Calon Janda Membaca Novel Janda: Tokoh-tokoh Perempuan yang Menguatkan
Oleh: Dewi Nova
Ada dua novel yang menjadi sahabat karibku selama aku menyepi di Ubud. Redition of My Soul karya Desak Yoni dan Sarita Newson dan trilogi Janda dari Jirah yang ditulis Cok Sawitri. Sejak muda, bila menghadapi masalah yang pelik aku senang mengambil waktu untuk diri sendiri di Ubud. Tentu, Ubud hari ini tidak setenang Ubud di masa aku muda. Tapi aku masih dapat menikmati jalan pagi di area perbukitannya dan menikmati seni di galeri-galeri dan pertunjukan-pertunjukan. Yang juga mendukungku, aku masih bisa mencari homestay yang bersih dengan harga terjangkau.
Kali ini, aku memutuskan tinggal beberapa waktu di Ubud untuk mencerna peristiwa yang tak pernah kubayangkan, yaitu permintaan poligini dari suamiku dan seorang perempuan yang aku kenal sebelumnya. Ibarat perahu, aku sedang mengarungi ombak yang hebat. Pantai yang kutuju sudah kuputuskan, yaitu tempat berlabuh yang bebas dari sistem poligini. Bila suamiku melanjutkan kehendaknya –baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi- maka keputusan terbaikku selanjutnya adalah menjadi janda. Bisa dikatakan perjalananku ke Ubud kali ini adalah perjalanan berlatih menjadi janda.
Dalam situasi berkecamuk seperti ini, aku lebih suka berbicara dengan diri sendiri daripada bertemu orang untuk curhat atau meminta bantuan konselor atau psikolog. Kalaupun suatu saat aku membutuhkan dukungan dari luar, terlebih dulu aku mesti jernih dan jelas ke mana aku akan melangkah. Aku tak ingin berjumpa siapa pun dalam keadaan aku tak sungguh mengenali suasana batinku.
Baca Juga: Rumah Tempat Kembali
Selama seminggu mengelola sendiri kepala yang overthinking dan perasaan yang rombeng ternyata bukan perkara yang mudah. Aku mulai menyusuri beberapa toko buku di Ubud, mencari buku yang sekiranya dapat menemaniku, sekaligus membantuku mengenali budaya di Bali. Sehingga aku juga dapat berpijak di bumi tempat aku mengungsi. Agar aku tak menjadi turis yang hampa dan berpusat pada diri sendiri. Bukankah aku memilih Ubud, karena aku menikmati wangi bunga-bunga sesaji yang dijual di pasar Ubud. Kidung puja yang dinyanyikan para perempuan di sekitar homestay pada jam 9 pagi. Juga bangunan pura yang dramatis di depan balkon kamar tempat aku menginap.
“Apakah ada buku tentang Bali yang ditulis perempuan Bali?” tanyaku pada penjaga toko yang banyak menjual buku berbahasa Inggris. Ia menyodorkan novel yang diangkat dari kisah nyata penulisnya. Seorang perempuan Bali berasal dari sebuah desa di Ubud bagian utara.
Waktu kulihat halaman demi halaman secara cepat, dadaku berdebar kencang. Inilah buku yang kucari: Tentang perjuangan hidup seorang perempuan yang dipencundangi pasangannya. Perempuan yang juga terikat interpretasi tradisi Hindu-Bali yang membuatnya semakin sulit keluar dari lingkaran patriarki dalam perangkap perasaan cinta.
Selanjutnya, novel berjudul Renditions of My Soul itu menjadi teman sarapanku sekaligus temanku sebelum aku berangkat tidur. Agama aku dan agama perempuan pada tokoh novel ini berbeda, tapi aku menemukan benang merah pada bagaimana selubung patriarki pada interpretasi dan praksis beragama telah menimbulkan kesulitan pada kehidupan kami sebagai perempuan. Demikian juga pada interpretasi -praksis budaya Bali dan Sunda (budayaku) yang berjalin dengan interpretasi agama terutama di tingkat keluarga dan masyarakat sekitar.
Baca Juga: Di Tahun Kelima Perkawinanku
Tentu ada konteks yang berbeda antara keseharianku dengan tokoh perempuan pada novel ini, dan tetap pada bagian ini pun aku berguru. Seperti konteks sosial Ubud yang semakin mengkomoditikan banyak hal untuk meraup uang. Juga tekanan sebagai isteri expatriat yang dikontruksi harus selalu kaya, tinggal di villa dan membiayai keluarganya. Ya, walaupun sang isteri lebih banyak disiksa, bahkan dieksploitasi secara ekonomi.
