Dengan atau Tanpa Anak, Perempuan Tetap Perempuan
Memilih untuk childfree sudah saya utarakan kepada pasangan jauh-jauh hari sebelum kami menikah. Bagi saya ini adalah hal penting yang perlu disampaikan sebelum akhirnya kami memilih tinggal serumah. Alhasil, kami menikah dan tetap memegang komitmen tadi.
Tentu saja pertanyaan muncul dari sana-sini. Layaknya pasangan rumah tangga lain yang selalu dicecar pertanyaan soal momongan, saya pun demikian. Keluarga pasangan yang lebih sering menanyakan ini ketimbang keluarga saya. Mungkin karena keluarga saya paham riwayat kesehatan yang pernah singgah ke dalam organ reproduksi saya saat remaja dulu.
Saat duduk di bangku SMA dulu, saya memiliki kista seberat 4 kilo. Lepas ujian kelulusan saya operasi. Indung telur kanan saya, tempat kista tumbuh dan berkembang, ikut pula “diangkat.” Kala itu dokter menyarankan agar saya segera menikah. Katanya agar saya segera hamil. Sebab, kalau terlalu lama ada kemungkinan saya akan susah untuk hamil dan melahirkan.
Saran dokter tak membuat saya berkecil hati. Pikirku waktu itu, memiliki anak atau tidak sama saja. Toh saya tetap seorang perempuan. Seorang manusia yang punya banyak cara untuk bisa berguna.
Baca Juga: Kontrasepsi Bukan Urusan Perempuan Saja
Sepanjang 11 tahun perjalanan berumah tangga, kami bahagia. Terang, gelap, jatuh, dan bangun kehidupan adalah hal wajar yang dialami setiap kehidupan berelasi. Tapi, tak sedikit pun kami mempermasalahkan perihal anak. Terlebih bagi saya yang terbiasa momong keponakan semasa remaja dulu. Bagi saya, ini jadi salah satu alasan mengapa saya memilih childfree.
Kami, saya dan pasangan, memahami jika orang tua (tepatnya mertua) mengupayakan ikhtiar mulai dari kurma muda, buah dzuriyat, dan cara lain. Hingga suatu hari saya menceritakan keputusan kami. Shock pasti iya. Tapi, ini cara terbaik yang bisa kami lakukan agar orang tua tak menaruh harapan kepada kami.
Sejak saat itu, orang tua tak lagi menanyakan hal itu. Kami beruntung dan bersukur memiliki orang tua yang bisa memahami dan menghargai pilihan kami.
Penghargaan itulah yang kemudian menghadirkan empati. Kami tak pernah membandingkan pilihan dan kebahagiaan kami dengan pasangan lain yang memiliki anak. Tapi, eits, sebaliknya, mereka yang kadang membandingkan kami dengan dirinya. Saat saya memberi sedikit saran tentang pengasuhan misalnya, mereka kerap kali menolak mentah-mentah, “kamu kan enggak punya anak, enggak punya pengalaman itu,” atau dengan ucapan, “Alah, tahu apa kamu tentang anak.”
Semua itu tak menciutkan keputusan saya sebagai perempuan yang memilih childfree. Tapi ada pula yang menyikapi positif pendapat saya terkait pengasuhan, “pendapatmu malah bisa lebih obyektif ketimbang orang tua lain yang ujung-ujungnya membandingkan anaknya dengan anak orang lain.”
Baca Juga: Gender dan Permasalahan Citra Tubuh
Segala sesuatu memang ada plus minusnya. Begitu pula pandangan sebagian orang terkait pilihan childfree. Ada yang memandang kalau perempuan yang memilih childfree adalah menyalahi fitrah. Ada pula yang beranggapan kalau tanpa anak saya atau pasangan akan kesepian jika kelak salah satu dari kami lebih dulu “berpulang.” Belum lagi pendapat, “kalau ada anak kan kalau tua nanti ada yang ngopeni.” Semuanya kami dengarkan saja, tanpa harus singgah di hati. Tapi dalam hati saya bergumam, dengan atau tanpa anak, fitrah perempuan tak berubah. Organ reproduksinya pun tetap sama.
Childfree adalah keputusan saya dan suami. Saat saya utarakan hal itu dia bahkan tak perlu waktu lama untuk menganggukkan kepala. Saya lalu menanyakan alasannya. Dia katakan, selain menghargai pilihanku, orientasinya menikah bukan untuk mempunyai anak. Terlebih dia juga tak mau lagi mengurus anak seperti dulu dia membantu mengasuh keponakan. Dari sini kami bermufakat untuk saling mengasihi, menjaga, dan memberikan yang terbaik satu sama lain.
Perempuan selalu jadi buah omongan. Punya anak tak terurus, perempuan yang disalahkan. Memilih tak punya anak, perempuan pula yang jadi bulan-bulanan. Padahal, perempuan yang memilih dengan atau tanpa anak, tak mengubah jenis kelaminnya sebagai perempuan. Toh peran ibu tak melulu tumbuh dari perempuan yang pernah hamil dan melahirkan. []
Sebagaimana disampaikan oleh penulis kepada JalaStoria. Identitas penulis ada pada JalaStoria.