Di Balik Intervensi Lisan dalam Sidang Komite CEDAW

 Di Balik Intervensi Lisan dalam Sidang Komite CEDAW

Suasana saat dialog informal Komite CEDAW dengan masyarakat sipil, Senin (25/10/2021) (Sumber: UN TV)

JAKARTA, JALASTORIA.ID – Pada Senin malam, (25/10/2021), lima perwakilan jejaring masyarakat sipil di Indonesia menyampaikan intervensi lisan (oral intervention) atau pernyataan lisan (oral statement) dalam dialog informal bersama Komite CEDAW. Dalam durasi total 10 menit bagi setiap negara, tiap juru bicara berbagi waktu menyampaikan isu krusial berdasarkan laporan bayangan (shadow report) yang telah dikirimkan kepada Komite.

Bagaimana lika-liku dalam menghadiri forum tersebut dan bagaimana manfaat forum itu terhadap upaya peningkatan implementasi CEDAW (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against Women) di Indonesia? Berikut ini enam hal yang JalaStoria rangkum berdasarkan wawancara dengan Mike Verawati (27/10/2021), Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia yang menjadi juru bicara dari CEDAW Working Group Indonesia (CWGI).

 

  1. Persiapan Jauh Hari

Saat masing-masing juru bicara menyampaikan paparan, dalam siaran yang dapat disimak melalui UN TV tersebut terlihat prosesnya berjalan dengan lancar. Berdasarkan pantauan JalaStoria selama siaran itu berlangsung, tidak terlihat kendala sinyal yang seringkali membuat koneksi suara atau gambar terputus sebagaimana kegiatan dengan metode virtual. Masing-masing juru bicara dapat menuntaskan seluruh paparan tanpa terganggu dengan kendala jaringan komunikasi.

Baca Juga: Pelaksanaan CEDAW, Masyarakat Sipil Hadiri Dialog dengan Komite

Hal itu ternyata terkait dengan persiapan yang telah dilakukan sebelumnya.  “Persiapan sudah dilakukan jauh hari sebelumnya, mengingat metode secara virtual baru pertama kali dilakukan, di mana sebelumnya dilakukan secara offline,” jelas Mike.

Selain itu, menurut Mike, terdapat panduan teknis disediakan oleh UNOC dan OHCHR, sehingga setiap juru bicara sudah menyiapkan diri untuk masuk ke ruang rapat virtual dengan menggunakan background yang jelas. Setiap juru bicara juga mengikuti ketentuan mengenai pengaturan pencahayaan dan memastikan kejernihan suara melalui perangkat yang digunakan.

 

  1. Ketepatan Waktu

Dalam dialog yang berlangsung  hampir 1,5 jam itu, setiap juru bicara diberikan alokasi waktu yang sangat ketat. “Durasi 2 menit ya 2 menit,” ungkap Mike.

Mike mengungkapkan, saat tiba giliran untuk berbicara, tim dari Komite langsung memulai hitungan waktu. “Bagi setiap orang itu ada mekanisme jam, jadi otomatis kita bicara itu betul-betul dilihat berdasarkan waktu oleh alat yang disediakan,” jelas Mike. Keberadaan timer itu rupanya menjadi instrumen untuk mengukur waktu bicara sesuai alokasi yang diberikan.

Setiap orang strick bicara sesuai waktu yang diberikan,” ungkap Mike. Apabila tidak tepat waktu, otomatis sistem akan menonaktifkan microfon pembicara. Demikian juga ketika seorang pembicara telah selesai menyampaikan paparan, secara otomatis dikondisikan keluar dari ruang virtual.

 

  1. Penentuan Paparan

Dalam dialog informal tersebut, terdapat lima jejaring masyarakat sipil Indonesia yang terdaftar untuk menyampaikan intervensi lisan. Yaitu, CWGI, jaringan perempuan Papua, jaringan pemerhati isu perempuan dan pembangunan, jaringan pemerhati isu kekerasan berbasis gender dan hak dan kesehatan seksual dan reproduksi, dan Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI).

Baca Juga: Mengawal CEDAW di Indonesia

Dalam intervensi lisan tersebut, dari lima klaster isu yang dikawal oleh masyarakat sipil, Mike mewakili CWGI menyampaikan klaster isu kerangka hukum dan impunitas pelaku. Berbagai permasalahan yang diuraikan dalam klaster isu ini antara lain persoalan UU yang masih mendiskriminasi perempuan ataupun menguatkan impunitas pelaku. Demikian pula permasalahan kebijakan diskriminatif sebagai permasalahan yang masih belum selesai.

“Di laporan sebelumnya pada 2012, isu kebijakan diskriminatif juga menjadi sorotan,” tegas Mike.

Mike menjelaskan, terdapat 421 kebijakan diskriminatif yang belum dicabut. Namun belum ada tindakan dari pemerintah untuk mencabut perda-perda itu meskipun sudah beberapa kali diminta. Itulah yang menjadi alasan bagi CWGI untuk mengangkat permasalahan ini agar Komite CEDAW dapat memberikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia untuk mencabut kebijakan diskriminatif itu.

Selain itu, Mike juga menyampaikan permasalahan dan rekomendasi terkait kebijakan di Indonesia. Antara lain rekomendasi untuk mencabut dan merevisi UU Cipta Kerja dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Demikian juga beberapa RUU yang masih belum dibahas atau mandek, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar dapat segera dibahas.

