BM Collection: Usaha Kolektif Penopang Perjuangan Perempuan Pekerja Rumahan
Disangkal sebagai pekerja oleh pemberi kerja, tak kunjung diakui sebagai pekerja oleh negara, bukan perkara mudah. Sambil terus melakukan advokasi untuk rancangan peraturan daerah yang dapat mengakui dan melindungi pekerja rumahan dan pekerja lainnya –yang dianggap informal—di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pekerja rumahan butuh menguatkan kaki-kaki perekonomiannya. Butuh keteguhan atas nilai yang dicitakan; butuh keberlangsungan pendapatan di tengah ketidakpastian bekerja sebagai pekerja rumahan. Oleh karena itu, Serikat Perempuan Pekerja Rumahan di Kabupaten Bantul mengkreasi usaha kolektif untuk menopang daya juang mereka dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Berserikat di Tingkat Desa dan Bernegosiasi dengan Pemberi Kerja
Maret 2022, aku dibonceng motor oleh Mbak Nunik, Ketua Federasi Perempuan Pekerja Rumahan Bantul. Kami menyusuri beberapa desa yang terletak di perbukitan di Kabupaten Bantul, DIY. Desa-desa ini, berjarak tempuh sekitar 1 jam perjalanan menggunakan roda dua dari Kota Yogya.
Di desa ini, banyak ibu yang bekerja menjadi pekerja rumahan. Mbak Nunik mengajakku menjumpai sebagian dari mereka. Kami melakukan perbincangan pendek di teras rumah, sambil melihat produk yang mereka kerjakan.
Produk mereka beragam, ada yang membuat kerupuk kulit, tas, pouch dan tote bag; menjahit pakaian untuk konveksi; membuat kerajinan dari perak. Mbak Nunik sendiri pekerja rumahan untuk ragam tas dan tote bag yang juga mulai mengembangkan usaha mandiri untuk produk yang sama.
Produk hasil kerja mereka banyak dipasarkan di pusat wisata Malioboro, Kota Yogya. Demikian juga para pemberi kerja sebagian besar bermukim di Kota Yogya. Ibu-ibu ini mendapatkan info orderan biasanya dari mulut ke mulut. Sesekali ada juga perantara yang datang ke desa mereka untuk menawarkan orderan. Ibu-ibu ini biasanya mengambil orderan dan mengantar produk kepada para pemberi kerja di Kota Yogya. Ongkos untuk ke kota, mereka tanggung sendiri.
Baca Juga: Pekerja Rumahan, Ini 7 Situasinya
Menurut tuturan ibu-ibu ini, tidak mudah menjadi perempuan pekerja rumahan. Selain upah sangat rendah, mereka juga tidak memiliki kontrak hubungan kerja dengan pemberi kerja. Ibu-ibu ini tidak mendapatkan konpensasi bila para pemberi kerja tidak dapat memberi order –seperti di masa pandemi. Sebaliknya, di saat orderan membludak, mereka juga tidak mendapatkan uang lembur. Ibu-ibu ini bekerja berdasarkan target tapi juga tidak pasti kapan bisa mendapatkan orderan dan kapan mereka menganggur. Semua ketentuan datangnya sepihak dari pemberi kerja.
Tunjangan kesehatan dan sosial seperti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang harusnya diberikan oleh pemberi kerja, masih jauh panggang dari api. Ibu-ibu ini hanya mendapatkan upah untuk pengerjaan produk, itu pun jumlahnya ditentukan sepihak oleh pemberi kerja.
Misalnya, upah menjahit tas Rp3000 per satu buah tas; upah menjahit baju gamis Rp20.000 per satu buah gamis. Bila mereka ditarget mengerjakan produk yang banyak –butuh lebih dari 8 jam/hari—ibu-ibu ini juga tidak mendapatkan uang lembur. Padahal mereka sudah banyak mensubsidi biaya produksi para pemberi kerja, dari mulai ongkos ambil orderan dan kirim produk, alat kerja juga ruang produksi: rumah mereka.
Segala tantangan itu, berat nian bila diperjuangkan sendiri-sendiri. Mbak Nunik yang mendapat dukungan dari Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) –organisasi perempuan yang bekerja untuk menguatkan kelompok perempuan pekerja– mulai mengorganisir sesama perempuan pekerja rumahan di desanya. Ibu-ibu yang bekerja untuk ragam produksi kepada pemberi kerja yang berbeda ini dipertemukan oleh satu kebutuhan yaitu kerja dan upah layak bagi mereka. Yasanti mengawani ibu-ibu ini dengan berbagai sekolah pekerja. Mulai dari perspektif feminis dan pekerja, pengetahuan perlindungan dan hak-hak perempuan dan pekerja, hingga keterampilan untuk bernegosiasi dengan pemberi kerja dan lobi terkait hak mereka kepada pemerintah.
Dengan berjuang bersama melalui serikat, ibu-ibu ini mendapat daya untuk bernegosiasi dengan para pemberi kerja, antara lain untuk kenaikan upah dan upah lembur. Mereka juga melobi pemerintah desa untuk mengakui keberadaan serikat perempuan pekerja rumahan di desanya. Tujuannya agar anggota serikat perempuan pekerja dapat mengakes layanan publik dan program pemerintah di tingkat desa, juga dapat terlibat dalam perencanaan pembangunan desa.
