Bangkit itu Memulihkan

 Bangkit itu Memulihkan

Oleh: Michelle Dian Lestari

 

Saya pernah mengalami pelecehan waktu masih remaja, dan memang bukan sebuah memori yang menyenangkan. Butuh waktu lama bagi saya untuk berdamai dengan kenyataan bahwa saya saat itu tidak mampu melawan. Tidak ada hal yang bisa saya lakukan saat itu untuk membalas pelaku, apalagi menghukumnya.

Namun, ini membuat saya sadar bahwa saya harus lebih mampu mempertahankan diri sendiri, dan membantu rekan lain yang juga mengalami hal yang sama. Bukan lewat belajar bela diri, atau membawa alat bela diri ke mana-mana, tetapi dengan belajar lebih asertif. Dengan bersikap lebih asertif, kita bisa lebih berani bertindak bila mengalami atau menyaksikan kejadian pelecehan seksual. Selain itu, kita bisa belajar lebih berempati kepada sesama korban pelecehan, sehingga kita bisa melawan “rape culture”, sebuah budaya yang membuat korban pelecehan dan kekerasan seksual kembali menjadi korban karena prasangka salah kebanyakan orang. Kita tidak lagi menyalahkan korban pelecehan dan kekerasan seksual karena “mengundang” hal tersebut untuk terjadi, tetapi bisa menyuarakan bahwa dalam kasus pelecehan dan kekerasan seksual, yang bersalah adalah pelaku, bukan korban.

Saya belajar bahwa dengan berbagi pengalaman saya ke orang lain, saya mengurangi luka di batin saya, sekaligus membantu agar orang lain bisa belajar dari pengalaman saya, dan ikut menyuarakan bahwa pelecehan seksual itu bukan sesuatu yang patut didiamkan, apalagi dimaklumi seperti yang sekarang umum terjadi di kalangan masyarakat.

*
Ada banyak hal yang bisa dilakukan. Tapi semua hal tersebut mengandung resiko yang harus dipertimbangkan sesuai dengan manfaat yang didapat.

Misalnya, melaporkan pelaku ke kepolisian. Sebelumnya perlu dicermati dulu, apa tujuan dari melaporkan pelecehan seksual itu ke jalur hukum? Karena melakukan pelaporan berarti harus siap menjalani semua konsekuensi yang pasti akan timbul setelahnya. Belum lagi persoalan substansi hukum di Indonesia yang belum mengenali pelecehan seksual sebagai pidana terutama jika berupa verbal atau nonfisik lainnya.

Kalau tujuan dari pelaporan itu untuk memberdayakan diri sendiri, itu adalah satu langkah kecil dalam keseluruhan proses pemulihan diri. Di sisi lain, adanya pelaporan jika didokumentasikan dengan baik akan menjadi dasar bagi lembaga yang berwenang untuk mengambil tindakan yang tepat. Semoga saja demikian.

*

Langkah lainnya, yang justru lebih penting dan lebih besar daripada melaporkan, adalah penyembuhan luka batin. Di sini, perlawanan itu tidak harus dilakukan secara fisik. Perlawanan secara mental dan psikologis punya dampak yang jauh lebih besar daripada hanya sekadar melaporkan kejadian itu kepada pihak yang berwajib. Perlawanan inilah yang membuat kita sebagai korban, mampu bersikap asertif dan mencegah, bahkan melawan kejadian pelecehan dan kekerasan seksual di masa depan.

Pengalaman saya pribadi, yang paling bermanfaat, dengan resiko yang lebih kecil namun usaha lebih besar dan panjang, adalah memaafkan diri sendiri atas ketidakberdayaan kita saat itu untuk melawan. Selain itu, membangun diri agar lebih bisa berdaya kalau terjadi lagi pada diri sendiri dan/atau orang lain. Ini lebih punya manfaat positif lebih besar karena yang dibangun adalah diri sendiri.

Ingat pepatah forgive but not forget?

Forgive yourself for becoming a victim, but never let yourself forget about being victimized. Bangun diri agar tidak lagi menjadi korban, melainkan penyintas, bahkan penyelamat bagi korban lain.

Saat kita berhasil keluar dari kondisi jadi korban, dan bisa menjadi penyintas yang sukses, itu adalah pembalasan yang paling indah.[]

Bekerja sebagai juru bahasa dan penerjemah tersumpah paruh waktu

====

Tulisan ini disarikan dari tanggapan tertulis penulis atas cerita pelecehan seksual yang dialami seseorang dalam sebuah grup percakapan di media sosial. Tulisan ini diedit seperlunya oleh redaksi atas persetujuan penulis.

Digiqole ad