Termasuk yang tidak terluput adalah RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ditengarai masih memiliki pasal-pasal yang diskriminatif terhadap perempuan. Misalnya, terkait pengaturan tentang aborsi, ketiadaan perlindungan korban, permasalahan kesehatan reproduksi, dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. “Berbagai permasalahan itu kita juga angkat supaya pemerintah dapat menghasilkan RUU pidana yang menjamin keadilan bagi semua tanpa terkecuali,” urai Mike.

Dalam waktu yang terbatas hanya 2 menit itu, Mike juga menyampaikan rekomendasi untuk meratifikasi Optional Protocol CEDAW dan sejumlah Konvensi terkait ketenagakerjaan. Antara lain, Konvensi ILO 183 tentang Perlindungan Maternitas dan Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga. Demikian pula terhadap RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender untuk dapat dilanjutkan kembali proses pembahasannya. UU lainnya yang menjadi sorotan untuk direvisi adalah UU Perkawinan dan UU Paket Politik khususnya agar UU Sistem Pemilu dan UU Parpol mendorong secara berkualitas affirmative action untuk mendukung perempuan ketika berproses dalam pemilu.

Baca Juga: Perma 5 Tahun 2019: Benteng Terakhir Cegah Perkawinan Usia Anak Melalui Pengadilan

  1. Tanggapan Komite CEDAW

Berdasarkan paparan dari masyarakat sipil Indonesia, terdapat sejumlah pertanyaan dan tanggapan dari Komite CEDAW. Antara lain, “Mereka mempertanyakan mengapa UU Cipta Kerja menjadi UU yang merugikan perempuan? Di mana tekanan diskriminasinya terhadap perempuan?” jelas Mike seraya menambahkan, penjelasan atas pertanyaan itu sebenarnya sudah diuraikan dalam laporan bayangan (shadow report) atau laporan alternatif (alternative report) yang telah dikirimkan masyarakat sipil.

Oleh karena itu, melalui forum tersebut, masyarakat sipil kembali memperkuat argumentasi kenapa UU Cipta Kerja dipermasalahkan. “Sebenarnya apa yang menjadi masalah dan kenapa ini harus dicabut,” jelas Mike.

Pertanyaan lainnya dari Komite CEDAW antara lain terkait dengan kekerasan berbasis gender online, perkembangan situasi Papua, kekerasan terhadap pekerja migran, dan permasalahan yang dialami transgender.

 

  1. Forum Strategis

Melalui dialog informal dengan Komite CEDAW pada Sesi ke-80 yang digelar 18 Oktober sampai 12 November 2021 ini, Mike mengakui hal ini merupakan kesempatan yang strategis untuk mengingatkan Pemerintah atas kewajiban yang harus dilaksanakan berdasarkan ratifikasi CEDAW. “Situasi diskriminasi terhadap perempuan tetap disuarakan di tingkat internasional sehingga ada intervensi kepada negara untuk serius mengimplementasikan CEDAW dan memastikan mandat konvensi ini dalam kebijakan dan peraturan-peraturan di Indonesia,” tegasnya.

Secara khusus, Mike menyatakan intervensi lisan dalam dialog informal itu sangatlah penting untuk menjaga perhatian Komite pada permasalahan tertentu. “Mengingat banyak laporan yang masuk, intervensi lisan ini membantu Komite untuk melihat situasi yang sudah disampaikan dalam laporan.” Dalam kesempatan ini, masyarakat sipil juga dapat menggarisbawahi beberapa hal untuk didengarkan langsung oleh Komite sehingga dapat juga ditanyakan oleh Komite.

Menurut Mike, mungkin terdapat kesulitan tersendiri bagi Komite untuk melihat sejumlah isu yang perlu mendapatkan penekanan dalam laporan. “Jika membaca laporan, tiap konsorsium saja bisa membuat 30 halaman. Dengan intervensi lisan ini, komite bisa mendengarkan isu yang krusial, karena kami juga mengangkat beberapa isu yang krusial dan memperkuat beberapa isu yang masih terbatas disampaikan dalam laporan,” jelas Mike.

 

  1. Harapan kepada Pemerintah

Berdasarkan proses pelaporan periodik implementasi CEDAW sebelumnya,  Komite akan menyampaikan pertanyaan berdasarkan list of issues (daftar isu) yang sudah dikirimkan seebelumnya. Selain itu, Komite juga akan menyampaikan pertanyaan berdasarkan rekomendasi dari laporan sebelumnya, apakah sudah dijalankan atau tidak.

List of issues ini juga dikomunikasikan dengan NGO, misalnya pemerintah mengatakan ada keberhasilan dan capaian, itu yang kita jawab,” ungkap Mike.

Oleh karena itu Mike berharap Pemerintah Indonesia terbuka mengakui terhadap berbagai situasi yang terjadi dalam implementasi CEDAW. Selain itu Mike menyatakan, masyarakat sipil juga berharap pemerintah dapat melihat apa saja yang sudah disusun dan menjadi mandat untuk dijalankan secara serius. “Bukan hanya setelah sesi semacam ini, maju, membacakan, lalu rekomendasi disimpan,” ujar Mike.

Harapan lainnya, agar Pemerintah Indonesia tidak resisten dan defensif, dan sebaliknya menerima masukan yang dibawakan dalam laporan alternatif dari masyarakat sipil. Selain itu, negara juga diharapkan mengimplementasikan CEDAW secara serius.

Menurut Mike, jika setiap orang menggunakan CEDAW, persoalan diskriminasi dan kekerasan ini bisa diatasi. [MUK]

 

 

 

Digiqole ad