Baca Juga: Serikat Pekerja Migran, Selalu Hadir Memberi Pertolongan
Saat ini, pengakuan diberikan oleh pemerintah desa melalui Surat Keputusan Pemerintah Desa mengenai keberadaan serikat dan akses mereka untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan mengkases pembangunan desa. Pengakuan ini penting untuk mempermudah ibu-ibu ini mengakses program-program pemerintah, seperti bantuan sosial, akses terhadap vaksin dan booster, selagi para pemberi kerja tidak memberikan perlindungan kesehatan dan sosial kepada mereka.
Berjuang dalam Kolektif yang Lebih Besar di Tingkat Provinsi
Selain di desa tempat mbak Nunik tinggal, serikat perempuan pekerja rumahan tumbuh di beberapa desa di Kabupaten Bantul dan Kota Yogya. Selain memperkuat serikat di desa masing-masing, mereka melakukan konsolidasi rutin di tingkat federasi kabupaten atau kota. Tujuannya untuk saling berbagi strategi berdasarkan kemajuan perjuangan di masing-masing desa.
Misalnya, bila di satu desa ada serikat yang anggotanya sudah dapat terlibat di Musrenbangdes, atau sudah dapat mengakses program bantuan pemerintah, strateginya dibagikan ke serikat lain agar dapat saling menguatkan. Selain itu, juga untuk melakukan advokasi di tingkat pemerintah kabupaten. Pertemuan juga dilakukan antara Federasi Kabupaten Bantul dan Federasi Kota Yogyakarta terutama untuk mendekatkan akses perempuan pekerja rumahan dengan program di tingkat provinsi. Seperti akses mereka terhadap BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang memang belum dipenuhi oleh para pemberi kerja.
Federasi Serikat Kabupaten Bantul dan Kota Yogya ini juga melakukan konsolidasi di tingkat provinsi untuk bersama-sama melakukan lobi ke pemerintah provinsi. Antara lain, melakukan lobi kepada Balai Kesehatan Keamanan dan Keselamatan Kerja Dinas Tenaga Kerja Provinsi Yogyakarta. Hasilnya, mereka mendapat layanan kesehatan gratis setahun sekali untuk pemeriksaan urin, mata, dan telinga. Kegiatan ini sudah sudah berjalan selama enam tahun.
Baca Juga: 6 Kekeliruan Melarang Perempuan Bekerja
Di tingkat provinsi, federasi serikat perempuan pekerja rumahan juga menggabungkan diri dengan pekerja lain yang belum diakui sebagai pekerja –PRT, buruh gendong, pekerja rumahan —dalam Jaringan Advokasi Melindungi Pekerja Informal (JAMPI). JAMPI merupakan wadah strategis ibu-ibu ini untuk mendorong rancangan peraturan daerah yang memberikan perlindungan kepada pekerja rumahan, PRT, dan buruh gendong. Saat ini JAMPI sedang mendesakkan naskah akademik peraturan daerah (Perda) untuk perlindungan pekerjaan informal yang naskahnya sudah mereka perjuangkan sejak 2017.
BM Collection sebagai Tungku Perjuangan Perempuan Pekerja Rumahan
Ibu-ibu ini menyadari perjuangan pengakuan mereka sebagai pekerja melalui perda masih membutuhkan proses yang panjang. Demikian juga advokasi mereka di tingkat desa dan negosiasi mereka kepada para pemberi kerja. Sementara itu, kebutuhan sehari-hari harus terpenuhi.
Untuk bertahan dalam situasi seperti itu, ibu-ibu ini mulai mengembangkan usaha individu dan kolektif. Beberapa anggota serikat di Bantul, di samping terus bekerja sebagai pekerja rumahan, mereka mulai juga mengembangkan usaha mandiri. Misalnya mereka juga memproduksi tote bag sendiri untuk dijual langsung sehingga pendapatan mereka bisa bertambah.
Di salah satu serikat tingkat desa di Bantul, mereka juga mulai mengembangkan usaha kolektif membuat rukuh (mukena), pakaian muslim, dan jilbab. Untuk pemasaran produk, selain dipasarkan melalui WhatsApp dan media sosial, serikat juga menitipkan produknya kepada seorang ibu yang memiliki toko di sebuah pasar di Bantul. Keuntungan dari usaha yang diberi nama BM Collection ini dikelola untuk menyokong kegiatan serikat.
“Karena tanpa ekonomi yang kuat, kami tidak mungkin dapat terus melanjutkan perjuangan yang panjang ini,” tutur seorang ibu pada saat kami berbincang bersama.
Semoga daya lenting perempuan pekerja rumahan ini semakin dikenali dan mendapatkan dukungan dari publik, bahwa perjuangan perempuan pekerja rumahan sebagai pekerja adalah perjuangan yang perlu didukung bersama. []
Penulis buku Perempuan Kopi, dapat dihubungi melalui dewinova.wahyuni@gmail.com.
Keterangan:
- Pouch: Kantong kecil seperti dompet
- Tote bag: Tas jinjing berbentuk kotak dan terbuka yang dilengkapi dengan dua buah tali pegangan pada bagian atasnya.
- Musrenbangdes: Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa.