergantungan ekonomi dan menyebabkan korban berada di bawah kendali.

Pasal 184 KUHAP mengatur lima alat bukti dalam perkara tindak pidana yaitu : Keterangan Saksi, Surat, Keterangan Ahli, Petunjuk, dan Keterangan Terdakwa. Setidaknya dari lima alat bukti ini, terdapat tiga alat bukti paling potensial digunakan untuk membuktikan tindak pidana penelantaran rumah tangga yaitu surat, saksi dan ahli. Untuk lebih jelasnya alat bukti yang dapat digunakan diuraikan berikut ini:

Unsur perbuatan/cara: Membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah. Alat bukti berupa: Saksi, Petunjuk.

Unsur dampak: Ketergantungan ekonomi, berada di bawah kendali orang tersebut. Alat bukti berupa: Saksi, Surat (laporan pemeriksaan psikologis, visum et psikiatrikum, ,surat hutang), Ahli.

Berdasarkan pengalaman LRC-KJHAM Semarang, keberhasilan mendorong kasus penelantaran rumah tangga sampai proses pengadilan adalah dengan melibatkan ahli. Keterlibatan ahli untuk menjelaskan tentang durasi waktu tentang tindak pidana penelantaran rumah tangga serta menjelaskan unsur-unsur pidana dalam delik penelantaran rumah tangga.

Dian Puspitasari Mahasiswa Magister Hukum Universitas Semarang, Direktur LRC-KJHAM Semarang tahun 2016 – 2018

====

Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tulisan panjang penulis tentang penelantaran rumah tangga.

Digiqole ad