Aksi Solidaritas Media Dibutuhkan Korban Kekerasan

 Aksi Solidaritas Media Dibutuhkan Korban Kekerasan

Ilustrasi (Sumber: Graphisland/Pixabay.com)

JAKARTA, JALASTORIA.ID – Media massa dapat memberikan dukungan positif dalam upaya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hal itu terlihat dalam kasus kekerasan seksual di Luwu Timur yang ramai dibincangkan netizen sejak 6 Oktober 2021.

Pemerhati media Firmansyah Syamsi menyatakan, berawal dari serangan digital kepada portal media yang memberikan kasus Luwu Timur, berbagai media pun tidak tinggal diam.  Atas seijin portal media yang bersangkutan, sejumlah media daring pun ramai-ramai mempublikasikan ulang pemberitaan yang sebelumnya hilang dari portal media yang meliput kasus tersebut.

Menurut Firmansyah, sudah seharusnya media menggalang aksi solidaritas serta dukungan bagi korban kekerasan seksual. Ia memuji peran media yang menyajikan berita berkualitas, sebagaimana publikasi liputan atas kasus kekerasan di Luwu Timur.

“Solidaritas antarmedia ini perlu dilakukan kembali, hal ini penting karena baru pertama kali terjadi di Indonesia, bagaimana media saling bersolidaritas dalam menghadapi masalah seperti akses diserang secara digital,” kata Firmansyah dalam diskusi serial kedelapan Bedah Pemikiran Zakat bagi Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, yang diselenggarakan PSIPP ITB Ahmad Dahlan dan Lazismu, Jumat (15/10/2021).

Di sisi lain, Firmansyah tidak menampik masih ada media yang permissif terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan. Misalnya, masih ada lembaga penyiaran yang mengundang pelawak yang pernah melontarkan ujaran yang diskriminatif terhadap perempuan. Demikian pula media yang justru mengelu-elukan pelaku kekerasan seksual yang telah selesai menjalani pidana.

Menurut Firmansyah, media harus memiliki perspektif keberpihakan kepada para korban. Dalam kasus Luwu Timur, keberpihakan media akhirnya turut mendorong kepolisian membuka kembali kasus ini. Berbagai pihak dari jaringan organisasi masyarakat sipil juga membantu melakukan penanganan. Tak terkecuali masyarakat yang berkomentar di media sosial dan melambungkan tagar yang memberi pressure kepada kepolisian.

Baca Juga: Zakat untuk Perempuan Korban Kekerasan

“Inilah yang disebut dengan solidaritas,” ungkapnya.

Zakat untuk Korban

Media, menurut Firmansyah, perlu menghindari pengundangan narasumber yang diskriminatif terhadap perempuan. Sebaliknya, Firmansyah menegaskan, upaya positif seperti gerakan zakat bagi korban kekerasan justru patut mendapatkan dukungan dari media.

Di satu sisi, dukungan media itu ditujukan untuk membangun kepedulian (awareness) pelaku media terhadap gerakan ini. Sementara  di sisi lain, upaya ini akan menguatkan perhatian jurnalis dan media yang selama ini memberi perhatian pada isu terkait perempuan dan anak.

“Misalnya dalam kasus Luwu Timur itu ada yang menanyakan, bagaimana untuk bisa melakukan sesuatu bagi korban, karena ibu korban diancam tidak akan lagi diberikan nafkah bulanan,” ungkap Firmansyah.

Kasus itu sekaligus menunjukkan ketika perempuan mencari keadilan, juga akan terdampak secara ekonomi. “Inilah konteks yang penting kenapa zakat itu untuk perempuan dan anak korban kekerasan,” tegasnya.

 

Relasi Kuasa yang Timpang

Sementara itu, Masruchah, Sekretaris Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia, menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan relasi kuasa yang timpang. Dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak seperti kasus Luwu Timur, tidak terlepas dari pandangan bahwa anak sebagai aset dan dalam konteks budaya harus patuh pada orangtuanya.

Baca Juga: Solidaritas untuk Korban Kekerasan dan Kelompok Marginal

Pandangan yang tidak ramah terhadap anak dalam proses hukum juga kerapkali terjadi. Masruchah mencontohkan, suatu kasus inses yang terjadi di Aceh. Anak sebagai korban tidak diterima kesaksiannya oleh pengadilan dengan alasan masih berusia anak sehingga tidak dapat bersumpah di depan pengadilan. Sementara pelaku bersumpah tidak memperkosa anak sehingga anak tidak dianggap sebagai korban oleh pengadilan.

“Perempuan yang menjadi korban punya relasi yang tidak setara dengan pelaku, demikian juga anak. Misalnya kasus inses, perkawinan paksa, dan eksploitasi seksual,” jelas Masruchah.

Ketimpangan relasi kuasa pada korban pada akhirnya membuat korban kekerasan rentan mengalami pemiskinan. Misalnya, dikucilkan oleh masyarakat, dilarang melanjutkan sekolah, ataupun harus berhenti bekerja yang membuat korban tidak dapat mengakses sumber penghidupan.

