Efektivitas Peran Pekerja Sosial dalam Pemulihan Korban Kekerasan Seksual
Oleh: Zainab Az Zahro
Berdasarkan pasal 1 angka 1 UU Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pekerja Sosial bahwa pekerja sosial merupakan seseorang yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai praktik pekerjaan sosial serta telah mendapatkan sertifikat kompetensi. Kriteria untuk menjadi pekerja sosial sendiri telah diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pekerja Sosial.
UU ini juga mengatur dengan detail 5 bentuk praktik pekerja sosial. Selain itu, UU ini juga mengatur standar dalam bekerjanya seorang pekerja sosial, syarat-syarat untuk menjadi pekerja sosial yang harus ditempuh (baik dari segi pendidikan yang harus ditempuh, serta registrasi dan izin praktiknya), lalu hak dan kewajiban apa saja yang harus dilakukan oleh seorang profesi pekerja sosial. Selain itu karena pekerja sosial ini dinilai menjadi profesi yang sangat penting, UUini juga mengatur agar pekerja sosial dapat bekerja sesuai standar bekerjanya maka dibentuk pula organisasinya dan dewan kehormatan kode etik.
Kehadiran pekerja sosial akan sangat membantu dalam berbagai kasus agar korban tindak pidana dapat dibantu untuk bersosial dengan optimal, menghindari disorganisasi sosial, dan masih banyak lagi (Susanti, 2020). Termasuk korban kekerasan seksual, KDRT, dan orang yang berada pada situasi yang membutuhkan peningkatan kesejahteraan sosial, Dalam hal kekerasan seksual sendiri, dimana peristiwa ini menimbulkan dampak berat bagi korban, tentu tidak hanya dibutuhkan seorang psikolog dalam mengatasi psikis korban. Namun pekerja sosial diharapkan mampu memulihkan korban agar dapat berinteraksi, mensejahterakan sosialnya dengan baik. Mereka dapat berperan sebagai pelindung, penghubung, fasilitator, mediator, pendidik, bahkan juga sebagai negosiator (Rifdah Arifah Kurniawan, 2019).
Baca Juga: Jalan Terjal RUU P-KS Menjadi RUU TPKS
Selain itu, jika dilihat sekarang kasus dalam sosial memanglah sangat komplek, termasuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh keluarga sendiri. Korban menjadi tidak merasakan adanya perlindungan dengan adanya fungsi keluarga yakni ada fungsi afeksi, sosialisasi, ekonomi, pemeliharaan (Utami Zahira, 2019). Hal itu pula menjadikan fungsi keluarga tidak berjalan dengan optimal karena ketakutan korban terhadap pelaku sesama satu tali keluarga. Disinilah pekerja sosial -yang tidak memiliki hubungan apapun- dapat mewujudkan kesejahteraan korban seperti halnya fungsi sosialisasi. Namun dalam menjamin kesuksesan dalam pemulihan tersebut haruslah setidaknya dapat menerapkan berbagai peran sesuai kondisi dan dalam penanganan dalam kasus apa, karena setiap peran tersebut juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pekerja sosial dalam pemulihan korban.
Pekerja sosial pun harus bisa memberikan pilihan kepada korban, apa yang dikehendaki korban, sehingga tidak ada pemaksaan apapun terhadap korban. Pekerja sosial tetap bekerja sesuai standar bekerjanya, meskipun terkadang bisa saja pekerja sosial mengalami dilema etis karena jalur penyelesaian dan pemulihan korban yang bersifat self-determination, dimana keputusan akhir ditentukan oleh korban. Hal ini pernah dialami oleh salah satu pekerja sosial di Rifka Annisa di Yogyakarta (Yanasari, 2021). Seperti halnya ketika menghadapi klien, klien tidak mengungkapkan kejadian kekerasan seksual secara detail demi menjaga kehormatan atau nama baik keluarga pelaku. Selain itu korban pula yang ketika proses wawancara oleh pekerja sosial, tiba-tiba tidak menginginkan proses dilanjut. Tentu saja pekerja sosial tidak dapat memaksakan kehendak korban.
Baca Juga: Menghadirkan Bantuan Hukum untuk Korban
Contoh tersebut menunjukkan bahwa sikap menghormati pilihan korban merupakan hal yang sangat penting. Namun riset tersebut juga menunjukkan adanya dilema yang dialami pekerja sosial untuk melindungi kepentingan korban. Dilema ini tentu tidak dapat diabaikan karena akan memengaruhi tindakan seorang pekerja sosial. Oleh karena itu, kehadiran regulasi UU Nomor 14 tahun 2019 sudah cukup baik, namun ini saja tidak cukup. Bagi pekerja sosial, diperlukan penguatan dan penyemangat dalam menjalankan tugasnya. Hal ini dapat dilakukan seperti kegiatan webinar motivasi pekerja sosial dari Menteri Sosial yang pernah diselenggarakan pada tahun 2022 (Fabiola Febrinastri, 2022). Upaya lainnya tentu juga sangat diperlukan agar pekerja sosial dapat bekerja secara optimal. []
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang
REFERENSI:
Arifah Kurniawan, Rifdah, R. Nunung Nurwati, Hetty Krisnani. 2019. “Peran Pekerja Sosial dalam Menangani Anak Korban Kekerasan Seksual”.Dalam jurnal: Prosiding Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat Volume 6 No 1. (hlm. 21-32)
Dwi Susanti, Erna. 26 Mei 2020. “Tujuan dan Fungsi Pekerjaan Sosial”. (wordpress). https://ernadwisusanti.com/2020/05/26/tujuan-dan-fungsi-pekerjaan-sosial/. Diakses pada 1 Februari 2023
Febrinastri, Fabiola, Iman Firmansyah. 15 Maret 2022. “Punya Tugas Mulia, Mensos Minta Pekerja Sosial Terus Berikan yang Terbaik”. (Suara.com). https://www.suara.com/news/2022/03/15/194106/punya-tugas-mulia-mensos-minta-pekerja-sosial-terus-berikan-yang-terbaik. Diakses pada 1 Februari 2023.
Yanasari, Pebri. 2021. “Dilema etis pekerja sosial dalam menerapkan self-determination dalam penanganan korban kekerasan di Rifka Annisa Yogyakarta”. Dalam Jurnal Councelle Volume 1 Nomor 1.
Zahira, Utami, Nunung Nurwati, Hetty Krisnani. 2019. “Dampak dan Penanganan Kekerasan Seksual Anak di Keluarga”. Dalam jurnal: Prosiding Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat Volume 6 No 1. (hlm. 10-20)