Membaca buku karya Desak Yoni membuat aku melihat Ubud, Bali dengan mata yang lebih telanjang. Bukan lagi mata seorang pelancong yang hanya menangkap yang wow saja. Sekaligus aku merasa ditemani, terutama pada bagian cerita bagaimana si tokoh aku merasa tidak lagi mengenali suaminya. Bagaimana seorang pasangan yang penuh cinta berubah menjadi monster yang menghancurkan relasi yang sudah dirawat bertahun-tahun. Si tokoh aku juga berbagi bagaimana ia pada akhirnya dapat meninggalkan perasaan cintanya yang tak hanya buta tapi membahayakan hidupnya.
Novel yang menyajikan pertempuhan hidup – proses sintas yang sungguh pelik dan berani. Kisah yang membantu kedua kakiku lebih kokoh mengawali hari baru.
Buku kedua, novel trilogi Janda dari Jirah yang ditulis Cok Sawitri. Novel yang ditulis berdasarkan peristiwa sejarah yang terlarang diceritakan di era kejayaan Kediri, karena dapat mengguncang kekuasaan Rake Halu Dharmmawangsa Airlangga. Cerita berpusat pada tokoh Ibu Ratna Manggali atau Rangda ing Jirah (Janda dari Jirah), pemimpin kabikuan Budha Tantra dengan para pendeta yang tidak menggunting rambut dan tidak berambisi memasuki nirwana. Dari wilayah Jirah, Ibu Ratna Manggali menggoncang tahta Airlangga dengan perluasan wilayah dan penyebaran ajaran yang semakin lama semakin banyak pengikutnya. Puncaknya adalah ketika Airlangga akan menobatkan putrinya menjadi pewaris Kediri. Dari kabikuan Jirah, muncul seseorang yang membuat Kediri harus terbelah dua. Perang saudara pun tak terelakkan. Para empu kebingungan di mana mesti meletakkan Randa ing Jirah dalam sejarah. Mereka bungkam dan menanam pena masing-masing beratus-ratus tahun lamanya. Kini, penulis perempuan berasal dari Bali, Cok Sawitri menuliskan kembali kisah Ibu Ratna Manggali.
Baca Juga: Dikawin Dulu, Jadi Budak Kemudian
Janda dari Jirah tidak secara langsung terhubung denga apa yang sedang aku alami sebagaimana tokoh perempuan pada novel Renditions of My Soul. Tetapi tokoh Ibu Ratna Manggali yang luar biasa halus hati sekaligus tajam pemikiran membuka taman keluasan pandang pada pikiran dan perasaanku. Perempuan yang empu dalam membawa penduduk untuk menumbuhkan desa-desa yang subur. Cara Cok Sawitri membawaku (pembaca) pada perjalanan ke abad silam dengan detil sejarah-budaya Jawa bagian timur dan pulau Bali memperkaya pengetahuanku terkait tempatku berpijak saat menyepi.
Selain karyanya yang memupuk semangat pada hari-hari terpurukku, tentu kreativitas kedua penulis perempuan itu, energi tersendiri bagiku. Ya, daya sintas dari penulis Desak Yoni dan kekuatan-kedalaman riset Cok Sawitri untuk mendekontruksi mitos Calon Arang yang jahat dan kelam menjadi Rangda in Jirah.
Sampai pada tahap ini, aku menyadari pertempuhan pemulihan setiap perempuan berbeda. Sebagian barangkali menemui konselor dan psikolog, sebagian mengunjungi hal-hal yang disukainya, seperti aku yang menjadikan dua novel dari dua perempuan penulis yang piawai ini menjadi kawan menyepiku. Ya, kawan yang membuat aku mengukuhkan apa yang kutuju selanjutnya untuk ke luar dari situasi yang tidak sejalan dengan nuraniku ini.
Terima kasih Cok Sawitri, Desak Yoni, dan Sarita Newson. []
Senang belajar hidup bersama semesta, menulis puisi, cerpen, esai sosial dan naskah akademis. Bukunya antara lain Perempuan Kopi, Burung Burung Bersayap Air, Mata Perempuan ODHA, Di Bawah Kaki Sendiri: Pengabaian Negara Atas Suara Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama /Berkeyakinan, Akses Perempuan Pada Keadilan dan Mengkreasi Bisnis yang Produktif dan Inklusif Keragaman Seksual. Dewi dapat dihubungi melalui dewinova.wahyuni@gmail.com.