“Dari #NamaBaikKampus: Aku Enggak Menyerah, Aku Enggak Padam…”

 “Dari #NamaBaikKampus:  Aku Enggak Menyerah, Aku Enggak Padam…”

Cover Buku (Sumber: Koleksi Pribadi)

Oleh: Siti Aminah Tardi

 

Judul: #NamaBaikKampus: Kolaborasi Media Ungkap Berbagai Dugaan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Indonesia

Penulis: Sarjoko S

Penerbit: Gading,2022

Cetakan Pertama,184 + xxxii halaman

 

Saya menerima buku #Nama Baik Kampus, Kolaborasi Media Ungkap Berbagai Dugaan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, karya Sarjoko sebagai hadiah lebaran. Saat bersamaan, saya sedang mengecek pendapat hukum kasus pelecehan seksual di Universitas Riau yang oleh hakim tingkat pertama dinyatakan tidak terbukti karenanya Terdakwa dibebaskan. Hambatan keadilan dan pemulihan korban kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi masihlah terjal dan berliku. Tidak hanya di Riau, kasus serupa juga terjadi di Palopo, Palembang, Ambon dan Cirebon. Minimal itu yang sedang terpantau dengan beragam respons.

Tidak perlu waktu lama untuk membaca buku setebal 174 halaman ini. Diedit dengan baik, dalam artian tidak seperti sedang membaca tesis yang biasanya akan membosankan atau mengernyitkan dahi atau harus didampingi buku lain. Walaupun terdapat catatan yaitu pengulangan informasi antarsatu bagian dengan bagian lain, ketidaktepatan penggunaan istilah hukum, juga tidak ada kronologi kampanye dan kasus Agni untuk membantu pembaca memahami konteks kasus Agni dan kampanye ini. Namun, buku ini menjadi dokumentasi penting perjalanan sebuah kolaborasi. Bagi saya buku ini menjadi proses refleksi penanganan kasus, antara dulu dan kini, juga perkembangan kebijakan.

Baca Juga: Hentikan Kriminalisasi Korban Pelecehan Seksual di UNRI, Implementasikan Permendikbudristek 30/2021 Sekarang Juga!

Catahu Komnas Perempuan 2022  mencatat kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan usia dini sampai pendidikan tinggi. Pada 2015-2021, Komnas Perempuan menerima 62 kasus. Perguruan Tinggi menempati urutan pertama (35%), disusul pesantren atau pendidikan berbasis Agama Islam (16%), SMA/SMK (15%), sisanya tidak menyebutkan jenjang (11%). Pelaku umumnya adalah tenaga pendidik, yang jika digabungkan antara guru/ustadz, dosen, dan kepala sekolah, jumlah pelaku adalah 52 orang (77%). Jenis kekerasan didominasi kekerasan seksual (87.91%), terutama  perkosaan ( 85%) selain pencabulan dan pelecehan seksual.

Pengalaman korban yang mengalami hambatan keadilan dan pemulihan yang kemudian memengaruhi hak atas pendidikan, dikomunikasikan kepada dan oleh berbagai pihak serta direkomendasikan pencegahan dan penanganannya. Kementerian Agama meresponnya dengan menerbitkan Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam. Pada 2021, dari 48 Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, seluruhnya sudah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dan 23 diantaranya sudah disahkan melalui SK Rektor. Kini, SK akan ditingkatkan menjadi Peraturan Menteri Agama, agar dapat menjangkau seluruh lembaga pendidikan berbasis agama.

Sedangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Peraturan Menteri 30/2021 yang menimbulkan polemik, termasuk uji materiil ke Mahkamah Agung untuk frasa “tanpa persetujuan korban”. Informasi ini melengkapi informasi situasi kekerasan seksual di lingkungan kampus, mengingat penulis menyatakan “tidak ada data spesifik yang menyebut jumlah kasus di kampus” (hal 72) dalam Catahu. Informasi kekerasan seksual per issue juga dapat dimintakan atau diakses melalui situs, seperti kekerasan di lingkungan pendidikan.