Oleh karena itu, Masruchah optimis, kehadiran upaya pemberdayaan korban kekerasan melalui zakat akan bermanfaat membantu korban untuk memutus kekerasan. Selain itu, program zakat ini juga akan menguatkan lembaga pengada layanan dimanapun berada, di mana kebanyakan lembaga pengada layanan mengalami kesulitan pendanaan untuk melakukan penanganan korban.

 

Tujuan Produktif

Sementara itu, Dosen ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Siti Maryama menyatakan, dalam menyikapi fakta kekerasan terhadap perempuan yang terjadi, prihatin saja tidak cukup. Oleh karena itu, Maryama menyerukan agar dilakukan pencegahan terjadinya kekerasan, antara lain melalui pendidikan.

“Kejahatan terhadap perempuan banyak sekali, tidak ada habisnya. Bagaimana caranya memintarkan mereka,” tukasnya.

Selain itu, Maryama optimis pemanfaatan dana zakat akan membuat perempuan korban kekerasan berdaya dan mandiri. “Melalui zakat ini juga bisa dimanfaatkan agar mereka bisa bertahan dan mandiri,” terangnya.

Namun demikian, Maryama menekankan agar penggunaan dana zakat dipastikan untuk tujuan produktif, termasuk dengan menginventarisasi yang berhak menerima zakat. Menurut Maryama, kepada penerima zakat perlu diberikan bimbingan seperti pelatihan membuka usaha. Dengan demikian, dana yang diterima tidak habis hanya dalam sehari, dan penerima zakat pun bisa meraih kemapanan.

Baca Juga: 4 Langkah Pemberdayaan Ekonomi Survivor

“Jika mereka sudah mapan, tidak akan dilecehkan,” ujarnya, seraya menambahkan, faktor kebodohan, atau dibodoh-bodohi, atau ketidaksengajaan seperti laki-laki yang mabuklah yang menyebabkan terjadinya pelecehan.

Sementara itu, Masruchah menuturkan, terjadinya kekerasan terhadap perempuan tidak terlepas dari konteks konstruksi budaya di masyarakat. Fakta menunjukkan kekerasan terhadap perempuan terjadi lintas kelas dan lintas pendidikan, mulai dari mereka yang berpendidikan rendah sampai tinggi. “Bahkan profesor juga ada, mereka pintar tapi mengalami kekerasan,” ungkapnya.

Demikian pula dengan keyakinan terhadap ajaran agama dalam konteks budaya yang mengajarkan kepatuhan sepihak diletakkan pada istri dengan mengesampingkan konsep mu’asyarah bil ma’ruf (relasi yang baik antara suami dan istri). Konteks lainnya adalah kasus di mana perempuan dan anak perempuan dilemahkan, misalnya diperlakukan sebagai hak milik dan lain-lain.

 

Penggalangan Zakat

Dalam acara yang sama, dilakukan penggalangan dana zakat yang dihimpun melalui LazisMu. Selanjutnya, LazisMu akan bekerjasama dengan lembaga penyedia layanan bagi perempuan korban kekerasan untuk penyediaan pemulihan jangka panjang.

Menurut Masruchah, tujuan penggalangan zakat ini tepat apabila diperuntukkan bagi lembaga pengada layanan yang mendampingi korban. Ketika lembaga tersebut melakukan pendampingan korban artinya melakukan pemberdayaan korban, yaitu agar tidak menjadi korban lagi.

Di sisi lain, rangkaian kegiatan ini dimaksudkan sebagai masukan kepada pimpinan pusat Muhammadiyah untuk membentuk fatwa terkait perlindungan perempuan dan anak. Selain itu, lembaga amil zakat diharapkan memiliki framework yang sama untuk mengalokasikan dana zakat bagi para korban.

Oleh karena itu, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Alai Najib mengingatkan, diperlukan ijtihad sosial untuk pemanfaatan zakat yang lebih luas melalui interpretasi makna teks yang diperlebar. Misalnya, dalam konteks riqab (budak) yang dinilai sudah tidak relevan dengan jaman sekarang. Kelompok penerima zakat ini dapat dimaknai ulang misalnya pekerja migran yang menjadi korban kekerasan dari pemberi kerja.

Melalui rangkaian kegiatan ini juga diharapkan gerakan zakat untuk korban kekerasan ini dapat diterima oleh banyak masyarakat. Dengan kata lain, gerakan ini juga sekaligus diharapkan membangun solidaritas dari perempuan untuk perempuan korban kekerasan.

Sementara itu, menurut Firmansyah, dukungan dan solidaritas media yang sudah terbangun terhadap permasalahan korban kekerasan perlu dilanjutkan. Oleh karena itu, Firmansyah menyarankan agar gerakan zakat untuk korban ini juga didiskusikan dengan media sehingga menjadi perhatian dan mendapatkan dukungan dari media. [MH]

Digiqole ad