Ambiguitas Hukum dalam Pemerkosaan dan Perzinahan

 Ambiguitas Hukum dalam Pemerkosaan dan Perzinahan

Oleh :  Ardhea Faniena

Menurut data Komnas Perempan pada tahun 2022-2023, tercatat sebanyak 4.179 kasus kekerasan seksual yang terlaporkan telah terjadi di Indonesia. Kekerasan ini tidak hanya pada kekerasan fisik saja namun juga meliputi kekerasan verbal. Banyak dari perempuan yang melapor menyatakan bahwa ia telah dipaksa untuk melakukan kegiatan seksual atau yang kini disebut HS (Having Sex) walaupun para korban tidak menginginkan hal itu namun kebanyakan korban merasa tidak berdaya untuk melawan dan pada akhirnya terjadilah aktivitas seksual yang membuat korban hamil di luar nikah.

Berdasarkan definisi yang jelaskan oleh Kapal Perempuan pada 20 September 2016, zina dan pemerkosaan memiliki definisi yang berbeda. Zina merupakan tindakan yang dilandasi oleh perasaan “suka sama suka”, dalam pengertian fikih berarti perbuatan hubungan seks di luar nikah. Sedangkan pemerkosaan merupakan tindakan penyerangan serta pemaksaan yang merusak kehormatan perempuan. Tentu secara garis besar hal ini dapat dipahami dengan mudah, namun ketika definisi “zina” diperluas dalam kacamata hukum, akan menimbulkan satu pertanyaan:

“Sudahkah hukum berlaku adil atas hukuman yang diberikan kepada pelaku pemerkosa dan orang yang berzina?”

Secara keseluruhan, hukum Indonesia memiliki landasan yang berbeda dalam menangani pemerkosaan dan perzinahan. Dalam hukum Indonesia, Pemerkosaan adalah tindak pidana serius yang diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) serta dalam UU Perlindungan Anak jika korbannya adalah anak-anak. Pemerkosaan dianggap sebagai kejahatan kekerasan seksual dan pelanggaran terhadap kehormatan serta hak seseorang atas tubuhnya. Hukuman bagi pelaku pemerkosaan dapat mencakup pidana penjara yang berat, bahkan hingga 15 tahun atau lebih, terutama jika korbannya anak di bawah umur atau jika pelaku melakukan kekerasan yang menyebabkan luka serius. Selain KUHP, UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) juga memperluas cakupan jenis kekerasan seksual dan perlindungan bagi korban.

Sedangkan perzinahan dalam hukum Indonesia lebih kompleks. KUHP mengatur zina sebagai tindak pidana, tetapi hanya terbatas pada situasi di mana salah satu atau kedua pihak sudah menikah, yang disebut “perzinahan” atau “perselingkuhan” dalam bahasa hukum. Zina di sini dianggap sebagai pelanggaran moral yang mengancam keharmonisan keluarga, dan hanya dapat diproses jika salah satu pasangan yang merasa dirugikan melaporkannya. Hukuman bagi pelaku zina di Indonesia, terutama jika dilakukan atas dasar suka sama suka dan tanpa kekerasan, tidak seberat pemerkosaan. Ini karena perzinahan dilihat sebagai pelanggaran moral dan bukan tindak kekerasan.

Mirisnya, walaupun telah didefinisikan berbeda, dalam implementasi penegakan hukum di Indonesia, korban pelecehan dan pemerkosaan seringkali tidak mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya, masih terdapat keambiguitasan dengan hukuman yang diberikan oleh pelaku zina. Dalam artian, korban pemerkosaan mendapatkan “tawaran” atau “solusi” yang sama dengan pelaku zina, padahal hal ini tentu tidak setimpal dan tidak seimbang.

Salah satu solusi yang ditawarkan oleh pihak berwenang yang menangani kasus pemerkosaan adalah restorative justice, sebuah pendekatan penyelesaian konflik atau pidana dengan fokus pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan komunitas, bukan hanya pada hukuman. Prinsipnya adalah melibatkan semua pihak terkait untuk mencari solusi yang memenuhi kebutuhan korban, mendorong tanggung jawab pelaku, dan memulihkan kerusakan akibat tindakannya. Hal ini menimbulkan banyak kontra di kalangan masyarakat, karena restorative justice seringkali berakhir pada pernikahan korban dan pelaku. Tentu saja tindakan ini tidak bijak dan memiliki banyak penolakan karena dinilai memiliki sisi negative yang lebih banyak, diantaranya:

  1. Kurangnya Rasa Keadilan bagi Korban: Dalam kasus kejahatan serius, seperti kekerasan seksual atau kekerasan dalam rumah tangga, restorative justice bisa dianggap tidak adil karena pelaku tidak menerima hukuman yang berat sesuai hukum pidana.
  2. Stigma Sosial: Masyarakat cenderung menganggap restorative justice tidak memberi efek jera kepada pelaku, sehingga takut kejahatan serupa akan berulang.
  3. Ketimpangan Kekuasaan: Ada kasus di mana pihak korban ditekan untuk menerima perdamaian, khususnya jika pelaku memiliki pengaruh atau kekuasaan lebih besar.
  4. Budaya Rape Culture: Dalam kasus kekerasan seksual, banyak pihak menilai bahwa pendekatan ini malah melanggengkan budaya yang membenarkan atau menormalisasi kekerasan seksual tanpa menghukum pelaku secara tegas.

Maka dari itu, perlu ditekankan lagi bahwasanya pemerkosaan dan pezinahan merupakan dua hal yang perlu benar-benar dibedakan, baik dari penyikapannya dan solusi yang ditawarkan untuk penyelesaian masalahnya. Pelaku perzinahan tidak dilandasi oleh kekerasan jadi untuk penyelesaian dengan akhir “menikah” memungkinkan saja untuk dilakukan mengingat mereka melakukan hubungan dengan dasaran suka dengan suka, meski dalam beberapa kasus perzinahan terdapat unsur manipulatuf kepada korban. Berbeda dengan pemerkosaan yang timbul atas pemaksaan, bilamana menggunakan cara restorative justice dan berujung pada pernikahan maka berpotensi menimbulkan masalah baru yakni Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Ardhea Faniena, mahasiswa Universitas Negeri Malang ini suka mengeksplor diri dan percaya kutipan “Saya menulis, maka saya ada”

 

Digiqole ad