Baca Juga: Menyikapi Pro Kontra Permendikbud PPKS (Bagian I)

Evi Mariani –Project Multatuli- menyatakan penerbitan ini menjadikan dirinya mampu berjarak untuk “lebih menyadari nilai dari kolaborasi…sekaligus menjadi catatan jurnalisme dalam  kekerasan seksual di tahun krusial” (hal xvi). Tahun krusial yang dimaksud adalah 2022, kurun waktu apakah Indonesia akan mengambil jalan status quo, membiarkan para pelaku tetap menikmati impunitas? Ataukah mengambil jalan perubahan, jalan di mana korban dan penyintas kekerasan seksual, di manapun, bisa mendapatkan keadilan dan pelaku dianggap sebagai pelaku kejahatan (hal xvii)?

Pertanyaan Evi telah terjawab dengan disetujuinya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi undang-undang pada 12 April 2022, yang akan memperkuat upaya-upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. Juga, Mahkamah Agung telah menolak permohonan uji materiil Permendikbud 30/2021 dan menyatakan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga kita bisa berkonsentrasi untuk melaksanakannya.

Apakah cukup? Tidak. Seperti yang disampaikan Hairus Salim HS dalam pengantarnya, bahwa “masih banyak orang yang berpikiran tertutup dan gagal melihat aspek kekerasan dalam relasi kuasa…pandangan patriarki ini dibentuk oleh pandangan kultural yang akarnya sangat dalam, sehingga tak mudah untuk dicabut begitu saja (hal xii). Upaya kolaboratif  #NamaBaikKampus adalah bagian kecil dari upaya melawan nilai patriarki yang kuat dan kokoh, yang terus dijaga sedemikian rupa oleh para pemilik kuasa. Tulisan ini akan menggambarkan perjalanan dan pembelajaran yang dapat ditarik dari kolaborasi ini.

 

Perjalanan #NamaBaikKampus

Gerakan #MeToo menginspirasi Fahri Salam -saat itu bergabung di Tirto- untuk meliput kekerasan seksual dengan perspektif yang benar (hal 44). Benar itu tentunya memenuhi kaidah jurnalistik, tidak menempatkan korban sebagi obyek pemberitaan dan mendorong lahirnya perubahan. Bersama Aulia Adam, Tirto melakukan indepth liputan kekerasan seksual termasuk dengan membuka email dan komunikasi bagi para korban atau yang mengetahui kekerasan seksual. Di tengah liputan, Balairung Universitas Gajah Mada (UGM) menerbitkan laporan berjudul “Nalar Pincang UGM dalam Kasus Kekerasan Seksual”, yang menjadikan liputan kasus kekerasan seksual di kampus mendapatkan momentum.

Pada November 2018, Tirto menginisiasi kolaborasi untuk memberitakan secara investigatif kasus-kasus kekerasan seksual di kampus. Kolaborasi dilakukan bersama The Jakarta Post, BBC Indonesia, dan VICE Indonesia. Nama kolaborasi dan tagar yang disepakati adalah #NamaBaikKampus. Pilihan ini “untuk merebut diskursus nama baik kampus bukan sebagai upaya menutupi kasus, tetapi kampus justru membantu para korban mendapat respons yang baik” (hal 76). Sebagai upaya merebut tafsir, pilihan ini berhasil. Selama ini kita bersembunyi di balik nama baik, yang tidak dapat dilepaskan dari ketidakmampuan untuk membedakan antara kekerasan seksual dan aktivitas seksual di luar perkawinan yang dianggap tidak bermoral. Ini kemudian dipahami berarti kegagalan dalam memberikan pendidikan moralitas dan akan memengaruhi kompetisi atau kondite lembaga, termasuk kepemimpinan kampus. Maka nama baik dijadikan tameng untuk membungkam, menyalalahkan korban, dan menolak mengakui terjadinya kekerasan seksual. Akibatnya, terus terjadi impunitas dan kampus menjadi ruang yang tidak aman bagi perempuan.

Setahu saya paska kolabarasi ini, tagar serupa yaitu #NamaBaikPesantren muncul sebagai upaya mengungkap kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Komitmen politik juga disampaikan Menteri Pendidikan yang dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa kampus yang baik bukanlah kampus yang dilaporkan tidak ada kekerasan seksual, melainkan kampus yang mampu menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Komnas Perempuan mengusung tema “Utamakan Korban, Nama Baik Kesampingkan” dalam Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2020 sebagai pengingat kepentingan korban yang harus diutamakan semua pihak.

