Dua Aspek Hukum dalam UU TPKS
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) memuat sejumlah kebaruan. Hal ini diharapkan dapat mengatasi tantangan yang selama ini dialami korban kekerasan seksual.
Kebaruan itu antara lain mengakomodasi aspek hukum materiil, hukum formal, serta peningkatan pelindungan dan pemulihan terhadap korban. Tulisan ini akan lebih dulu mengulas tentang dua aspek hukum tersebut.
- Aspek Hukum Materiil
Ini meliputi 9 TPKS beserta unsur deliknya. 9 norma baru diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU TPKS yang menetapkan 9 bentuk kekerasan seksual. Yakni pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan. Selain itu antara lain penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Aspek hukum materiil lainnya adalah terdapat 10 TPKS yang pengaturan deliknya terdapat dalam UU lain. Ini diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU TPKS yang menyatakan bahwa TPKS juga meliputi perkosaan, perbuatan cabul, serta persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/ atau eksploitasi seksual terhadap Anak. Termasuk juga perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban, pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual, dan pemaksaan pelacuran. Selain itu ada tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga, tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan TPKS, dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai TPKS.
Baca Juga: UU TPKS Ajak Korban Kekerasan Seksual Berani Lapor
- Aspek Hukum Formal
Antara lain mengatur penerimaan pelaporan oleh kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) UU TPKS. “Korban atau orang yang mengetahui, melihat, dan/ atau menyaksikan peristiwa yang merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual melaporkan kepada UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan/ atau kepolisian, baik di tempat Korban berada maupun di tempat terjadinya tindak pidana.”
Diatur juga dalam Pasal 41 ayat (4), “Dalam hal Korban menyampaikan laporan langsung melalui kepolisian, kepolisian wajib menerima Iaporan di ruang pelayanan khusus yang menjamin keamanan dan kerahasiaan Korban.”
Aspek hukum formal lainnya adalah adanya kebaruan terkait alat bukti kekerasan seksual. Selain alat bukti yang diatur dalam hukum acara pidana, UU TPKS juga menjamin alat bukti sah lain yang diantaranya berupa informasi atau dokumen elektronik, barang bukti yang digunakan, hasil tindak pidana kekerasan, dan/atau benda atau barang yang berhubungan dengan tindak pidana kekerasan seksual.
Baca Juga: Kilasan Perjalanan RUU TPKS Menjadi UU
Berbagai kebaruan dalam UU TPKS akan jauh lebih bermanfaat dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, bila berbagai kalangan bersinergi untuk mendorong implementasi UU ini agar berjalan efektif dan optimal. Oleh karena itu, berbagai aspek yang diatur dalam UU TPKS perlu diketahui seluas-luasnya oleh masyarakat. [Nur Azizah]