Model kolaborasi ini adalah masing-masing media mendapat jatah liputan, membuat form testimoni korban dan hasil liputan disimpan dalam folder penyimpanan dengan akses terbatas. (hal 57). Keempat media menyepakati multinewsroom collaborative agreement (MCA) terdiri dari 12 point kerjasama, mulai dari tidak bolehnya melakukan intervensi, konsekuensi hukum sampai kepada hal-hal yang bersifat teknis (hal 61-63).

Pembagian liputan yaitu VICE: Primarkara Bali, The Jakarta Post: UGM dan Yogyakarta, BBC: Universitas Padjajaran (UNPAD) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung, dan Tirto: Universitas Jember (hal 74). Pembagian kerja ini berjalan sesuai rencana, kecuali liputan di Jember karena ketidaksiapan korban. Formulir testimoni yang menjadi basis data untuk melakukan investigasi disebar secara online pada 13 Februari hingga 28 Maret 2019. Hasilnya terdapat 207 kasus yang masuk, 174 kasus di antaranya terjadi di perguruan tinggi yang terjadi di 79 kampus dan tersebar di 29 kota (hal 82).

Terdapat 3 kriteria sebuah kasus diliput yaitu: (1) Kesiapan korban untuk bercerita; (2) Sudah dilaporkan ke kampus; dan (3) Ada banyak korban dengan satu pelaku yang sama (hal 101). Kasus Agni di UGM menjadi kasus yang diberitakan secara bersama-sama oleh keempat media. Hal ini terpicu konferensi pers UGM yang menyatakan kasus Agni berakhir dengan damai. Kepada Jakarta Post, Agni untuk kali pertama menyampaikan pendapatnya langsung bahwa “aku enggak menyerah, aku enggak padam…” terkait form kesepakatan yang ditandatanganinya dan targetnya untuk meningkatkan kesadaran dan mengubah kebijakan. Perjalanan Agni seperti halnya para korban lainnya menjadi pembuka jalan bagi perubahan dan diakuinya pengalaman korban.

Kolaborasi ini kemudian memenangkan penghargaan SOPA Award for Public Service Journalism dan Tasrif Award 2020. Dalam buku ini, penulis secara tidak langsung megidentifikasi faktor-faktor keberhasilannya. Pertama, jejaring pertemanan baik antarjurnalis maupun akses kepada narasumber. Kedua, kepercayaan terhadap kompetensi jurnalis yang tergabung yaitu telah memiliki perspektif korban dan pengalaman jurnalistik yang mumpuni. Ketiga, pilihan media kolaborasi.

 

Pembelajaran

elalui buku ini, saya mendapatkan pembelajaran, di antaranya:

  1. Pemanfaatan Teknologi untuk Komunikasi dan Data

Kolaborasi ini menggunakan tiga platform yaitu Slack untuk grup percakapan online di antara anggota tim, Dropbox untuk menyimpan data-data liputan, rekaman dan dokumen lainnya dan Google.doc untuk pengumpulan informasi atau cerita korban. Di mana ketiganya cuma-cuma dan memiliki kerentanan terjadinya kebocoran data. Untuk membuat platform security sendiri memerlukan waktu dan biaya, sementara tim segera membutuhkan data untuk menjadi bahan liputan. Kerentanan keamanan digital ini sendiri tidak dapat dilepaskan dari upaya perlindungan terhadap korban atau narasumber lainnya. Dari pembelajaran ini, maka menjadi tantangan untuk membangun platform security yang aman.

 

  1. Perlindungan Whistleblower

Pemberi informasi kasus kekerasan seksual oleh Sarjoko disebut dengan Whistleblower atau peniup pluit. Pemberi informasi  bisa dilakukan oleh internal kampus atau eksternal kampus. Upaya perlindungan yang dilakukan adalah dengan membatasi akses pada data dan menggunakan nama samaran. Kerahasiaan ini menjadi penting agar keamanan juga karir di kampus tidak terganggu akibat pemberian informasi. Untuk penanganan kekerasan seksual, memang belum seperti penanganan tindak pidana korupsi. Hal ini menjadi salah satu perbincangan saya dengan pegiat antikorupsi dan menjadi pekerjaan rumah selanjutnya.

 

  1. Paparan Trauma

Sarjoko mengungkapkan bagaimana Aulia Adam dan Wan Ulfa mengalami apa yang disebut dengan Secondary Traumatic Stress. Yaitu tingkah laku dan emosi sebagai akibat dari pengetahuan mengenai suatu peristiwa trauma yang dialami orang lain. Seperti adanya peningkatan emosi, lemas, marah, lelah sampai penundaan penulisan. Untuk meminimalisasinya, dibangun pengetahuan paparan trauma, keterampilan untuk membangun pertahanan, dan mekanisme healing. Sayangnya, tidak dieksplorasi bagaimana tim ini menyiapkan diri dan mengatasi paparan trauma. Kolaborasi terkait dengan kekerasan berbasis gender, tim yang terlibat sebaiknya didampingi oleh psikolog sebagai bagian untuk menjaga kesehatan mental para jurnalis.

 

  1. Keterbatasan Finansial

Kolaborasi ini tidak memiliki penyandang dana untuk melakukan investigasi kasus. Sejak awal keempat media berkomitmen untuk menjadikan biaya liputan sebagai tanggungjawab masing-masing. Akibatnya jurnalis yang terlibat tidak mendapatkan insentif, hanya mendapatkan gaji bulanan dari medianya. Karenanya walau bukan segalanya, ketersediaan pembiayaan menjadi langkah penting untuk dipersiapkan, termasuk dengan kemungkinan membuka dana publik.

 

  1. Perbedaan Sistem Hukum

Salah satu titik perjalanan #NamaBaikKampus adalah mundurnya BBC Indonesia dari kolaborasi. Pilihan ini didorong keputusan VICE untuk memenuhi keinginan korban yang tidak menggunakan anominitasnya, sementara kasusnya baru dilimpahkan ke pengadilan. Hal ini dapat dipahami, karena BBC Indonesia menginduk ke kantor pusatnya di London. Di mana dalam sistem negara anglo saxon terdapat subjudice atau “di bawah penghakiman” yaitu periode ketika seseorang ditangkap, ditahan, dan berakhir ketika hakim atau juri memberikan vonis. Wartawan sangat ketat dan terbatas untuk hal-hal yang bisa mereka tulis. Tujuannya untuk memastikan tidak mengganggu pekerjaan pengadilan dalam memberikan ruang kepada para penegak hukum dan terdakwa akan persidangan yang adil. Atau tidak terjadi ‘trial by press. Di Indonesia sendiri sudah ada aturannya, namun kurang dioperasionalisasikan secara baik. Yaitu UU Pers yang mewajibkan untuk memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Positifnya, tiga media lain menghormati pilihan BBC Indonesia.

Baca Juga: Aksi Solidaritas Media Dibutuhkan Korban Kekerasan

  1. Dukungan Masyarakat Sipil, Mahasiswa, dan Dosen Progresif

Fahri menarik simpulan atas pertanyaan “Mengapa kasus di Yogya bisa gede, di tempat lain tidak?” (hal 71), Jawabannya adalah adanya dukungan gerakan masyarakat sipil, mahasiswa, dan dosen progresif yang sudah terbangun yang dapat memantau kasus ini. Saya menyepakatinya, sekaligus menjadi tantangan di daerah-daerah lain untuk membangun kondisi obyektif ini.

Kampanye ini, menjadi salah satu penggedor kesadaran atas kebutuhan perlindungan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual. Kini UU TPKS telah disetujui menjadi undang-undang, maka kerja-kerja kolaboratif seluruh komponen masyarakat, termasuk kampanye serupa ini tetap harus dilakukan. Tidak lain tidak bukan untuk memastikan korban kekerasan seksual terpenuhi haknya atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan, karena korban itu kuat, “Enggak Menyerah, Enggak Padam…” Ditunggu kolaborasi selanjutnya. []

 

 Komisioner Komnas Perempuan 2020-2024, tulisan ini tidak mencerminkan pendapat institusi.

 

 

 

Digiqole ad